Selamat lebaran untuk yang merayakan hari nan fitri ini. Tatanan kalimat ini memang sengaja dibuat agar tak terlambat mengucap maaf pada sesama makhluk. Bukan hanya manusia, namun alam beserta isinya juga.
Manfaatkan momen ini sebaik mungkin. Memelihara degup kebahagian bisa dilakukan dengan menyebarkan kebaikan. Sekilas utopis memang, karena kita semua tahu keadaan sedang tidak baik-baik saja. Tidakkah kamu bosan mendengar parau hegemoni perkara itu-itu saja.
Waduh kenapa jadi belok begini bahasannya. Baiklah, kali ini akan dibahas kejenuhan saat lebaran. Kenapa bahas kejenuhan? Karena sudah banyak yang bahas momen tentang senang akan hadirnya momen lebaran.
Kalau ada senang pasti ada jenuh juga dong. Agar berimbang tak merusak ketukan interval semesta. Buat yang masih di bawah 17 tahun. Lebaran memang menyenangkan, berkumpul bersama handaitaulan bermain gembira bersama.
Belum lagi bonus yang didapat dari yang dewasa, seru sekali pastinya. Buat yang dewasa pasti ada yang beranggapan jenuh setiap tahun begitu saja. Bertemu handaitaulan lalu menerima lemparan pertanyaan dari yang lebih berumur maupun yang sukses sebaya.
Ya tepat sekali pertanyaan dengan kata “kapan”. Kapan ini, kapan itu, kapan begini, kapan begitu dan kapan-kapan kita berjumpa lagi. Bahkan dalam WA grup keluarga, gaduh yang terjadi akhir-akhir ini. Bisa melebur dalam obrolan sambil melahap ketupat opor ayam.
Formula jawaban pamungkas saja masih bisa terpecahkan. Sulit menangkal pertanyaan yang mengandung kata “kapan”. Beda cerita kalau pertanyaan ini muncul dalam dunia virtual. Tinggal gembok akun tidak saling follow. Maka kelar sudah semua urusan.
Dalam benak bergumam “lelah untuk bersosial”. Lha kodratnya manusia sebagai makhluk sosial terus njur piye luurrd? Lalu bagaimana menemukan jawaban atas pertanyaan kapan? Puter otak, lalu utak atik kata. Generasi milenial nan kreatif, pasti bisa menyusun jawaban dari pertanyaan kapan.
Kamu bisa mengkombinasikan jawaban kamu dengan isu-isu ramai yang terjadi saat ini. Meski nantinya jawaban kamu terlihat tidak nyambung. Ultimatenya yang tanya bisa jadi kesal dengan jawaban kamu.
Tapi masih rela tertawa dan melempar senyum sembari menikmati air mineral. Akibat tersedak tulang ayam dari sajian opor yang dilahap. Sialnya ya kamu bakal diajak ngobrol panjang lebar tinggi tentang isu tersebut.
Basa-basi basi, ditanya kapan lulus untuk yang masih menimati semester akhir. Kapan nikah untuk yang sudah lulus. Tapi masih menganggur. Sudah tahu masih menganggur masih ditanya kapan nikah. Rabi butuh riba luurrd kalau tidak riba belum bisa rabi.
Kamu bisa jawab, harusnya kemarin tapi gegara ada sebuah aksi akhirnya tidak jadi. Maka akan muncul lagi pertanyaan, hubungannya apa? Kamu bisa jawab dengan singkat, hubungannya saudara.
Bagaimana, cukup menjengkelkan bukan? Membacanya saja sudah terasa menjengkelkan. Apalagi mendengar jawaban macam ini secara langsung. Dengan begini, kamu tidak merasa jenuh lagi saat lebaran.
Karena dari sini akan memicu ketulusan saling memaafkan. Namanya saja juga saudara. Bukankah saling menjaga dan melindungi sesama adalah sebuah kebaikan. Untuk tetap memelihara degup kebahagian.
Tidak perlu meributkan hal serupa basa-basi basi. Terlebih urusan moral apalagi ranah privasi. Biar setiap insan yang menata dan mengaturnya. Kita semua tinggal mengikuti sebuah peraturan ~sehat~.
Bagaimana apa kamu masih melihat kejenuhan dari aspek yang lain, Nabs?