Manunggaling Kawula Gusti tak melulu soal teologi akidah. Tapi ideologi muamalah. Sebuah gerakan pembebasan yang pertamakali diusung secara sistematis, di Bumi Nusantara.
Manunggaling Kawula Gusti selalu mengingatkan kita pada ajaran Syekh Siti Jenar. Dan selama ini, ajaran tersebut identik sebagai konsep akidah teologi Kesatuan Eksistensi (Wahdlatul Wujud). Padahal, secara ilmiah, Manunggaling Kawula Gusti adalah gerakan sosial. Gerakan kerakjatan!.
Syekh Siti Jenar atau Syekh Lemah Abang merupakan ulama intelektual yang bernama asli Sayyid Datuk Abdul Jalil (1426-1517 M). Keluarga besarnya berasal dari Malaka yang kemudian hidup di Cirebon. Sebelum berdakwah di Nusantara, Syekh Siti Jenar sempat belajar selama 17 tahun di Baghdad, Irak.
Untuk diketahui, Syekh Siti Jenar adalah figur pertama yang membawa Tarekat Syattariah ke bumi Nusantara. Ini alasan Tarekat Syattariah pertamakali muncul secara masif di lingkungan Keraton Cirebon. Ini juga alasan Tarekat Syattariah identik sebagai tarekat para pejuang.
Diakui atau tidak, para penjajah beserta antek-anteknya berhasil membuat narasi buruk tentang Syekh Siti Jenar. Terbukti, selama ratusan tahun, Syekh Siti Jenar dikenal masyarakat dari sisi dan framing yang tidak benar. Riwayat Syekh Siti Jenar seperti sengaja dikubur dan dikaburkan. Riwayat ilmiahnya dikuburkan. Sementara cerita yang beredar tentangnya, dikaburkan kebenarannya.
Syekh Siti Jenar digambarkan berkonflik dengan Lembaga Wali Songo. Bahkan melalui berbagai cerita dan film, Ia digambarkan berseteru dan wafat di tangan Sunan Kalijogo. Cerita buatan penjajah beserta antek-anteknya semacam ini, selain tidak logis, juga sudah waktunya di-counter dan diluruskan.
Sebab secara empiris, Sunan Kalijogo adalah menantu Syekh Siti Jenar. Istri ketiga Sunan Kalijogo adalah Syarifah Zainab binti Syekh Siti Jenar. Darinya kelak lahir Ratu Pembayun (istri Sultan Trenggono), yang kemudian melahirkan Ratu Cempoko (istri Sultan Hadiwijaya).
Baca Juga: Silsilah Syekh Siti Jenar Sesuai Itsbat Naqib Maroko, Turki, dan Irak
Sunan Kalijogo sangat hormat pada Syekh Siti Jenar. Baik dari sisi keilmuan, dari sisi kesepuhan, atau dari sisi sebagai seorang mertua. Dan yang jelas, tak ada cerita mantu berani berhadap-hadapan dengan mertua secara tidak sopan. Ini penting untuk diutarakan.
Sudah waktunya mengembalikan sisi ilmiah Syekh Siti Jenar. Termasuk mengembalikan marwah baik Syekh Siti Jenar sebagai figur intelektual muslim yang punya pengaruh besar bagi peradaban islam dan kehidupan sosial masyarakat kelas bawah.
Manunggaling Kawula Gusti
Konsep Manunggaling Kawula Gusti ala Syekh Siti Jenar, sesungguhnya tak berkait dengan teologi akidah. Tapi berhubungan dengan ideologi muamalah, gerakan sosial dan gerakan pembebasan. KH Agus Sunyoto, dalam statemen ilmiahnya mengatakan, Manunggaling Kawula Gusti merupakan tonggak perubahan sosial pertama di Bumi Nusantara.
Nusantara pada zaman kuno, mulai era Majapahit hingga zaman Wali Songo, masyarakat hanya terbagi menjadi dua golongan. Masyarakat yang tinggal di dalam keraton disebut golongan Gusti. Sementara masyarakat yang tinggal di luar keraton disebut golongan Kawula. Gusti itu tuan dan Kawula itu budak.
Golongan Kawula tak punya hak milik. Sebab, semua dimiliki golongan Gusti. Sebaliknya, golongan Gusti boleh mengambil apapun milik golongan Kawula. Saat golongan Gusti melihat perempuan cantik, ia akan mengambilnya. Tak peduli istri orang. Saat membangun istana dan butuh tumbal, golongan Gusti akan mengambil golongan Kawula untuk ditumbalkan. Tak peduli anak orang.
Menurut KH Agus Sunyoto, Sayyid Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar) berusaha mendobrak dikotomi sosial itu. Mula-mula, beliau mendirikan sebuah desa bernama Lemah Abang di Cirebon. Di mana, di dalam pendirian desa, beliau menyatakan penduduk Lemah Abang bukan Kawula, tapi masyarakat. Istilah “masyarakat” diambil dari kata “Musyarokah” yang artinya bekerjasama.
Kawula dan Masyarakat jelas memiliki perbedaan. “Masyarakat” punya hak dan milik. Hak berkeluarga, hak beragama, hak tanah. Sementara “Kawula” tidak punya hak dan milik. Syekh Siti Jenar mengubah tatanan sosial melalui pendirian Desa Lemah Abang di Cirebon.
Keberadaan masyarakat Lemah Abang benar-benar mengganggu stabilitas politik kaum aristokrat (Gusti/Keraton). Tiap ada golongan Gusti yang ingin mengambil anak orang misalnya, langsung dilawan masyarakat Lemah Abang. Sebab, di wilayah itu, mereka sudah punya hak untuk melindungi dan melakukan perlawanan.
Masyarakat Lemah Abang yang dibangun Syekh Siti Jenar diidentikan sebagai kaum pemberontak. Padahal sesungguhnya, dari sinilah perubahan sosial itu dimulai. Dari konsep Lemah Abang lah, masyarakat mulai mengenal hak milik. Tanpa gerakan sosial Lemah Abang, masyarakat akan tetap menjadi Kawulo yang bahkan tak punya hak untuk hidup.
Manunggaling Kawula Gusti versi Syekh Siti Jenar, adalah gerakan sosial. Gerakan kerakyatan. Gerakan kesetaraan. Di mana, tak ada perbedaan antara golongan Kawulo dan Gusti. Bahkan, Syekh Siti Jenar menanamkan agar tak boleh takut dan menyembah Gusti (raja/aristokrat). Hanya Allah yang boleh disembah, bukan Gusti (Raja /Aristokrat).
Manunggaling Kawula Gusti adalah konsep egaliterian. Konsep pembebasan. Konsep anti feodalisme. Konsep anti penjajahan. Konsep anti penindasan. Manunggaling Kawula Gusti tak mengenal golongan Kawulo dan golongan Gusti. Sebab, di mata Tuhan, semua sama. Ini sesuai dawuh Quran: Inna akramakum ‘indallāhi atqākum.
Santri-santri Lemah Abang kian banyak dan berganda. Terbukti, banyak wilayah bernama Lemah Abang, sebagai representasi pergerakan para santri Syekh Siti Jenar. Kelak, mereka disebut sebagai Masyarakat Abangan, para santri Syekh Siti Jenar yang memiliki keberanian melawan Aristokrasi dan Oligarki kaum Gusti.
Syekh Siti Jenar mengajarkan pada masyarakat untuk hidup anti feodalisme dan anti imperialisme. Harus berani melawan keraton yang bertindak semena-mena. Hal ini, tentu saja, sangat mengganggu stabilitas politik kaum keraton (golongan Gusti).
Para aristokrat dan oligarkh (Gusti) berupaya menghentikan ajaran Syekh Siti Jenar dengan “membunuh karakter” Sang Syekh. Mereka, para aristokrat, berbondong-bondong membuat narasi cerita yang buruk tentang Syekh Siti Jenar melalui Kisah Babad. Orang Keraton (kaum Gusti) mulai memproduksi Cerita Babad demi mengubur dan mengaburkan sosok besar Syekh Siti Jenar.
Amaliyah Ruhani dan Amaliyah Sosial
Harus dipahami terlebih dahulu. Manunggaling Kawula Gusti sebagai amaliyah ruhani (tasawuf) tentu berbeda dengan Manunggaling Kawula Gusti sebagai gerakan sosial. Mayoritas anggota Wali Songo memiliki paradigma Manunggaling Kawula Gusti sebagai bagian dari tahapan konsep tasawuf. Sunan Giri dan Sunan Kalijogo misalnya, secara ilmiah, menganut paradigma Manunggaling Kawula Gusti.
Tapi, kenapa yang identik Manunggaling Kawula Gusti hanya Syekh Siti Jenar?
Jawabannya sederhana. Sebab, mayoritas menjadikan konsep Manunggaling Kawula Gusti sebagai amaliyah ruhani (tasawuf). Sementara oleh Syekh Siti Jenar, Manunggaling Kawula Gusti diwujudkan dalam bentuk realita sosial. Diwujudkan dalam gerakan sosial bahwa kawula (orang biasa) dan gusti (pejabat) itu sama saja.
Ini alasan kenapa di setiap Cerita Babad, mau Babad model apapun, nama Syekh Siti Jenar sangat buruk. Sebab, Babad adalah bikinan kaum feodal. Babad adalah buatan kaum Aristokrat. Babad adalah bikinan kaum Gusti. Cerita Babad selalu menggambarkan sisi negatif bagi siapapun yang merugikan oligarki (keraton), termasuk Syekh Siti Jenar.
Gerakan Anti Feodalisme dan Anti Imperialisme Pertama di Nusantara
Melalui konsep Lemah Abang, Syekh Siti Jenar mengajarkan kaidah egaliter. Melawan konsep bossy nan feodalistik. Dan ini telah dilakukan sejak era 1500 M. Artinya, secara empiris, inilah gerakan sosial pertama di Bumi Nusantara, yang mengajak masyarakat untuk berani melawan sistem feodalisme dan imperialisme secara sistematis.
Konsep Lemah Abang dilaksanakan pada awal dekade 1500 M. Artinya, gerakan ini dilangsungkan sebelum Revolusi Industri (1760-1850 M). Gerakan ini, bahkan dilakukan ratusan tahun sebelum Friedrich Hegel (1770-1831 M) dan Karl Marx (1818-1883 M) lahir ke dunia.
Jauh sebelum ada teori-teori sosial di Eropa, masyarakat Nusantara sudah memilikinya dan bahkan mampu menerapkannya secara sistematis. Ini penting untuk diketahui. Agar kita tak sekadar mengidolakan sesuatu dari luar, sementara sesuatu itu telah ada di Nusantara, ratusan tahun sebelumnya.
Manunggaling Kawula Gusti adalah momok paling menakutkan bagi para oligark, aristokrat dan kaum feodal. Ia hantu paling ditakuti kaum imperialis (penjajah). Tak heran nama Sayyid Abdul Jalil (Syekh Siti Jenar) dikubur dan ditenggelamkan oleh pihak-pihak tertentu. Bahkan nama beliau di-framing dan dikabarkan dengan narasi mitos yang buruk melalui berbagai cerita Babad.