Aku tahu, tidak ada yang lebih menyedihkan selain diputus melalui pesan WA. Dan aku merasakan kesedihannya. Tapi aku biasa saja. Sebab aku sudah terbiasa mengakrabi kegetiran. Bahkan tergolong ahli mengabaikan kesedihan.
Diputus melalui barisan alphabet tentu bukan pengalaman pertamaku. 5 kali pacaran, aku selalu gagal mengawetkan hubungan. Dari 5 kali pacaran itu, 4 kali aku diputus secara baik-baik. Dan hanya sekali aku yang memutus. Aku memutus dia karena dia memutuskan menikah dengan pria lain.
Dari 5 kali pacaran itu pula, jika dihitung secara statistik; aku diputus melalui SMS sekali. Melalui BBM sekali. Melalui telepon sekali. Melalui pesan WA sekali. Dan hanya sekali yang mengakhiri hubungan secara langsung, itu pun dia ditemani langsung oleh calon suaminya.
Banyak yang bilang, dengan kisah cinta yang menyayat seperti itu, harusnya aku bersedih dan marah. Tapi entah kenapa, aku selalu mudah mengabaikan kesedihan. Bagiku, sedih akan hilang seiring keluarnya keringat dari dalam tubuh.
Aku percaya rasa sedih itu seperti toxic dalam tubuh. Dia harus dikeluarkan bersama keringat. Boleh sedih asal tetap sehat dan terus menabung demi sesuatu yang bahkan aku tidak tahu untuk apa nantinya.
Aku juga percaya bahwa rasa sedih itu ibarat aplikasi dalam tubuh. Kita bisa menginstalnya, tapi juga bisa mengabaikannya begitu saja. Yang jelas, sedih akan hilang bersama asap rokok yang kuhempas keluar dari dalam tubuhku.
Saat diputus melalui pesan WA kemarin, aku memang bersedih dan sakit hati. Tapi aku tetap biasa saja. Hari ini, aku ingin cari keringat. Kuambil sepeda, dan kupancal mengelilingi kota. Saat seperti itu, aku suka bersepeda sambil mengisap rokok.
Baca juga: Fiksi Akhir Pekan Lainnya
** **
Kau memang aneh. Sejak hampir setahun ini, hobimu hanya membaca buku dan makan mie ayam. Mungkin kau tak punya teman. Atau mungkin memang kau butuh sendirian. Tapi kau memang aneh. Pemurung dan pembenci keramaian.
Di depanmu, sebuah buku berjudul Rumah Kertas. Buku setipis 76 halaman itu, sudah kau beli sejak 3 bulan lalu. Namun begitu, kau teramat menikmatinya, alih-alih segera menyelesaikannya.
Seperti ada narasi sedih yang sengaja kau tahan dan tak ingin segera kau selesaikan. Kau nikmati. Dan sesekali kau biarkan ia pergi begitu saja. Sama seperti perasaanmu.
Buku itu tinggal 4 lembar lagi. Tapi tak kau selesaikan. Matamu nanar menahan bosan. Saat seperti ini, kau rindu mie ayam. Sepertinya, setahun ini, hidupmu tidak jauh dari buku dan mie ayam. Buku, mie ayam.. dan kesedihan.
Kau suka mie ayam bukan karena suka rasanya. Tapi lebih suka pada bentuknya yang mbulet sekaligus teksturnya yang gemes-gemes aldente. Menurutmu, mie ayam adalah simbol keruwetan. Ketidaklurusan. Dan kesemerawutan.
Bentuknya yang mbulet, bagimu, adalah gambaran bahwa hidup kerap kali tidak selurus perencanaanmu. Kerap muter-muter dan berakhir tidak sesuai keinginan. Karena itu, saat melahap mie ayam, yang kau bayangkan adalah melahap keruwetan hidup.
Sore ini kau lapar. Dan seperti biasa, berjumpa mie ayam adalah keniscayaan. Kadang kau ingin ada seseorang yang memperingatkanmu bahwa kebanyakan makan mie itu bisa berakibat buruk pada kesehatan. Iya, kadang-kadang.
Dan seperti biasa, sore ini, kau memutuskan untuk kembali berkunjung ke warung mie ayam kesukaanmu. Namun sebelumnya, kau ingin berkeliling kota terlebih dahulu. Mengelilingi berbagai macam cerita yang mungkin dulu pernah kau cipta.
Kau ambil helm lucu kecoklatan di dekat pintu garasi rumahmu. Sambil menyiapkan motor buntut warisan orang tua yang beberapa tahun ini selalu menemani perjalananmu. Kau berharap sore ini tidak ada air yang turun dari langit.
** **
Jalan Sawunggaling dan Teuku Umar serasa seperti kawasan yang asing. Aku berputar-putar melintasi WR Supratman dan Jaksa Agung. Dan perasaanku benar-benar hambar. Sebuah rasa yang sama plek dengan apa yang kulakukan: merokok sambil bersepeda.
Rumahmu dan tempat mie kesukaanmu memang tidak terlalu jauh. Tapi kau memang suka berputar-putar dulu. Menentramkan pikiran sambil menyaksikan barisan rumah murung yang tak pernah lelah berkisah. Seperti sedang berkisah tentangmu.
Aku maksimalkan hisapan rokok terakhirku untuk mengakhiri kehambaran. Aku banting puntungnya ke jalan, lalu aku genjot lebih kencang pedal sepedaku. Seperti ada yang sedang ingin aku kejar, padahal tidak ada apa-apa di depan sana.
Kau menikmati barisan rumah di jalan Dr Soetomo. Jalan paling sunyi dan paling sepi yang ada di kota kecil ini. Dan sialnya, seperti yang tak pernah kau harapkan, tiba-tiba rentetan hujan turun begitu saja. Satu hal yang harus kau lakukan: segera menuju warung mie ayam kesukaan.
Akhirnya aku tahu, dari arah belakang, rentetan hujan seperti memburuku. Aku tidak benci hujan. Tapi karena aku sedang tidak siap menemuinya, aku pun berupaya menghindar dengan mengayuh pedal sekuat tenaga. Tapi apalah daya, sesampainya di jalan Panglima Soedirman, basah adalah niscaya.
Kau patut bersyukur, jaketmu tidak seluruhnya basah. Sesekali kau berupaya meniriskan air dari jilbab coklatmu. Rasa syukurmu berlipat karena mie ayam favoritmu belum habis dan pengunjungnya pun sepi. Sambil menunggu pesanan, kau menyaksikan hujan berjatuhan.
Aku tidak mungkin hujan-hujanan. Bukan karena takut pilek. Tapi takut ponsel dan rokokku basah. Aku mencari tempat berteduh. Fuck! Tak ada warung yang buka. Di depan, hanya ada warung mie ayam beserta aromanya yang cukup menggoda. Tak ada pilihan lain, aku pun pergi ke sana.
Kau terkaget ketika sebuah sepeda menubruk dinding gerobak warung mie ayam. Lamunanmu terganggu. Dan kau melihat seorang lelaki basah kuyup berupaya mati-matian menyelamatkan ponsel di sakunya. Melihat kepanikan lelaki itu, tiba-tiba kau ingin tertawa.
Aku segera memarkir sepedaku di dekat dinding gerobak warung. Saking kencangnya, mungkin suaranya mengagetkan. Tapi untungnya, tidak banyak orang yang berada di warung. Sambil gupuh menyelamatkan ponsel dan bungkus rokok, aku hanya melihat si penjual dan seorang perempuan berjilbab coklat yang tampaknya sedang menunggu pesanan.
Melihat kegupuhan lelaki itu, dalam hati kau tertawa, sebuah tawa yang sudah lama tak muncul dalam dirimu. Tawa yang orisinil. Tidak dibuat-buat. Tak sengaja kau meliriknya. Tinggi besar dan lucu. Tawamu kian menggebu. Tapi tetap dalam hati.
Aku segera memesan semangkuk mie. Meski sebenarnya aku tak terlalu suka. Sial, kursinya cuma satu memanjang. Menghadap ke depan. Aku mengambil tempat bersebelahan dengan perempuan berjilbab itu. Kami menghadap ruang yang sama. Jendela dan deru rentet hujan.
Lelaki itu duduk di sebelah kananmu. Tubuhnya basah. Tangannya tampak bergetar menahan dingin. Sesekali dia pura-pura ngecek notifikasi hape. Kau tersenyum. Sebab kau tahu hapenya mati. Mangkuk pesananmu datang. Kau pun kembali fokus menatap mie ayam di depanmu dengan tatapan yang trengginas.
Aku duduk dengan masih menahan dingin. Saat seperti ini, aku berharap bisa merokok. Tapi sial, rokokku basah. Aku pun melihat ponselku. Sama, ia juga basah dan mampus. Perempuan di sebelahku sudah menerima pesanan. Tak ada basa-basi penawaran pada aku yang juga lapar. Tapi tidak apa-apa. Itu sikap yang manusiawi.
Kau tidak segera memakan mie di depanmu. Sebenarnya, kau ingin menyapa dan memberi basa-basi penawaran. Tapi kau malu. Selain kau belum kenal, kau merasa, basa-basi justru menyiksa orang yang ditawari. Sebab tidak ada kesungguhan dalam basa-basi.
Akhirnya mie pesananku datang juga. Tanpa basa-basi memberi penawaran pada orang di sebelahku, aku ingin segera menyantapnya. Tapi sial! sambal, saus dan kecap ada di sebelah kiri perempuan itu. Mau tidak mau, aku harus meminta tolong padanya untuk meletakkan botol-botol itu ke tengah. Tapi tidak! Aku bisa melakukannya sendiri.
Kau masih menikmati aroma mie ayam ketika tiba-tiba lelaki di sebelahmu nyelonong lewat belakang untuk mengambil botol saus. Tubuhnya meneteskan air hujan. Kau sempat merasa bersalah. Harusnya kau bisa meletakkan saus itu di sebelah kananmu. Tapi tidak apa, diam-diam kau menikmati pergerakan dan sikap diam lelaki itu.
Di luar warung mie ayam, hujan kian deras menghujam jejalanan.