Yang aku butuhkan hanyalah menyepi. Setiap sudut jalan, setiap kafetaria, setiap tempat, setiap segala yang menyisakan masa lalu, sering membuat dadaku terasa sesak.
Terlalu banyak aku mempertanyakan keadaan, terlalu banyak kemalangan yang menimpaku. Kota Malang tak sesejuk yang diperkirakan. Ia dingin dan menusuk. Aku memutuskan untuk pergi. Menjauh dari dinginnya kota.
Aku membatin, gunung adalah tempat yang cocok. Aku bergegas menarik gas motor bebek milikku yang berdebu. Tujuanku adalah Bukit Banawa. Bukit kecil yang tak jauh dari sebuah kampung di sisi barat tempat tinggalku. Kota yang berjejal kepedihan.
Adzan maghrib bergema.
“Sepertinya ini surau terakhir sebelum meninggalkan kampung dan memasuki hutan kecil,” batinku.
Aku memutuskan untuk singgah dan beribadah sejenak. Ritual yang jarang sekali aku lakukan. Mungkin hanya dalam keadaan hancur seperti ini, aku melakukannya. Ini memang memalukan. Dan begitulah kenyataannya.
Sebagai mahasiswa filsafat penganut paham liberal, aku cenderung sekuler menjalani hidup. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali beribadah. Meski begitu, aku cukup sering berdo’a, tapi tidak sadar kemana aku mengirim doa-doa itu.
“Tuhan, barangkali dadaku terlalu sempit untuk mempertebal iman, melawan dingin kesedihan saja aku tak sanggup, ampuni aku Tuhan, beri aku keajaiban,” baru kali ini aku merasa sangat dekat dengan Tuhan.
Aku melanjutkan perjalanan. Lalu tiba di salah satu sisi bagian timur Bukit Banawa. Pada bagian ini terdapat sebuah danau kecil. Airnya sangat jernih, hingga aku bisa dengan jelas melihat bayangan bulan dan bintang. Melalui permukaan danau, bintang terlihat indah seperti mutiara di lautan.
Aku memandang satu bayangan bintang yang paling terang. Entah mengapa, aku sangat menyukai cahaya bintang itu. Kuning menyala dengan sedikit biru di sekelilingnya. Namun, sekejap bayangan itu menghilang. Aku menoleh ke langit pun, bintang itu menghilang.
Tiba-tiba, ada cahaya yang begitu terang mendekat. Dari balik pepohonan, cahaya itu melesat dan menghantam tepian danau di seberang posisiku duduk. Lantas aku berlari ke arah jatuhnya cahaya itu.
Saat mendekat, aku sangat terkejut. Lebih tepatnya aku merasa ketakutan. Aku melihat sebuah cahaya putih terang keperak-perakan. Entah kenapa, rasa takut berubah menjadi rasa penasaran. Aku mencoba mendekatinya.
Ternyata, cahaya tersebut menjelma menjadi sosok perempuan. Seorang yang cantik nan anggun. Dia berdiri di atas sebuah batu yang cukup besar. Cukup lama aku memandangnya dengan tubuh yang bergetar. Tak selang berapa lama, dia pun memandang ke arahku.
“Setaaaannnnnnn!”
Aku berpaling dan langsung lari tanpa tujuan. Seketika pula dia sudah di depanku. Aku dibuatnya berhenti dan diam seketika. Aku menutup mata.
“Jangan takut padaku,” katanya.
“Siapa kamu?” aku masih menutup mata.
“Bukankah kau menginginkan keajaiban dari Tuhan?” tanya dia.
Belum sempat aku menjawab, dia melanjutkan kalimatnya.
“Aku tahu hatimu sedang hancur. Pikiranmu sedang tak karu-karuan. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa di sini. Yang jelas, Tuhan mengirimkan keajaibanNya untukmu melalui aku,” Jelasnya.
Aku pun tertegun. Kemudian duduk menunduk sambil tetap memejamkan mata.
“Ternyata Tuhan benar-benar mendengarku. Sepertinya, Tuhan inilah yang sebenarnya. Telah lama aku berdoa tanpa terbalas. Dan akhirnya, Tuhan di surau itu yang menjawabku,” ucapku dalam batin.
Aku menengadahkan kepalaku. Memberanikan membuka mata dan memandang ke arah perempuan itu.
“Lalu, siapa kamu?” tanyaku.
“Aku tahu siapa kamu. Ben Awan Jaladri, seorang penulis yang sedang patah hati.” Jawabnya. Kemudian dia melanjutkan kalimatnya.
“Kamu bebas memberiku nama. Aku suka jika kamu memangilku Tiara, seperti mutiara danau ini yang tercipta dari cahaya bintang. Bukankah kamu menyukainya?” katanya.
“Manusia hanya mengingat nama. Sedangkan dunia ini tidak perlu penamaan-penamaan. Apa yang diucap selalu berbeda, apa yang disebut selalu tak sama. Setiap waktu berubah.” lanjutya mempertegas.
“Sebenarnya, aku dikirim Tuhan untuk membuktikan yang kamu pertanyakan dalam benakmu.” dia kembali melanjutkan, tapi agak lirih.
Aku tidak terlalu memikirkan perkataannya. Aku masih belum memahami keadaan yang terjadi. Namun, perlahan aku mulai sadar dengan sekitar. Aku pun bertanya kepada perempuan bercahaya itu.
“Lalu, bagaimana aku bisa menghentikan rasa sakit di dalam hatiku?” tanyaku.
“Kamu sendiri yang tahu bagaimana caranya. Kamu yang memiliki rasa. Kamu sendiri yang merasakannya. Bukankah hidup ini sebuah perjalanan panjang dari suasana ke suasana lain? Rasakan suasana itu. Tidak perlu kau tahu dan ingat nama-nama. Ingatlah rasanya, ingatlah perasaanmu dan cintailah apa yang kamu rasakan.”
Aku kembali tertunduk. Aku sangat paham apa yang dia katakan. Kata-kata itu sangat akrab dengan tulisan-tulisanku. Bahkan, itulah yang selama ini aku percaya. Namun, hancurnya perasaan ini telah membuat aku lupa dengan segala yang ada di dalam tubuhku. Aku lupa segala yang ada dalam memory saraf-sarafku. Aku lupa dan aku kacau.
Aku kembali memandangnya. Pandangan kabur. Penglihatanku agak kabur terhalang oleh air. Aku mengusapnya. Setelah aku jelas melihat lingkungan sekitar, perempuan itu sudah tidak ada.
Aku berdiri dan mencoba memandang ke segela arah. Perempuan itu benar-benar menghilang.
Aku kembali ke tempatku semula di seberang danau. Belum sempat melangkahkan kaki, tiba-tiba suara perempuan tadi kembali terdengar dari segala penjuru.
“Kamu tidak perlu mencariku. Kita akan selalu bertemu kembali. Tunggulah di persimpangan garis takdir hidupmu.”
Aku mengambil motor. Memasang earphone di telinga, lalu memacu motor menjauhi tepian danau. Di perjalanan, telingaku disesaki lagu Jagostu, Mau Tak Mau — sebuah lagu yang cukup religius bagiku.