Festival Bengawan Solo merupakan perayaan tahunan untuk merayakan Hari Jadi Bojonegoro. Tahun 2018 menjadi edisi ke-5 dari festival ini. Diantaranya, mengundang seniman untuk melukis di bantaran sungai.
Sebagai panitia penyelenggara, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Bojonegoro membikin beberapa terobosan baru di tahun 2018 ini lho, Nabs. Yakni menyertakan sejumlah komponen seni pada rangkaian acaranya.
Penampilan sandur, musik lesung, melukis bersama, lomba perahu hias, hingga gelar sastra pelajar dihadirkan pada festival tersebut. Lomba perahu hias ini diikuti desa-desa, jajaran dinas, serta perusahaan swasta di Bojonegoro.
Pada 2018 ini, rute perahu dimulai dari Lapangan Sale Desa Sukoharjo Kecamatan Kalitidu dan diakhiri di Taman Bengawan Solo Bojonegoro. Bupati Bojonegoro, Anna Muawanah datang langsung ke lapangan Sale untuk memberangkatkan peserta perahu hias.
Tahun ini, para seniman lukis diundang secara khusus untuk melukis di tepi sungai Bengawan Solo. Temanya: Bengawan Solo. Sekitar 40-an seniman menggoreskan tinta lukisnya di pinggir sungai. Karya dari para seniman itu, rencananya, bakal dilelang oleh Disbudpar Bojonegoro.
Salah satu seniman asal Bojonegoro yang turut berpartisipasi adalah Imam Mahdi. Seniman yang tinggal di Mojokampung tersebut melukis panorama sungai Bengawan Solo yang menurutnya sudah menjadi ikon kota Bojonegoro.
Imam mengatakan bahwa Hari Jadi Bojonegoro juga harus dimaknai sebagai Hari Jadi Bengawan Solo. Maka, peringatan ini harus dimaknai secara mendalam. Terutama dalam melibatkan Bengawan Solo.
Melalui lukisannya dalam kegiatan Festival Bengawan 2018 ini, Imam menuangkan filosofi tentang interaksi manusia dan alam semesta. Imam memberi tajuk “Rahayu” untuk lukisannya.
Di lukisan tersebut, fokus utamanya adalah perahu yang memiliki retakan kecil. Menggambarkan manusia yang tidak sempurna. Lalu, ada Iwak Jendhil yang menggambarkan hasil alam dari Bengawan yang bisa kita manfaatkan.
Sebagai latar belakangnya adalah warna jingga dan aliran sungai Bengawan Solo yang menyebar ke berbagai penjuru Bojonegoro.
Beberapa coretan warna dia gambarkan sebagai corak kehidupan. Ada pula dua bendera, warna merah dan putih. Melalui dua bendera ini, Imam mengingatkan bahwa kita hidup dan makan dari Bumi Pertiwi. Oleh karena itu, kita harus terus bersyukur.
“Selama ini kita hidup dari Bengawan Solo. Bahkan sungai ini tidak pernah memberi kita bencana. Kalau pun terjadi bencana, itu adalah ulah manusianya,” kata Imam.
Ulah manusia yang dia maksud, seperti membuang sampah sembarangan. Sehingga, sebagai masyarakat yang hidup dari Bengawan Solo, harus lebih banyak bersyukur, dan tidak lupa untuk selalu merawatnya.
Imam tidak lupa membubuhkan sentuhan tokoh pewayangan dan aksara Jawa. Tokoh yang dia lukiskan adalah Bethara Guru, yaitu tokoh dewa tertinggi dalam pewayangan.
Dalam lukisan ini, tangan Bethara Guru mengulur ke bawah. Sebagai simbol bahwa ada tangan Tuhan yang memberikan kita berbagai macam berkah.
Sedangkan aksara Jawa yang dia tuliskan adalah Rahayu Sesantining Bengawan. Dia memaknai kalimat itu sebagai ucapan rasa syukur atas peringatan Bengawan Solo.
Dalam kesempatan yang sama, pesan serupa juga disampaikan salah satu dewan juri Lomba Hias Perahu, Heri Prasetyo. Pria yang lebih akrab disapa Heri Lentho tersebut menyatakan bahwa Festival Bengawan sebaiknya memberi dampak bagi masyarakat.
“Festival ini harusnya punya dampak bagi warga sekitar. Dengan begitu, kita bisa merawat Sungai Bengawan Solo. Ini kan sesuai dengan tema Festival Bengawan 2018 ini,” ujar Pria yang pernah mendapatkan penghargaan Kementrian Pariwisata untuk kategori kreator seni pertunjukkan pada 2014 lalu itu.
Pagelaran Festival Bengawan 2018 tidak hanya dimaknai sebagai pesta rakyat saja, Nabs. Namun juga sebagai refleksi kita sebagai masyarakat yang hidup berdampingan dengan sungai Bengawan Solo. Karena, sungai Bengawan Solo sudah menjadi bagian penting dari Kabupaten Bojonegoro.