Identitas kota yang berwujud fisik bisa dijadikan pengidentifikasi kawasan tersebut. Identitas fisik yang mudah ditangkap indera, kerap kali dijadikan acuan (point of reference) terhadap kawasannya.
Bangunan yang cenderung besar, mudah dilihat dan monumental, biasanya dijadikan objek amatan sebagai acuan. Nah, secara tidak langsung, ini menjadikan objek yang mudah diingat, sebagai identitas kawasan tersebut.
Tak hanya itu, perkara lain yang bersifat fisik seperti halte, jalan, furnitur kota, trotoar, jembatan dan banyak hal lain juga bisa menjadi identitas kota secara fisik. Sedangkan identitas non fisik, berkaitan dengan giat sosial, ekonomi dan budaya masyarakat kota tersebut.
Nabs, maraknya persaingan
City Branding antar kota antar provinsi di Indonesia, membikin sejumlah lapisan masyarakat dan pemerintah kebingungan.
Kebijakan pusat tentang perkembangan daerah kian membikin ribet. Sebab, trigger semacam ini pun membuat lapisan masyarakat ikut kebingungan memastikan identitas kotanya.
Agar kerancuan identitas kota seperti itu tidak berlanjut, perlu kiranya mempelajari identitas kota berdasar tatanan dan fungsi kehidupan kota secara lebih terintegrasi. Termasuk akumulasi nilai‐nilai sosio‐kultural warga kota sebagai ruh dan jati diri kota, serta elemen‐elemen fisik lingkungan sebagai wadahnya.
Mulai dari kelas pejabat yang punya kebijakan, sampai seniman yang hanya berdasar keresahan lingkungan, turut menyumbang opini dan gagasan untuk memperkuat identitas agar kelak menjadi bahan pengembangan kota agar lebih dikenal.
Tedika Puri Amanda, seorang praktisi film asal Bojonegoro menceritakan tentang bagaimana membaca identitas kebudayaan dan manusia di sebuah kota agar mudah membranding kota.
“Kota selalu menjadi ruang hidup yang terbuka, bagi warganya untuk berdialog dengan masa lampau serta memberi kemungkinan-kemungkinan berimajinasi tentang masa depannya,” kata dia.
Membaca identitas ruang hidup, kata dia, memang membutuhkan kebijaksanaan pengetahuan yang extra. Sekaligus dibarengi kerelaan dari penduduknya untuk bertelanjang dan berhadap-hadapan dengan masa lalu dan kemungkinan-kemungkinan masa depan.
Melakukan itu, tentu bukan pekerjaan yang mudah memang. Terlebih lagi tuntutan untuk bertelanjang dan berhadap-hadapan secara langsung dalam proses penemuan dan pembacaan identitas.
“Selalu saja ada gangguan yang masuk, menyusup dan menjadi bagian dalam proses tersebut karena bertelanjang bukanlah pekerjaan mudah,” kata dia.
Untuk bisa bertelanjang dengan baik, kata dia, disarankan untuk tidak melibatkan ambisi apapun dan membutuhkan pengetahuan, tentunya. Namun di sisi lain, ilmu pengetahuan juga menyimpan ambisi penaklukan di dalamnya.
Dalam proses telanjang, gangguan paling sederhana adalah rasa malu dalam melihat diri sendiri, walaupun tanpa bantuan cermin sekalipun.
Proses telanjang, harus dilakukan serupa ruang hidup yang sudah memberi contoh baik. Bahkan ketika ruang hidup bukan hanya rela untuk telanjang, tapi dipaksa bersetubuh dengan cara haram.
“Dengan cara telanjang, seseorang akan mengenal di mana dan apa jenis kelaminnya. Bahkan, di mana letak identitas akan bisa didapati dengan baik,” ucapnya.
Sulit memang. Sebab, hanya bayi yang mampu melakukan ini. Tapi, setidaknya, kita bisa menyederhanakan ambisi dalam proses pembacaan identitas kota. Karena usia kota jauh lebih tua ketimbang usia manusia.
Terlebih lagi, usia ambisi manusia yang kadang ditentukan perubahan cuaca atau musim. Sudut pandang yang diberikan Tedi, Nabsky, mencerminkan bagaimana menjadi bijaksana untuk memperjelas identitas sebuah kota.