Sumarsih, Sentot, dan Rumini merupakan penduduk yang telah lama membuka lapak di Pasar Kota. Bagi mereka pasar bak rumah ke-dua.
Di surat kabar “Harian Ilikitik”, Sang Penguasa memberikan ujaran, “Di Negeri Ilikitik Harga Blonceng ini, pelajar harus jadi pengusaha biar nanti jadi penguasa seperti saya dan kawan-kawan, karena saya dulu juga aktivis, di saban momen Hari Tumbuhnya Pohon Beringin, Hari Marahnya Banteng, dan Hari Bersinarnya Padang Jagad, saya selalu unggah stori atau bikin pernyataan, bahwa saya dulunya aktivis, namun sekarang saya yang menggerakkan aktivis, hahaha.”
Sentot, “Iki lo, penguasa iki sok sokan, Rum”. Sumarsih menjawab, “Opo to..Tot…Tot, kae lo ndang di kenyot sapimu alon-alon, mben dodolan susu sapimu lancar, resellermu mben tambah akeh.” Jiwa aktivisme dalam sukma dan raga Sentot meronta-ronta, Sang Penguasa Negeri Ilikitik Harga Blonceng dulu, merupakan konco cangkruk Sentot yang sekarang jadi penguasa.
Rumini, “Wong loro iki kok kerah ae to, koyok kucing ae.” Rumini datang dengan wajah sumringah sembari menurunkan rengkeknya.
Sumarsih, Sentot, dan Rumini, merupakan aktivis sejati. Ketika kawan-kawan di angkatan X897455504X sekarang bisa ongkang-ongkang kaki dan menjadi oligarki, Sumarsih, Sentot, dan Rumini, juga bisa ongkang-ongkang kaki bahkan lebih tinggi dari kawan-kawan mereka yang menjadi oligarki. Karena Sumarsih, Sentot, dan Rumini juga pernah belajar pencak silat dan bisa split.
Ongkang-ongkang Sumarsih, Sentot, dan Rumini, lebih berseni. Dibanding ongkang-ongkang kaki kawan-kawan mereka yang kerap kali membuat nyamuk tertawa, karena tidak bisa ongkang-ongkang kaki lebih tinggi, alasanya sepele, karena perut sudah buncit, jadi kaki sulit dibuat ongkang-ongkang. Hingga nyamuk, sofa, dan kipas angin di ruangan, kerap menertawakan oligarki.
**********
Dul Gembuk, Dul Athos, Dul Setengah Athos, atau Trio Dul, dan Rini Mercuri merupakan mantan aktivis X897455504X. Kawan dari Sumarsih, Sentot, dan Rumini. Pada zaman purba, mereka tentu belum lahir, namun pada suatu zaman mereka terlahir dan satu zaman dengan aktivis pasar kota.
Dul Gembuk, Dul Athos, Dul Setengah Athos, dan Rini Mercuri, dulu ketika berorasi, otot-ototnya hingga keluar, untung tidak sampai putus. Pernah suatu ketika, mereka berorasi di Sebuah Tugu KKN. Mereka berorasi, hingga membuat petugas keamanan pada waktu itu ketar-ketir dan beberapa petugas mengeluarkan keringat dingin. Beberapa lampu taman di sekitar Tugu KKN seakan-akan retak.
Orasi masa pada waktu itu, membuat Negeri Ilikitik Harga Blonceng, hujan deras. Untung, masih hujan air, bukan hujan blonceng. Grand desain tema demonstrasi mereka pada waktu itu adalah, ‘Jaga Hutan, Jaga Pasar, Hempaskan Kapitalisme Global, dan Lawan Krimininalisasi Pencaplokan Lahan’.
Trio Dul, Rini Mercuri, Sumarsih, Sentot, dan Rumini, dulu mati-matian menjaga hutan, pasar yang akan direlokasi dengan dalih mau dibuatkan yang lebih baik lagi, penetrasi kapital tahap awal di Negeri Ilikitik Harga Blonceng, dan proses pembebasan lahan yang memakan korban dalam upaya pencaplokan lahan di sebuah desa di Negeri Ilikitik Harga Blonceng.
“Kami, atas nama Rakyat Negeri Ilikitik Harga Blonceng, menolak deagrarianisasi di kawasan hutan, pemindahan pasar, penetrasi kapital di desa-desa, dan mengutuk dengan keras tindak aparat keamanan yang sewenang-wenang dalam upaya pencaplokan lahan di tanah ini”. Trio Dul, Rini Mercuri, Sumarsih, Sentot, dan Rumini membuat sebuah deklarasi atau pernyataan, disambut dengan gemuruh langit yang menggelegar disertai kilatan cahaya alam.
Mereka tidak lelah untuk terus beraksi, berorasi, dan membuat coretan di beberapa tempat yang kiranya menarik perhatian publik. Sampai pada suatu ketika, Negeri Ilikitik Harga Blonceng diterpa pagebluk yang membuat beberapa warga Negeri Ilikitik Harga Blonceng tertawa dengan sendirinya. Beberapa aktivitas di Negeri Ilikitik Harga Blonceng dikurangi.
Karena ada pagebluk tersebut, mereka jarang bertemu lagi. Tataran Ahmad Yani, yang penuh dengan hutan dan orang-orang berjas hijau, sepi. Tataran Suwolo, dengan lalu-lalang sapi, juga sepi. Yang masih ramai adalah Tataran Rakyat Sipil Hepi, dimana tempatnya di area kota dan tempat pasar berdiri.
Dulu, seakan-akan suara mereka atas nama rakyat, dan konon hatinya terenyuh ketika melihat ketidakadilan karena proses pemiskinan yang dilakukan oleh penguasa Negeri Ilikitik Harga Blonceng, karena terjerat hutang swasta alias luar negeri.
Mbah Yas, Nyai Asyik, dan Suro Sakti Tanpo Mandroguno, selaku tetua Negeri Ilikitik Harga Blonceng menginginkan negeri tersebut untuk menjaga tanah dan air. Karena blonceng tidak dapat tumbuh cum berkembang tanpa adanya media tanam seperti tanah dan air. Ojo terlalu ubek-ubek wesi, wes tanah lan banyu iku wes cukup kanggo nguripi. Begitulah quotes dari Suro Sakti Tanpo Mandroguno yang nampaknya hanya menjadi pajangan.
Wabah membuat beberapa penguasa pada waktu itu harus menanggalkan jas kuasanya. Karena beberapa penguasa, terkena wabah tertawa. Dan salah seorang kaki tangan penguasa pada waktu itu, Matx Blegudeg blusukan ke Tataran Rakyat Sipil Hepi. Ladalah, ketemu Trio Dul plus Rini Mercuri.
Matx Blegudeg menawari mereka untuk sementara waktu menggantikan penguasa yang sakit karena wabah tertawa. Kalau dalam hal kerjaan mereka ‘oke’, bisa menjadi jajaran penguasa hingga masa tua (pensiun) tiba.
Pada waktu itu, Sumarsih, Sentot, dan Rumini, masih tidur. Karena pada dini hari mereka harus membantu orang tua mereka di Pasar Kota. Bagi mereka, yang tinggal, tumbuh, dan berkembang di kota, pasar bukan hanya sekadar tempat untuk membangkitkan memorabilia. Lebih dari itu, kota tanpa pasar bagai lentera tanpa pijar (peteng dedet/gelap sekali).
Awalnya, Trio Dul dan Rini Mercuri menolak, mereka menolak dengan idealisme yang membara. Bak aktivis yang sedang berorasi di parlemen jalanan. Hingga membuat beberapa ikan lele yang dijual pedagang pasar siuman, dan bebera lele hingga ada yang menggerakkan badan, padahal kepala lele sudah dipukul berkali-kali. Dan membuat kucing pasar yang tertidur, bangun seketika karena melihat teriakan penolakan yang dilakukan oleh Trio Dul dan Rini Mercuri.
Matx Blegudeg tidak kehabisan akal, kemudian Matx Blegudeg mengeluarkan uang dinar, gulden, rupiah, rupee, peso, dan beberapa perhiasan. Untuk merayu mereka, agar menjadi penguasa. Karena Trio Dul dan Rini Mercuri baru melihat mata uang dan beberapa perhiasan pada waktu itu, akhirnya mereka berkonsolidasi dan memberikan lampu hijau kepada Matx Blegudeg bahwa mereka mau menjadi penguasa di Negeri Ilikitik Harga Blonceng.
**********
Tiba pada suatu masa, wabah tertawa mereda. Tataran Ahmad Yani ramai kembali dengan orang-orang berjas hijau, dan Tataran Suwolo ramai lagi dengan suara sapi dan gending campur sari pada dini hari. Sudah lama, Sumarsih, Sentot, dan Rumini, tidak bersua dengan Trio Dul dan Rini Mercuri.
Sempat beredar kabar, bahwa Trio Dul dan Rini Mercuri hilang tanpa kabar karena alasan diculik. Dan benar adanya, bahwa Trio Dul dan Rini Mercuri diculik oleh penguasa untuk dijadikan kaki tangan penguasa.
Sumarsih, Sentot, dan Rumini, masih istiqomah berdagang di Pasar Kota bersama kerabat mereka. Hingga muncul wacana lagi, bahwa Pasar Kota akan direlokasi. Dengan alasan, mau dijadikan taman. Rumini dalam hati bergumam, Kota tanpa taman, geliat perekonomian tetap hidup. Sedangkan, kota tanpa pasar, geliat perekonomian bisa berkurang. Bahkan mati.
Sumarsih, Sentot, dan Rumini, berhadapan dengan kawan sendiri. Namun mereka tak gentar, tetap istiqomah dalam jalur perjuangan dan mempertahankan pasar. Karena, mereka sudah tahu kalau di lapisan tanah yang sekarang berdiri Pasar Kota dan sekitarnya, tersimpan energi emas hitam ‘minyak bumi’ yang melimpah.
Penghuni Pasar Kota di Negeri Ilikitik Harga Blonceng wegah ketika mereka akan dipindah. Sumarsih, Sentot, dan Rumini, meskipun aktif berdagang, ia tetap menjadi manusia yang progresif. Karena, setiap malam jum’at mereka menginisiasi forum jampi-jampi dan diskusi.
Sumarsih, Sentot, Rumini, dan beberapa pedagang di Pasar Kota, telah membaca ada hal yang tidak beres dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Negeri Ilikitik Harga Blonceng. Mereka tidak ingin, jika pasar disulap jadi taman. Karena berdasar pengalaman, proyek-proyek yang dibangun oleh penguasa di Negeri Ilikitik Harga Blonceng tidak efektif plus efisien. Bahkan ada yang gagal.
Seperti pembangunan Waduk Gajah Nggoling (WGN), Waduk Oseng-Oseng (WO2) yang telah menelan beberapa desa dan pemakaman umum rakyat, Waduk Jati Cilik (WJC), dan beberapa proyek yang lain. Mereka membaca kalau proyek tersebut, dibangun bukan semata-mata untuk kemaslahatan rakyat di Negeri Ilikitik Harga Blonceng, namun hanya semata-sama untuk kemaslahatan penguasa dan orang-orang kaya di Negeri Ilikitik Harga Blonceng seperti Trio Dul dan Rini Mercuri.
Sampai kapanpun, gelora perlawanan dalam diri Sumarsih, Sentot, Rumini, dan beberapa rakyat di Negeri Ilikitik Harga Blonceng tidak akan pernah padam. Rehat sejenak, itu lumrah, untuk mengisi amunisi semangat dan gelombang perlawanan jika penguasa kembali dan masih lagi sewenang-wenang terhadap elemen sosial ekologi di Negeri Ilikitik Harga Blonceng. Apalagi menyangkut pasar, mempertahankan kedaulatan sosial ekologi wa bil khusus lingkungan perekonomian rakyat ‘pasar dan sekitarnya’ (bantaran kali, hutan jati, perkebunan tembakau, areal sawah, tempat ibadah, dsb) adalah harga mati, bukan harga blonceng. Dan ingat, kota tanpa pasar bagai lentera tanpa pijar.~