Beban menjadi lelaki memang tak pernah mudah. Kelak setelah nikah, ia wajib mencari nafkah. Tapi hatinya sudah sering dirobek ketidakpastian, bahkan sebelum menikah.
Terkadang kita menyodorkan proposal harapan kepada perempuan, tak semudah menyodorkan proposal permohonan bantuan dana kepada para pejabat struktural dan senior organisasi.
Bisa juga proposal akan kembali dalam keadaan kosong atau malah sebaliknya berisikan harapan-harapan yang penuh cita.
Sebut saja dia Cak Rul, seorang aktivis progresif yang sedang menyodorkan harapan kepada perempuan yang kebetulan di pertemukan dalam satu organisasi.
Waktu itu, ketika kami bertiga sedang ngopi santai di terminal Rajekwesi kota Bojonegoro. Yang masih setengah malam, bersama lampu warna kuning yang menembus daun-daun menambah suasana menjadi hangat dan meredup.
Sehangat hati Cak Rul yang mencoba meredupkan hati sang perempuan di sampingnya untuk memaksa menjatuh cintakan hatinya. Seakan-akan dia tak mau tahu, dan padahal dia tahu bahwa perempuan yang disanjungnya sudah memiliki pasangan tapi mereka sedang berjaga jarak.
Dia sudah mengalami beberapa penerimaan, dan banyak penolakan meski itu terlihat pahit. Pahit kayak tembakau diganyang lawaran.
Saking militannya, saya menjadi saksi bisu dan dilibatkan secara langsung oleh dia untuk menemani perjuangan membabat jalan Lamongan-Gresik-Bojonegoro-Tuban (LGBT).
Anis, perempuan yang didamba Cak Rul, adalah kawan saya yang satu lagi, dia perempuan berperawakan ramping, manis, dan hidungnya sedikit mancung.
Saya sebenarnya bingung, dengan tingkahnya yang seolah memberi harapan-harapan indah, tapi kenyataanya dia perempuan yang memiliki komitmen tinggi pada satu lelaki.
Lebih-lebih dia memilih setia dan memberikan harapan palsu pada lelaki yang berada di sampingnya, dengan tutur kata yang sopan, dia hanya tersenyum. Itu tanda dia hanya menjadikan lelaki di sebelahnya itu sebagai figuran.
Pasangan aktivis pejuang cinta dan harapan. Malam sudah begitu larut, sama dengan Cak Rul mencoba melarutkan perasaan Anis yang terlalu kuat untuk mensetiakan diri.
“An,” teriak Cak Rul
Anis menoleh. Kemudian, menatap.
“Iya, kenapa?,”
“Aku dan kata-kataku sudah siap memberitahumu.”
“Tentang hal apa?”
“Sesuatu hal penting, yang sudah ku bungkus dengan malam penuh harapan”
“Jangan membuat bingung, aku tak tahu hal apa-apa tentang malam harapan atau apa itu.”
“Benarkah begitu.”
“Tentu saja, kenapa aku harus berbohong?,”
“Kalau kau benar-benar tidak tahu, aku akan membuka pelan-pelan bungkus malam harapan itu, semoga kau memahami dan mau menerimanya.”
“Untuk apa, kau buka dengan pelan-pelan. Bukankah malam ini sudah semakin gelap, jangan menghabiskan waktu hanya untuk sekedar berbasa-basi.”
“Bukan begitu.”
Terlihat Anis sudah mulai mengantuk, karena sedari tadi Cak Rul hanya basa-basi.
“Lantas?,”
“Sudah lupakan masalah basa-basi, kita mulai saja dari sini.”
“Iya, aku akan mendengarkan dengan baik-baik.” Mereka saling mendekatkan diri, sedangkan saya tersiksa sendiri bersama dingin malam dan dengan rembulan tentunya yang masih tertawa riang dengan cahaya kuning.
“Apakah kau tidak merasa kesepian, di setiap perjalanan dan kenyamanan hari-harimu.” Kata Cak rul.
“Maksudmu?,” Anis bertanya, dengan raut wajah yang penasaran.
“Maksudku, apa kau tidak merasa siapa di setiap hari yang menemanimu, memperhatikanmu dan menjagamu di kala dia jauh di sana. Apa kau tidak ingin sekedar melupa, perihal tentang dia yang di ragukan kepastianya.”
“Iya, kalau kesepian kurang perhatian pasti iya. Tidak ada perempuan yang sudah memiliki pasangan, tapi keseharianya selalu meratapi sepi.”
Mata Anis menerawang ke langit jauh, mungkin dia bimbang dengan keadaan yang ia alami itu.
“Lalu bagaimana?.”
“Apanya yang bagaimana?”
“Apakah kau tidak mau untuk sedikit melupa?,”
Keadaan tiba-tiba sunyi, tak sepatah kata pun terlontar dari bibir Anis.
“Jangan diam An, aku juga butuh jawabanmu untuk ketenangan jiwaku.”
“Lalu, aku harus bagaimana? aku tak ingin berhianat, lebih baik kita seperti ini dulu saja.”
“An, mengapa kau menggantung malam ku.”
“Bukan maksud aku memberi harapan, namun aku sudah menemukan kenyaman. Dan aku lebih suka meluka dalam sepi.” Anis yang sementara ini terus-menerus menunduk.
“Dan kenapa kau, terlalu sering untuk mau ku ajak makan, ngopi, nonton, jalan-jalan dan menikmati indahnya malam seperti saat ini.”
“Kenapa? Aku pun juga tidak sanggup terus menerus menolak ajakanmu, aku menghargaimu yang berusaha untuk ini itu.”
Perempuan memang begitu, seakan-akan dengan tingkahnya, dia memberikan harapan besar untuk mencita, menyemai kasih, mencipta kisah, menyulam benih-benih cinta; padahal sungguh semua itu hanya bencana pengiris hati yang secara perlahan-lahan ia bangun.
“Aku tidak tahu kedatanganmu, membawa harapan bagiku. Aku hanya tahu, perasaan ini telah begitu mengembang untuk kau bawa pulang.” Cak Rul melanjutkan, dan berusaha menyakinkan.
“Yang tercinta tak tentu, yang disini sudah menentu. Bisa saja aku menggila, dan tak bisa membedakan letak kenyamanan yang sungguh-sungguh ada. Aku tidak bisa menjawab, kau boleh mencinta tapi bukan aku membalas, biarlah keadaan berjalan seperti ini dulu.”
Lihatlah, seperti itulah perempuan. Ia tipikal pembunuh yang teramat santun. yang sungkanan. Mau mmbunuh orang Mau masung orang tapi gogo iya-gogo tidak. Dan saya juga sungkan untuk melanjutkan kisah ini.
Beban menjadi lelaki memang tak pernah mudah. Kelak setelah nikah, ia wajib mencari nafkah. Dan hatinya sering dirobek ketidakpastian bahkan sebelum menikah.
Padahal, kelak jika sudah berumah tangga, lelaki juga berkewajiban mencari nafkah. Jika masa pra berumah tangga saja sudah susah, bukankah beban seorang lelaki teramat tidak mudah?
Joko Kuncoro atau Jokun adalah mahasiswa dan aktivis progresif, pernah disengat luka karena cinta, tapi baik-baik saja.