“Membangun rumah tangga atau rumah makan?” Keduanya beda, tapi kerap disamakan.
Saya mendapat kata-kata di atas ketika sedang berjalan-jalan di Togamas Bojonegoro. Waktu itu, tiba-tiba mata saya terhenti pada satu kalimat dalam cover belakang novel Pidi Baiq yang berjudul Asbunayah, “Mengapa istri harus pintar masak? Ini kan rumah tangga, bukan rumah makan?”
Suatu ketika, saya memutuskan untuk mengunggah pertanyaan tersebut di WhatsApp story. Saya sudah memprediksi segala kemungkinan yang akan terjadi, termasuk celaan dan nyinyiran para (calon) istri qualified yang distandarkan oleh budaya patriarki.
Seketika saya menerima banyak pesan masuk, salah satunya dari teman dekat saya, seorang perempuan yang tidak lelahnya menyuarakan untuk menjadi ‘perempuan baik-baik’.
“Biar disayang suami dong. Kan kalau istri masak, suami jadi betah di rumah.” Kalimat tersebut jelas tidak memiliki jaminan atas kebenarannya. Teori masakan istri bisa membuat suami betah di rumah tidak memiliki landasan kuat, kecuali pengalaman beberapa gelintir rumah tangga saja.
Budhe saya masak setiap hari, Pakde juga makan di rumah, baik itu sarapan, makan siang, maupun makan malam. Tapi setelahnya selalu pergi ngopi di luar. Permasalahannya bukan terletak pada kopi dan masakan di rumah. Tapi kebutuhan mereka (para suami atau laki-laki) untuk berkumpul dan berbincang dengan kawan-kawannya.
Sekadar merespon kembali teman saya itu, saya kembalikan pertanyaan itu padanya. “Apa berarti laki-laki harus pintar masak biar istrinya betah di rumah?”
Tidak butuh waktu lama, HP saya kembali berbunyi. “Kalau istri suka ngeluyur, berarti dia perempuan nggak bener dong. Hehe.”
Sampai di sini saya diam beberapa detik untuk mencerna kalimat teman saya ini. Saya tidak tahu yang dikatakan dengan ‘perempuan nggak bener’ ini yang seperti apa. Tapi saya menangkap pemaknaan yang negatif.
Hal yang saya lakukan hanya menanyakan kembali apa yang teman saya katakan. Saja merespon dengan pertanyaan kembali. “Kalau begitu laki-laki tukang nggeluyur juga busa disebut laki-laki nggak bener ya?”
Sudah bisa diduga bahwa selanjutnya saya hanya akan mendapatkan serangkaian ceramah tanpa dasar yang mengaburkan kodrat dan tugas yang dapat dipertukarkan.
Saya juga diberitahu mengenai tugas perempuan dalam islam ada 3 yakni; macak, manak, masak. Tiga hal tersebut dilakukan untuk membantah argumen saya yang membenarkan Pidi Baiq tentang memasak bagi istri.
Saya yang sudah biasa dengan hal-hal seperti ini hanya membalasnya dengan cengengesan. “Saya tidak melarang istri memasak, tapi perihal memasak itu bukan sesuatu yang diatur oleh agama. Saya tidak menemukan landasan hukum untuk mengatakan perintah memasak bagi perempuan. Itu bukan kodrat, itu tugas yang bisa dipertukarkan. Bisa dilakukan oleh istri maupun suami, tergantung pada kesepakatan.”
Balasan yang saya ketik dengan cengengesan tersebut sebenarnya jika diucapkan secara lisan akan bernada biasa saja. Seperti nada umumnya orang ketika berbicara.
Tapi, sialnya, teks tidak memiliki penekanan, nada bicara, atau apapun yang membuat kita bisa dengan mudah menyimpulkan apakah teks ini mengandung kemarahan? Mengandung candaan? Atau biasa saja. Jadi, pembacaannya tergantung pada kondisi emosi pembaca.
Setelahnya saya tidak dapat lagi melihat WhatsApp story teman saya tersebut. Tidak bercanda sebagaimana dulu kami bercanda.
Lebih lucu lagi, pembahasan yang sama dengan teman saya yang berbeda berujung akhir dari pertemanan kami. Saya diblokir dari daftar temannya hanya karena mengatakan bahwa memasak bukan kondrat perempuan.
Saya masih dengan cengengesan akhirnya menyudahi segala perdebatan saya dengan siapa pun perihal memasak. Mungkin sebagian besar dari mereka memang meyakini bahwa perihal mencari istri itu bukan hanya perihal membangun rumah tangga, tapi juga investasi untuk mendirikan warung makan.
Dan teruntuk laki-laki yang juga memandang bahwa calon istrinya juga harus pandai memasak, saya menyarankan untuk meminang ibu-ibu penjual nasi padang. Karena kelezatan masakannya tidak butuh pembuktian apa-apa lagi.