Eksistensi kopi tradisional terbukti kuat bertahan di tengah invasi kopi manual brewing dan gempuran kopi sachetan.
Lorong selebar ukuran satu sepeda motor itu, cukup panjang masuk ke arah dalam: dari jalan raya menuju kerumunan rumah yang berderet-deret hingga tepi Bengawan Solo.
Yang unik dari lorong terdapat di Desa Kuncen Kecamatan Padangan itu, adalah aroma yang ditawarkan. Saat kau melintas sekira pukul 9 hingga 11 jelang siang, terdapat aroma kopi yang menerobos indera penciumanmu.
Tentu saja, aroma yang kau cium itu bukan perkara gaib. Sebelum mencapai ujung lorong, di sebuah rumah mungil berdinding batu bata, terdapat seseorang yang tiap hari memproduksi kopi. Dari kopi mentah, menjadi kopi yang siap dinikmati.
Tiga atau empat langkah sebelum kakimu menapak rumah itu, telingamu akan mendengar suara srak-srok.. srak-srok dari sebuah ruangan di ujung rumah. Jika kau mendengar suara tersebut, itu tandanya, kopi sedang diproduksi.
Wajahmu akan dibekap asap, ketika memasuki ruang penggorengan di sudut rumah itu. Asap yang tidak biasa. Tapi asap beraromakan kopi.
Jurnaba.co teramat beruntung. Saat berkunjung ke tempat itu, kopi sedang diproduksi. Tak hanya itu, pemilik rumah sekaligus pengrajin kopi, Saiful Abidin, juga mempersilakan kru Jurnaba untuk ngobrol-ngobrol soal pembuatan kopi.
“Ini ngaron, ini yang membikin aroma kopi cukup khas,” ucap Saiful sembari menunjuk alat penggorengan kopi di depannya.
Nabs, ngaron merupakan wajan penggorengan yang terbuat dari tanah liat. Penggorengan kopi tradisional, memang menggunakan ngaron dengan sumber api dari kayu. Itu tak bisa diganti. Sebab, dari sanalah ketajaman aroma kopi bisa keluar.
Saiful menjelaskan, andai nggoreng kopinya menggunakan wajan dari besi dan api yang digunakan menggoreng berasal dari kompor gas, kopi tak akan mengeluarkan aroma yang khas dan tajam. Justru, tercium aroma gas.
Pria 35 tahun itu menceritakan, setiap hari, dia melakukan giat produksi kopi. Dari sejak pagi hingga menjelang sore hari. Dia memproduksi kopi mentah menjadi bubuk kopi yang siap dikothok dan dinikmati.
Seiap satu gorengan, kata Saiful, satu ngaron berkapasitas satu setengah kilogram kopi mentah. Dan kopi mentah itu, akan menjadi kopi matang dengan waktu 30 menit. Itu pun, nggorengnya harus digoyang. Tidak bisa ditinggal. Kalau ditinggal, matangnya tidak rata.
“Yang sulit justru proses nggorengnya. Sebab, nggak bisa ditinggal dan harus digoyang-goyang terus. Kalau ditinggal bisa tidak rata,” kata bapak satu anak itu.
Untuk menandai matang-belumnya kopi, akan keluar bunyi suara pletek-pletek. Selain itu, aroma khas dari kopi juga sudah keluar. Sebab, saat sudah matang, akan keluar asap. Jika asap belum keluar, berarti kopi belum matang.
Setelah kopi selesai digoreng, kata Saiful, baru diselep dan ditakar, lalu diambil pembeli.
Satu setengah kilogram kopi yang digoreng dalam satu ngaron, ujar dia, biasanya menyusut setengah kilo. Tinggal sekilo saja. Pengurangan terjadi saat proses penggorengan. Tapi, pas diselep, beratnya tidak berkurang.
“Setiap hari, menggoreng sebanyak 6 ngaron atau setara 9 kilogram kopi mentah,” imbuh Saiful.
Kopi hasil produksi Saiful, dibeli langganan. Tak hanya langganan, sejumlah pembeli yang bukan langganan, tiap hari biasanya juga datang.
Untuk pembeli langganan, misalnya, ada puluhan warung kopi di sepanjang Padangan – Cepu yang mengambil bubuk kopi di tempat Saiful. Hampir semuanya warung kopi kothok. Sebab, kopi kothok kekuatannya ada di aromanya.
Mayoritas pemilik warung kopi, perhari mengambil setengah kilogram kopi. Setengah kilo itu, kata Saiful, sudah cukup banyak. Sebab, seperempat kilogram bubuk kopi saja, misalnya, bisa dibikin hingga 30 cangkir. Mengingat, kopi kothok identik dengan cangkir kecil dan lepek.
Bubuk kopi produksi Saiful tidak hanya terjual di daerah. Bahkan, hingga ke luar kota. Saiful kerap mengirim kopi ke Blora, Solo, Surabaya, hingga Jakarta. Bahkan, beberapa waktu lalu, ada pekerja minyak dari India yang beli di tempatnya.
“Pekerja industri dari India itu suka kopi kothok. Nah, waktu dia mau pulang ke negaranya, dia mampir ke sini buat beli kopi. Dibikin oleh-oleh ke India,” ucap Saiful.
Seminggu sekali, Saiful mengambil kopi mentah dari Jombang sebanyak 60 kilogram. Dari kopi mentah itulah, yang dia produksi menjadi bubuk kopi beraroma sangat tajam.
Lebih dalam dia menjelaskan, yang unik dan membikin kopi tradisional menjadi sangat khas, adalah proses penggorengannya. Dan itu pula, proses paling sulit. Sebab, tangannya harus dimainkan. Tidak bisa diam.
Sebab, jika saat menggoreng tangannya diam, kopi bakal gosong. Aroma kopi yang proses penggorengannya gosong, berbeda dengan kopi yang proses nggorengnya pas. Sehingga, selama hampir 30 menit, tangan harus bergerak. Kalaupun beristirahat, hanya sebentar.
“Yang paling berat memang proses menggorengnya. Tidak bisa didiamkan. Sebab kalau gosong, aromanya bisa tidak dapat,” ucapnya.
Awalnya, orangtua Saiful bikin kopi untuk kebutuhan pribadi. Tapi, ada yang minta dan cocok. Akhirnya, sampai sekarang keterusan. Saiful memang meneruskan usaha orangtuanya. Sebelumnya, yang memproduksi kopi adalah ibunya. Sejak 2006, dia mulai menggantikan.
Bertahan di tengah gempuran kopi sachet
Kehadiran kopi sachet, diakui atau tidak, memang sempat berdampak pada eksistensi kopi tradisional. Sebab, kopi sachet lebih cepat dan mudah didapat. Terlebih, ketika mendapatkannya pun sangat mudah. Hampir tiap toko menyediakan.
Tapi, kopi tradisional membuktikan masih bisa bertahan. Sebab, ia punya pangsa pasar sendiri. Terlebih, jika berhubungan dengan kopi kothok. Untuk diketahui, kekuatan kopi kothok ada di aromanya. Dan disitulah, kopi tradisional punya celah untuk bertahan.
Sebab, sebagus apapun proses mengkothok kopi sachet, aroma yang didapat tak mampu mengalahkan kopi kothok tradisional. Dan kopi sachet, juga tidak terlalu identik dengan proses kothok.
Biasanya, kopi sachet proses pembuatannya hanya dicong air panas saja. Sedang kopi tradisional, lebih mantap ketika dikothok. Bedanya sangat terasa. Selain kematangan, juga ada pada aroma yang didapatkan.
Nabs, kopi Kothok bukan jenis kopi. Tapi jenis proses pembuatan kopi. Dalam pembuatan kopi kothok, bubuk kopi ikut dimasak di dalam satu wadah, beserta air. Sehingga, panas air bebarengan dengan matangnya bubuk kopi.
Selain aroma lebih kuat, kopi kothok punya kematangan sempurna dibanding kopi yang pembuatannya hanya dicong (diberi air panas) saja.
Kopi Kothok identik daerah Padangan dan Cepu. Konon, masyarakat setempat yang terbiasa mengkonsumsi kopi kothok, perutnya tidak cocok saat mengkonsumsi kopi yang pembuatannya sekadar dicong.
Sebab, kopi kothok proses pembuatannya lebih matang dibanding kopi yang sekadar hanya diberi air panas.
Gempuran kopi sachet merk nasional ke daerah-daerah, memang teramat masif. Namun, eksistensi kopi tradisional seolah tak bergeming. Sebab, masing-masing jenis kopi, punya pangsa pasar yang berbeda.
Bertahan di tengah invasi kopi Manual Brew
Kini, eksistensi kopi tradisional tak hanya dikoyak kopi sachet. Tapi juga kopi modern berkemas manual brew yang mulai menjamur di sejumlah daerah. Di sejumlah kota, penyeduhan kopi manual brewing memang sedang jadi tren.
Di sejumlah cafe atau warung kopi, misalnya, teknik penyeduhan kopi yang dilakukan secara manual ini, belakangan cukup diminati para pencinta kopi. Tak hanya di kota besar. Tapi juga di daerah-daerah.
Tapi, kopi tradisional seolah tak bergeming dengan kondisi itu. Ia mampu berdiri di tengah-tengah gempuran kopi sachet dan invasi kopi manual brewing. Alasannya sederhana, tiap jenis kopi punya pangsa pasar sendiri-sendiri.
Nabs, eksistensi kopi tradisional terbukti kuat bertahan di tengah invasi kopi manual brewing dan gempuran kopi sachetan. Sebab, masing-masing jenis kopi punya pangsa pasar sendiri-sendiri.