Kota tak sekadar ingar bingar. Ada lilin kecil yang terus berjuang untuk berpendar.
Mendung bergelantungan di area kota. Ajeng atau Jeng, tidak tahu mau kemana. Ia bingung, pulang ke rumah terkadang membuat ia semakin terluka parah, pergi ke tempat lain tak cukup uang, dan tak ada jalan lain selain memaknai kota.
Ajeng, menghabiskan waktu di jalanan kota. Terkadang singgah di rumah makan dan warung kopi. Hanya satu tujuan utama Ajeng ke warung kopi. Menikmati aksara yang tersaji di koran.
Ajeng merupakan perempuan yang gemar membaca. Bukan hanya sekadar membaca buku, melainkan juga membaca kehidupan. Mencoba mengabadikan saban fenomena alam dan sosial di buku catatan.
Kaca mata yang dikenakan Ajeng memperjelas bagaimana keindahan-keindahan semu yang terhampar di kota. Pendindasan gaya baru, mental birokrat yang tanda tanya, dan organisasi yang hanya jadi boneka.
Ajeng memilih membebaskan diri. Jarang pulang ke rumah, dan suka berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain. Terutama di Kota S.
Di Kota S, Ajeng memiliki kawan bernama Bubung atau yang akrab disapa Bung. Merupakan mahasiswa teologi yang suka ngopi. Pertemuan antara Bung dan Jeng, ketika aksi demonstrasi di Kota S.
Terkadang, mereka mengagendakan pertemuan dua kali dalam satu minggu untuk berdiskusi dan berperan menjadi pengamen, menjadi pengemis, dan mengisi pertunjukan musikalisasi puisi dari satu kafe ke kafe yang lain.
Bung dan Jeng percaya, bahwa hidup ini hanya sandiwara. Menurut mereka rugi, apabila hidup hanya monoton plus seragam dari hari ke hari.
Ketika mengisi pertunjukan di sebuah kafe, terdapat perempuan yang duduk di bangku belakang. Perempuan di bangku belakang menunduk, namun terkadang terwa sendiri. Dengan pakaian yang mini, dan rokok di tangan kiri, perempuan itu sedang berilusi.
Hingga pertunjukan usai dan kedai kopi di Kota S mau tutup, perempuan yang duduk di bangku belakang (pojok) masih menunduk dan terkadang tertawa. Kemudian Bung mendekati perempuan yang duduk di bangku belakang.
“Hei.., halo, puan, siapa namamu?”
“Ahahaha…Hina, sebut saja namaku Hina, dan Hina”.
“Mengapa Hina tidak pulang? Kedai mau tutup.”
“Saya tidak mau pulang, karena nanti semakin hina dan hina (sembari menenggak toak).”
Kemudian datanglah Jeng. Jeng mencoba mendekati Hina dan mengajaknya mengobrol dari hati ke hati. Hina mau bercerita, terkadang ia menangis, namun terkadang Hina tertawa dengan bahagia.
Diketahui kalau Hina bukan nama asli. Ia terakhir ke rumah dan diusir oleh mamah dan papahnya karena sering pulang malam. Dulu, Hina merupakan perempuan yang rajin mengaji, beribadah, dan bersosialisasi dengan tetangga.
Sejak Hina mengenal bos besar perusahaan minyak di Kota S, Hina berubah. Hina menikmati pergaulan bebas dan mencoba memerdekakan diri. Sering bertemu dengan bos perusahaan minyak di Kota S, hina terpedaya. Dan dia dibohongi, kata bos itu, Hina akan dinikahi, namun hingga sekarang bos minyak itu menghilang dari peredaran bak ditelan bumi. Hanya tinggal nama dan kenangan.
Hujan yang turun membasahi tanah dan menambah volume air di Kota S, menjadi saksi bisu ihwal kenangan dan perjuangan manusia dalam bermain sandiwara di panggung yang amat sangat luas bernama kehidupan.