Saat bapaknya wafat, bukan air mata yang keluar dari celah matanya. Justru mulutnya tampak komat-kamit merapal kalimat penuh ketegaran. Orang-orang menjulukinya si lelaki besi. Dialah San Kasan.
Tentu saja San Kasan tak terkesan oleh julukan lelaki besi. Sebab, ia tak pernah berniat menunjukkan ketabahan. Semua terjadi secara alami. Seperti yang terjadi dua puluh lima tahun yang lalu. Saat itu usianya genap 6 tahun.
Pamannya membelikan sebuah mobil mainan untuk kado ulang tahunnya. San Kasan girang. Ia begitu menyukai mainan itu. Bahkan saat tidur mobil mainan itu selalu ada di dalam pelukannya.
Suatu ketika San Kasan bermain balap mobil mainan bersama anak-anak kampung di jalanan. Tanpa sengaja mobil maianannya rusak terlindas oleh kendaraan yang melintas.
Teman-temannya begitu heboh, namun tidak dengan San Kasan. Layaknya seorang dewasa, ia memilih bersikap tegar. Sembari mengumpulkan puing-puing mainannya yang telah lantak.
Cerita ini berkembang hingga San Kasan beranjak remaja. Ketika ia pertama kali mengenal lawan jenis. Adalah Gendis yang menjadi teman sekelasnya sewaktu SMA. Wajah gadis itu begitu elok dengan lesung pipit di kedua kutub bibirnya saat tersenyum.
Tentu tak hanya San Kasan yang menyadari wajah manis Gendis. Banyak teman lelaki di kelas, bahkan sekolahnya yang mengidolakan Gendis. Sehingga ia harus bersaing untuk dapat merebut hati Gendis.
Berkat kegigihan dan usaha yang keras, San Kasan berhasil merebut hati Gendis. Mereka pun kemudian berpacaran. Namun, status itu tak berlangsung lama. Selang beberapa bulan, Gendis memutuskan hubungan tersebut demi laki-laki lain yang juga teman sekelas mereka. Kembali San Kasan merelakan kesayangannya tanpa sedikit pun rasa gusar di hatinya.
***
Suatu hari di warung kopi Pak Badrur, San Kasan tengah bercakap dengan para tetangga. Di situ ia diberondong banyak pertanyaan. Salah satunya datang dari Pak Badrur sendiri. Pemilik warung kopi itu heran dengan ketabahan San Kasan. Bahkan seorang yang telah matang seperti dirinya, tak mampu mengelak dari tangis.
Kakek tua itu kemudian bercerita ketika ia kehilangan harta dan keluarganya. Itu semua akibat kegagalannya dalam pemilu legislatif beberapa tahun silam. Pak Badrur bahkan mengaku sempat hampir dibui gara-gara hutang yang ditanggungnya. Di situlah ia merasakan neraka yang memaksanya untuk menangis.
San Kasan tak lantas menjawab pertanyaan dari Pak Badrur. Sembari membakar rokok yang telah dileleti ampas kopi, ia justru melontarkan pertanyaan.
“Caranya nangis itu gimana to, Pak?”
Pertanyaan San Kasan sontak membuat warung kopi hening sesaat. Pertanyaan macam apa itu. Mungkin begitu yang ada di benak Pak Badrur dan para pengunjung lain. San Kasan lalu mengungkapkan apa yang pernah diceritakan oleh ibunya.
Di hari sebelum kelahirannya, keluarga San Kasan begitu miskin. Krisis ekonomi yang melanda keluarga membuat sang ibu merasakan hari-hari yang begitu pedih. Tak terhitung berapa banyak air mata yang telah diproduksi oleh wanita itu.
Dalam genangan air mata itulah ibu San Kasan melontarkan doa-doanya setiap hari. Ia berdoa agar anak yang tengah dikandungnya tak dibekali kemampuan untuk menangis.
Doa itu terus dilantunkannya setiap hari hingga tiba hari kelahiran San Kasan. Dan doa wanita itu pun terwujud. Seorang bayi laki-laki terlahir sehat tanpa raut tangis di wajahnya.
Selepas bercerita, San Kasan berpamitan pulang. Sebelum pergi ia memberikan beberapa lembar uang kepada Pak Badrur yang masih tertegun heran. Lembaran uang itu cukup untuk membayar pesanan seluruh pengunjung warung kopi.
“Ini sekalian kopinya teman-teman. Biar saya yang traktir.”
***
Di suatu pagi yang tak terlalu cerah, San Kasan bangun dari tidurnya. Ia masih setengah mengantuk ketika melihat sinar matahari menerobos jendela kamarnya yang tak bertirai.
Dari jendala kamar itu, ia dapat melihat sebuah pohon jambu yang tak berbuah. Pohon jambu itu menopang beberapa burung emprit yang nampak asyik mengobral cecuitan.
Tak ada yang spesial di pagi itu. Segalanya nampak begitu biasa. Adegan yang terjadi di balik jendela itu juga seperti biasa. Namun, ada yang sedikit berbeda dari diri San Kasan.
Ya, perbedaan itu ada di bagian mata. Mata yang tadinya mengantuk itu, kini tengah basah oleh air mata.