Kalau suara petasan sudah mulai terdengar, iklan sirup sudah tayang di tv, dan aneka kue sudah berjajar di pusat perbelanjaan, artinya ramadhan sudah dekat nih, Nabs.
Kalau kita datang ke Bravo, Samudra, atau swalayan lain, mungkin kita sudah akan menjumpai tulisan “Marhaban ya Ramadhan”, yang artinya selamat datang bulan suci Ramadhan. Betul, Nggak?
Begitu istimewanya bulan ramadhan sampai-sampai disambut dengan berbagai cara. Di Jawa sendiri ada tradisi khusus dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Tradisi ini dinamakan ‘megengan’ yang ditujukan untuk menjemput bulan ramadhan, mapak poso.
Megengan ini biasa dilakukan di perkampungan beberapa hari menjelang puasa. Dalam tradisi yang berkembang di masyarakat, tidak ada penanggalan pasti mengenai kapan harus dilakukan, karena kegiatannya dilakukan di Musala-musala terdekat, maka pelaksanaannya tergantung pada kesepakatan warganya.
Seperti yang terjadi di pemukiman warga, di Gang Sawahan Bojonegoro. Karena terdapat tiga Musala di dalamnya, maka megengan dilakukan selama tiga hari berturut, dimulai dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 3 Mei.
“Di sini dibagi tiga. Tanggal 1 di mushola barat, tanggal 2 di mushola timur, tanggal 3 di musala utara. Tergantung warga mau ikut yang sebelah mana. Biasanya sering sholat di mana, ya ikutnya di situ,” terang Yatim Purwati, salah seorang warga di Gang Sawahan.
Dalam bahasa jawa, megengan sendiri berarti jeda atau transisi. Hal ini disampaikan oleh Hari Nugroho, seorang Budayawan di daerah Balong, Bojonegoro. Hari mengatakan bahwa megengan memang ditujukan untuk penanda bahwa akan memasuki bulan suci ramadhan.
“Dari bahasa Jawa. Kalau kita terjemahkan artinya jeda, antara bulan ini ke bulan ini. Jadi sebelum waktunya datang, kita sambut (bulan ramadhan). Biasanya dilaksanakan ketika nifsu sya’ban, jadi tujuh hari sebelumnya, tapi tidak ada patokan pasti. Pokoknya ada kesempatan, itu (megengan) dilakukan,” ujar Hari Nugroho.
Megengan sendiri sebetulnya bukan merupakan tradisi asli islam, melainkan akulturasi budaya, yakni penggabungan antara budaya islam dan juga budaya asli jawa yang dilakukan oleh para wali ketika menyebarkan agama islam di Indonesia, khususnya Jawa. Ini dilakukan supaya agama islam dapat diterima oleh masyarakat setempat.
Di Jawa pada masa itu terdapat budaya menghantarkan sesajen, yakni memberikan sajian sebagai bentuk syukur atas kehidupan, maka oleh para wali, tradisi tersebut diganti dengan tradisi menghantarkan makanan atau berkat.
Makanan itu dikirimkan kepada para kerabat dan juga tetangga sekitar, sehingga mereka dapat menikmati pula rejeki yang kita dapatkan.
Ada pula yang begitu menarik dari megengan. Di beberapa desa yang masih kental dengan tradisinya, megengan masih diperingati dengan membuat ketupat dan juga kue apem. Daerahmu salah satunya, Nabs?
Sebenarnya, apa sih makna dari itu semua? Jadi begini, ketupat atau kupat diambil dari bahasa jawa, lepat, yang artinya salah, sedang kue apem berasal dari bahasa arab, affan, yang berarti ampunan.
Jadi, menghantarkan ketupat dan juga kue apem kepada keluarga bermakna bahwa kita mengakui kesalahan yang telah dilakukan dan kemudian meminta ampunan atas kesalahan tersebut.
Ada kepercayaan dalam masyarakat yang memeluk agama islam bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh keberkahan. Untuk itu, masyarakat islam perlu membersihkan hati atau mensucikan diri dalam menyambut bulan ramadhan.
Sehingga berkah dan kebaikan di bulan Ramadhan dapat diterima. Karena hanya hati yang bersih yang dipercaya bisa menerima berkahnya.
Satu lagi, Nabs, biasanya dalam tradisi megengan, orang yang kebih muda menghantarkan masakannya kepada yang lebih tua. “Sing enom akeh salahe, sing tuo akeh pangapurone,” yang muda banyak salahnya, maka yang tua banyak pengampunannya.
Hal tersebut juga dilakukan untuk menghormati orang-orang yang lebih tua, mereka yang telah lebih banyak makan asam-garam kehidupan, yang lebih banyak mengambil sari-sari kehidupan.
Orang muda lebih banyak belajar kepada mereka yang lebih tua, dan mungkin jika dalam proses belajarnya terdapat kesalahan, maka orang yang lebih tua memberikan pengampunan.
Berlaku juga nih, Nabs, ketika menghantarkan masakan dan ada bumbu yang kurang, maka yang diberikan makanan akan memberikan masukan. “Ben gurih tambahi santen.” Hihi
Filosofis sekali ya, Nabs. Rugi lho jika tradisi megengan hanya dijalankan tanpa mengetahui makna filosofis dari setiap ritusnya.