Mengeluh berafiliasi dengan eluh — air mata. Mengeluh berarti mengairmata. Dan, ya, selain makan dan bercinta, bukankah mengeluh adalah bakat alami manusia?
Saat kau buka ponsel di pagi hari, lalu buka medsos mainstream— WA, FB, IG, Twitter —- dalam lingkar perkawananmu, apa yang kau lihat pertamakali? Adakah unsur mengeluh di sana?
Jika memang ada unsur keluhan, itu amat wajar sekali. Sebab, selain mudah dan tak perlu membutuhkan proses berpikir mendalam, manusia memang punya kepekaan khusus terhadap proses keluh-mengeluh.
Coba amati lingkar medsos di sekitarmu. Adakah ekspresi yang intensitas dan ritme frekuensinya melebihi intensitas keluhan atau proses mengeluh? Kalaupun ada, mungkin prosentasenya tipis sekali.
Di sebuah negara yang pernah dijajah selama 350 tahun, lalu, setelah merdeka dijajah lagi oleh bangsanya sendiri selama 30-an tahun lebih, proses mengeluh adalah kemewahan yang nilainya setara dengan makan secara teratur.
Jadi jangan heran, jika saat ini banyak orang rajin mengeluh, serajin mereka makan sehari-hari. Sebab di masa lalu, punya riwayat buruk tak bisa mengekspresikan keluhan — serupa susahnya kakek moyang kita mendapatkan makanan di zaman penjajahan.
Mengeluh, sesuai KBBI adalah menyatakan susah (karena penderitaan, kesakitan, kekecewaan, dan sebagainya). Jadi jangan heran jika mengeluh identik sesuatu tidak enak. Sebab ia berafiliasi langsung dengan eluh — air mata. Mengeluh berarti mengairmata.
Mengeluh memang jadi kebutuhan primer bagi orang-orang tertentu. Sebab ada unsur kepuasan pasca keluh kesah itu dimuntahkan dari dalam tubuh. Terlebih, di negara bekas jajahan yang sempat mengalami pemenjaraan ekspresi di era Orde Ba(r)u.
Sialnya, kita memang peka pada kesusahan. Andai kita diberi dua piring secara bersamaan. Yang satu piring berisi kenikmatan, satunya berisi kesusahan, pasti yang kita bikin status WA yang susah dulu. Itu wajar. Ya karena tubuh kita lebih peka pada kesusahan.
Yang terjadi hari ini, kita mendapati banyak orang mengeluh akibat Covid-19; Tidak bisa bepergian dengan mudah, mengeluh. Lama di rumah sampai bosan, mengeluh. Lalu, andai tak ada Covid 19, apakah kita akan berhenti mengeluh?
O, tidak. Mengeluh sejenis sumber daya pikiran yang bisa diperbaharui. Tidak seperti batu bara yang tak dapat diperbaharui, keluhan bisa hadir kapan saja. Karena itu baranya selalu ada.
Mengeluh menjadi manifestasi ketidakpuasan atau ketidaknyamanan yang dialami seseorang. Mereka yang sering mengeluh tentu sering merasa tak puas dan tidak nyaman pada keadaan.
Dan kita, generasi milenial, amat mudah memanifestasikan ketidakpuasan. Sebab saat ini didukung banyak alat dan beragam teknik untuk melakukannya. Sehingga wajar jika kita sering mengeluh.
Saking seringnya, kadang membuat pengeluh tak merasa bahwa dia sedang mengeluh. Entah saking enaknya atau saking menikmatinya atau memang sudah tak bisa membedakan mana keluhan dan mana tidak.
Tanpa ada Covid 19 pun, tampaknya kita akan tetap selalu mengeluh. Ya karena bakat mengeluh kita lebih tajam dibanding bakat menyimpan keluhan. Di lain sisi, keberadaan medsos telah memanjakan itu semua.
Jadi jangan heran jika mengeluh terasa begitu enteng dan enak dan amat menyenangkan. Tapi serupa apa saja yang enak-enak, pasti menyimpan dampak samping yang tidak enak dan tidak menyenangkan.
Sebuah studi dilakukan Departemen Biologi dan Psikologi Klinis di Universitas Friedrich Schiller Jerman mengungkap, bersama orang yang suka mengeluh secara terus menerus, menyebabkan otak memiliki reaksi emosional yang sama seperti saat dalam kondisi stress.
Jika tingkat stress dan emosi negatif pada tubuh meningkat, maka psikis akan semakin tertekan, rendah diri, dan tidak bisa berpikir positif. Dan memang, serupa pilek, mengeluh juga menular.
Istilah: kita adalah dengan siapa kita berteman, tentu benar adanya. Saat bersama seorang pengeluh, disadari atau tidak, kita akan terbawa untuk ikut mengeluh. Karena ia menular seperti rasa ngantuk.
Dan mengeluh, sialnya lagi, bisa berdampak pada kesehatan. Sebab mampu menurunkan imun tubuh. Dan menurunnya imun tubuh, kata Prof. Suzane Segertorm dari Universitss of Kentucky, berpotensi membuka peluang pada berbagai virus dan kuman penyakit untuk singgah dan menetap di dalam tubuh.
Jadi, mengeluh yang awalnya enak dan nikmat dan bikin kecanduan itu, berdampak buruk. Entah bagi kondisi jiwa atau kondisi tubuh. Sebab mengeluh berafiliasi dengan eluh (air mata). Kesedihan.
Mengeluh mungkin bisa jadi pembeda antara manusia dan hewan. Tapi, mengeluh juga jadi pembeda antara kualitas manusia satu dan lainnya. Sebab, hanya manusia berkualitas yang memiliki daya tahan terhadap godaan untuk mengeluh.