Bulan Agustus jadi bulan yang identik dengan perayaan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Tentunya, Agustus erat kaitannya dengan sosok dwitunggal Sukarno-Hatta.
Sosok dwitunggal Sukarno-Hatta saat Bulan Agustus tentu menghiasi pamflet, baliho, banner, maupun berbagai pernak-pernik kemerdekaan lainnya.
Di sini, sosok dwitunggal Sukarno-Hatta tidak kalah dengan orang-orang yang mulai pasang banner di mana-mana.
Akan tetapi, pemasangan pamflet, baliho, banner, maupun berbagai pernak-pernik kemerdekaan terkait dengan sosok dwitunggal Sukarno-Hatta tidak sejalan dengan pemahaman masyarakat terkait dengan sosok dwitunggal Sukarno-Hatta.
Banyak muda-mudi yang mengidolakan Sukarno, bahkan karena terlalu mengidolai Sukarno, sampai-sampai tindakan poligami Sukarno dijadikan sebagai “suri tauladan” bagi muda-mudi.
Nabs, kegagahan Sukarno dalam berorasi serta kepiawaian dalam mengolah kata membuat kebanyakan pemuda menjadikan Sukarno sebagai “idaman”.
Setiap berbicara terkait pemimpin Indonesia yang patut diteladani, pasti nama Sukarno yang menjadi nama yang paling banyak disebut masyarakat Indonesia.
Bahkan, terdapat celotehan yang menegaskan bahwa “Jika ingin jadi pemimpin besar, jadilah seperti Sukarno, idealis berjuang bagi bangsa dan romantis dalam memikat wanita”.
Tak jarang, dari celotehan tersebut hanya “romantis dalam memikat wanita” saja yang dipegang para pemuda.
Tentu, mengidolai Sukarno adalah hal yang baik dan sah-sah saja dilakukan, tetapi hanya meneladani kepiawaian Sukarno dalam memikat wanita itu juga tidak tepat.
Perjuangan Sukarno untuk memerdekakan Indonesia hanya dianggap “biasa-biasa saja”.
Justru, menikah lebih dari satu kali menjadi motivasi pemuda untuk mengidolakan Sukarno.
Pemahaman ini terjadi karena kita hanya melihat pemimpin Indonesia merdeka “hanya” pada sosok Sukarno.
Padahal, pemimpin Indonesia merdeka adalah dwitunggal. Ya, dwitunggal Sukarno-Hatta.
Mengidolai Sukarno sebagai satu-satunya “pemimpin idaman” harus diubah mulai saat ini. “Lha wong yang memperoklamasikan kemerdekaan Indonesia merdeka berdua kok, yaitu Sukarno-Hatta, kok yang terkenal cuma Sukarno? Kan kasihan juga Bung Hatta, beliau juga butuh terkenal sekaligus diteladani para pemuda”.
Bung Hatta, juga sebagaimana manusia biasa, beliau juga pengen tulisan, buku, serta gagasan-gagasannya “viral” di kalangan pemuda sebagaimana status netizen di media sosial.
Meneladani Bung Hatta justru kontras dengan meneladani Sukarno
Jika Sukarno piawai dalam berpidato, Hatta justru seorang pemikir yang jenius, seorang pendiam yang buah pikirannya seperti emas. Selain itu, jika Soekarno “gemar” memikat wanita, Hatta justru setia pada satu wanita. Saking setianya seperti “alergi” dengan wanita lain.
Hal tersebut menegaskan bahwa karakteristik kepemimpinan Hatta berbanding terbalik dengan karakter Sukarno.
Yang jelas, membandingkan mana yang lebih baik antara Sukarno dan Hatta juga tidak tepat. “Lha wong mereka berdua dwitunggal, kok masih juga dibandingkan”.
Oleh karena itu, meneladani kepemimpinan dwitunggal adalah meneladani secara seksama, meneladani Sukarno dan Hatta secara bersama untuk kemudian disesuaikan dengan karakter kita masing-masing.
Tentu, dengan meneladani kedua tokoh dwitunggal tersebut, maka ke depan tidak ada alasan lagi bagi pemuda Indonesia untuk menduakan wanita hanya ingin meneladani Sukarno, Nabs.
Karena dengan meneladani dwitunggal Sukarno-Hatta, maka tidak ada lagi alasan untuk melupakan Bung Hatta, termasuk juga tidak ada alasan untuk meneladani Sukarno hanya pada aspek memikat wanita saja.
Semoga, peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di tahun 2021 ini membuat kita mempelajari, mendalami, sekaligus meneladani perjuangan dwitunggal Sukarno-Hatta secara paripurna.