Razia buku ibarat sebuah daerah kekeringan yang dipaksa berdoa untuk meminta hujan, setelah itu, masyarakat yang berdoa tadi tak boleh hujan-hujanan karena dikhawatirkan terserang pilek.
Sejumlah kawan di berbagai penjuru negeri, mengabarkan jika hari ini (10/8), mereka menggelar aksi Melapak Serentak sebagai respon atas aksi razia buku yang akhir-akhir ini masih kerap terjadi.
Selain mengabarkan melalui berbagai media, sejumlah poster propaganda pun bertebaran di layar ponsel. Dan entah kenapa, saya merasa sedih sekaligus bahagia di saat bersamaan.
Sedih karena masih sering terjadi razia buku, dan bahagia karena solidaritas para pegiat literasi terus mengalami hukum kekekalan energi.
Tiap kali ada kabar tentang razia buku, saya selalu ingat kisah tentang Maria Keller, gadis remaja dari Minneapolis, Minneosta, yang menghabiskan hidupnya demi mendorong seluruh anak di dunia untuk mau membaca buku.
Keller gadis yang sejak usia 8 tahun sudah suka membaca buku. Dia heran melihat sejumlah kawannya tak suka membaca. Dan lebih heran ketika tahu bahwa di dunia ini, ada anak-anak yang tidak membaca buku karena kesulitan mendapat buku.
Sebelumnya, Keller tak pernah berpikir jika di dunia ini, ada anak-anak yang kesulitan mendapat buku. Setelah mengetahui bahwa di dunia ini ada anak yang kesulitan mendapatkan buku, dia pun memutuskan untuk membantu mereka.
Dia ingin semua anak di muka bumi suka membaca buku. Tak lama setelah itu, dia mendirikan Read Indeed, sebuah lembaga yang bertujuan menyumbangkan buku pada anak-anak di seluruh dunia. Ibunya membantunya membuatkan situsweb.
Melalui Read Indeed, Keller mengajak orang menyumbang, menampung dan mengirim buku pada anak-anak yang membutuhkan. Ia mengirim buku itu ke rumah sakit kecil, penampungan anak gelandangan, hingga ke sekolah-sekolah miskin.
Pada 2008, ketika lembaganya baru berdiri dan usianya masih 8 tahun, Keller menetapkan target awal bahwa pada usia delapan belas, dia harus berhasil mengumpulkan satu juta buku.
Target Keller tercapai lima tahun lebih cepat. Dia berhasil mengumpulkan satu juta buku pada 2013, ketika usianya tepat 13 tahun.
Setahun setelah itu, pemerintah Amerika Serikat memberinya penghargaan nasional Jefferson Award for Public Service kategori anak muda 25 tahun ke bawah yang melakukan sesuatu untuk masyarakat.
Pada 2018, saat usianya 18 tahun, Keller sudah mengumpulkan dan menyebarkan lebih dari 2,4 juta buku, atau hampir dua setengah kali lipat dari target awal. Keller tak ingin berhenti.
Sebab, dia tahu, masih ada ratusan juta anak di dunia ini yang sulit mendapatkan buku bacaan. Read Indeed, kata Keller, akan terus berjalan.
Apa yang dilakukan Keller, kadang terkesan bertolak belakang dengan apa yang kita alami di Indonesia. Ketika banyak anak muda — tanpa pamrih — menyebarkan buku, justru dirazia dan ditangkapi, karena dikhawatirkan menyebarkan penyakit mata. Tentu itu kekhawatiran yang berlebihan.
Meski konon angka buta huruf di Indonesia kian menipis, rasa-rasanya tak begitu berdampak pada angka buta baca. Sebab, minat baca di Indonesia masih rendah. Dan sialnya, variabel utama dalam rendahnya minat baca, adalah sulitnya mendapat buku bacaan.
Tentu, adanya kabar razia buku ibarat sebuah daerah kekeringan yang dipaksa berdoa untuk meminta hujan, setelah itu, masyarakat yang berdoa tadi tak boleh hujan-hujanan karena dikhawatirkan bisa terserang pilek.
Kawan-kawan pernah mengeluh tentang betapa sulitnya mengajak orang untuk suka membaca buku. Bahkan, mereka mengibaratkan mengajak orang untuk suka baca buku serupa mengangkut 15 ekor beruang dan kura-kura menggunakan sepeda ontel tua.
Dan di saat yang sama, kita masih kerap disuguhi kabar-kabar tentang masih adanya giat razia buku. Tentu itu sangat ironis.
Saya sering mengkhayal, merazia buku di tengah daerah yang minat bacanya minim, tentu sama seperti menguras comberan yang airnya sudah mengering dan jentik nyamuk pun tak bisa hidup di dalamnya. Bukankah itu mendekati sia-sia?
Lalu, khayalan itu saya kembangkan lagi. Andai aparat masih ingin menjadi pribadi yang bermanfaat, bukankah lebih baik melakukan patroli dan merazia orang yang kedapatan tidak membaca? Selain lebih tepat, itu bermanfaat bagi masa depan bangsa dan negara.
Mereka yang kedapatan pacaran di tempat umum dan tak terlihat sedang membaca buku, misalnya, bisa langsung didata dan diberi buku Kiat Sukses Meyakinkan Calon Mertua. Atau mereka yang kedapatan melamun di depan kantor pemerintahan dan tak mengerjakan apa-apa, bisa langsung didata dan dikasih buku berjudul Melamun tapi Tetap Produktif Mendapat Pemasukan Pasif.
Saya kira, untuk mendapatkan buku-buku dengan judul di atas, sangatlah mudah. Bisa menghubungi pegiat literasi setempat. Dan saya kira, tindakan itu sangat bermanfaat, mulia, dan lebih bijaksana.