Sejumlah jimat peradaban yang tersebar di berbagai pelosok Nusantara, kini mulai bermunculan. Di Padangan, Bojonegoro, serpihan jimat itu berwujud manuskrip dan gelondongan kitab ilmiah klasik.
“Sudah mau sampai, 5 menitan lagi”. Kata Ajengan Ginanjar Syaban pada saya via chat WA. Doktor sekaligus intelektual muda NU itu tak sendiri. Ia bersama Lora Usman Hasan Kholili (Bangkalan) dan rombongan, dalam perjalanan menuju makbaroh Menak Anggrung Padangan (27/5).
Tulisan ini lanjutan dari Ekspedisi Jejak Leluhur Fiidarinnur yang kami lakukan demi menauladani sisi baik leluhur, khususnya dalam hal ubudiyah dan muamalah. Sehingga yang kami tahu tak hanya kisah karomah, tapi juga bagaimana beristiqomah.
Mbah Menak Anggrung atau Syekh Sabillah (1578-1650), merupakan penyebar islam sekaligus leluhur masyarakat Padangan. Beliau menyebarkan islam melalui Ponpes Menak Anggrung yang didirikan pada circa 1610 masehi. Makam beliau jadi lokasi pertama yang kami kunjungi.
Saya bergegas ke tempat parkir untuk menyambut rombongan. Sementara di dalam makbaroh, sudah standby Kak Farid Anshoruddin dan Pakde Furqon Azmi. Dua kerabat yang selalu memotivasi saya untuk terus menggali khazanah islam di tempat kelahiran kami, secara ilahiah dan ilmiah.
Setelah membaca tahlil, bertawasul, dan berdoa di depan makam Syekh Sabil dan Syekh Hasyim yang berada di dalam makbaroh, kami berbincang sebentar tentang betapa bahagianya kami bisa berjumpa. Tak semua orang ditakdir memiliki hobi seperti kami.
Selain karena hobi turunan, saya juga selalu ingat sebuah ucapan: “Barangsiapa menulis sejarah waliyullah, maka dia bersamanya di hari kiamat. Barangsiapa mempelajari sejarahnya karena cinta, maka seakan-akan ia (telah) mengunjunginya”. (Habib Ali bin Hasan Al Athas Shohib Masyhad, penulis kitab Al Qirthas fi Manaqibil Athas).
Perjumpaan kami dengan Tim Nahdlatut Turots memang anugerah besar. Terlebih, bisa ditakdir berjumpa di tengah geliat hidup yang amat menyibukkan. Lora Usman Kholili jauh-jauh dari Bangkalan. Ajengan Ginanjar Syaban jauh-jauh dari Bogor. Mereka bisa datang ke Padangan, tentu bukan karena kebetulan.
“Kita kayak sudah ketemu kan ya, tapi di mana ya?” Ucap Lora Usman sambil menepuk pupu saya penuh keakraban. Saya juga merasa demikian, tapi lupa. Saya coba ingat-ingat. Belum juga ingat, Lora Usman kembali berkata, “Ajengan ini sering mimpi ditemui leluhur, agar kita bisa diperjumpakan”. Ucapnya bergurau sambil menunjuk Ajengan Ginanjar.
Mendengar itu, hati saya maktratap. Saya ingat bahwa secara ilmiah, ulama adalah episentrum energi positif. Tiap episentrum, punya frekuensi energi yang bisa mengintervensi alam semesta untuk mempertemukan gelombang yang sama. Serupa jodoh, energi yang memiliki kecocokan, serasa sudah berjumpa. Meski belum ketemu sebelumnya.
Setelah berziarah di makam Syekh Sabil, kami melanjutkan perjalanan menuju makam Syekh Abdurrohman Alfadangi (sohibul manuskrip). Lora Usman tak ikut rombongan naik mobil. Dengan penuh tawadhu, beliau justru minta saya boncengkan naik motor saja.
Tak butuh waktu lama, kami sampai di makam Syekh Abdurrohman Alfadangi (1776-1877), ulama yang juga penulis banyak kitab pada abad ke-18. Setelah tawasul dan berdoa, kami bergegas menuju lokasi utama untuk membaca dan mengkaji manuskrip Padangan beserta sejumlah kitab lain karya beliau.
“Sini dulu, ente sohib sini, ayo foto dulu”. Ajak Ajengan Ginanjar pada saya, sebelum kami beranjak menuju lokasi manuskrip.
Setelah berfoto, dalam perjalanan, saya berbisik, “Ini makam paling dikeramatkan, saya nggak pernah foto di sini”. “Lho, saya nggak tahu. Kok nggak bilang-bilang”. ucap Ajengan. “Barokah nggak tahu, jadi kita dimafhumi”. Kami pun tersenyum.
Kami menyadari sebuah fakta penting, barokah dikeramatkannya Syekh Abdurrohman, banyak karya beliau yang sampai saat ini masih bisa dibaca dan dipahami. Andai tidak, mungkin penjajah Belanda sangat mudah merampasnya. Belanda paling takut memasuki kawasan makam Mbah Abdurrohman.
Dalam Penghancuran Buku dari Masa ke Masa karya Fernando Baez (2013), disebut bahwa pusat pendidikan dan buku-buku jadi sasaran utama kaum penjajah. Ini ditujukan untuk memutus primordialisme psikologis masyarakat pribumi, sehingga mudah ditaklukan. Ini alasan banyak karya ulama yang dijarah kaum penjajah.
Hampir semua ulama Padangan yang hidup pada abad ke-18, merupakan ulama penulis. Tapi tak semua karya intelektual itu saat ini bisa dijumpai. Selain karena rusak, juga dijarah penjajah. Karya yang masih bisa dibaca, mayoritas milik ulama-ulama yang masyhur keramat dan memiliki khodam binatang buas.
Membaca Jimat Peradaban
Azimat atau jimat, selama ini identik dengan hal-hal ghaib. Jimat identik benda pelindung yang keramat. Dalam konteks yang lain, jimat adalah metafora ilmu pengetahuan. Secara ilmiah, jimat adalah sesuatu yang melindungi seseorang dari kebodohan dan ketergelinciran hidup.
Kami beserta rombongan sampai di tempat utama. Di Ndalem Kasepuhan Ponpes Al Basyiriyah Pethak, tepat adzan Ashar berkumandang. Di sanalah, Manuskrip Padangan dan sejumlah karya intelektual ulama terdahulu tersimpan rapi. Di sana, kami disambut Pengasuh Al Basyiriyah, KH Atho’illah Maimun dan KH Ismail Sulaiman.
Kami mendengar bahwa hampir mayoritas ulama sepuh mendapat isyaroh untuk “mbongkar pusoko” jimat masa silam. Pusaka yang dimaksud, adalah karya ilmiah para ulama terdahulu, yang selama ini hanya dikeramatkan di dalam almari atau tempat yang tersembunyi.
Di saat bersamaan, akan banyak ditemukan makam-makam para Waliyullah penyebar islam di berbagai tempat. Secara ilmiah, ini pertanda dan pengingat agar kembali mendekat pada ajaran Aswaja, di tengah menjamurnya ajaran-ajaran baru yang kian menjauh dari suri tauladan para pendahulu.
Selain membaca dan memahami manuskrip, kami beserta rombongan membaca sejumlah catatan tangan bertarikh awal 1800 masehi. Catatan-catatan itu, sesungguhnya berisi pesan penting yang terkubur selama ratusan tahun. Selain informasi keilmuan, juga data tentang jejaring ulama abad ke-18.
Ajengan Ginanjar mengatakan jika keberadaan manuskrip-manuskrip di Padangan, menunjukan arti penting Padangan secara historis. Selain itu, Padangan juga jadi bagian dari peta jaringan intelektual nusantara. Sebab, manuskrip dan sejumlah karya tulis berasal dari awal abad ke-18.
Lora Usman juga menemukan banyak informasi bertiti mangsa 1225 H (1810). Bahkan, secara jaringan keilmuan, ada beberapa tokoh besar yang disebut dalam tulisan-tulisan itu, diantaranya: Kiai Bagus Imam Puro, Kiai Tuyuhan, Kiai Sidoresmo, dan Kiai Keboncandi.
Dalam penelusuran tersebut, Lora Usman menemukan kitab legendaris, Fathul Mannan. Kitab ini juga ditemukan dalam tulisan Kiai Sholeh Tambakagung Bangkalan. Kiai Sholeh Tambakagung mencatat secara gamblang bahwa beliau ngaji kitab ini pada dua tokoh besar: Kiai Abdul Mannan Dipomenggolo (muassis pesantren Tremas) dan Kiai Imam Asy’ari Karanggayam, Mojokerto.
Selama ratusan tahun, manuskrip dan karya ilmiah para ulama terdahulu jadi azimat (jimat) yang dikeramatkan. Hal ini memang punya tujuan. Agar kelak, setelah era penjajahan usai, jimat itu bisa dipelajari dan dipahami secara ilmiah. Sebab, berisi banyak informasi peradaban masa silam. Andai tak dikeramatkan, mungkin sudah dijarah penjajah.
Kami beserta rombongan kembali pulang saat adzan maghrib berkumandang. Tentu, itu waktu yang amat singkat untuk memahami banyak jimat penting yang kami temukan. Karena itu, kami menjadwalkan agar kelak bisa kembali membaca dan memahami pesan-pesan penting yang terdapat dalam manuskrip.
“Separuh hati kawan-kawan rombongan masih tertinggal di Padangan”. Ucap Ajengan Ginanjar Syaban pada saya, lewat pesan WA.