Dinal menghubungi saya pukul 23.00 lebih tiga menit. Dia mengajak saya bertemu di sebuah tempat yang menurutnya, sangat asyik untuk berbincang-bincang. Ada yang ingin dia ceritakan, katanya.
Beberapa menit setelah dia menjemput saya di rumah, kami memasuki sebuah cafe kecil dengan warna krem yang memekakkan mata. Menurutnya, ini cafe yang amat nyaman untuk menghabiskan malam dengan perbincangan yang progresif.
Meski saya belum sempat berkata-kata, dia langsung memesankan saya kopi susu tanpa gula yang diwadahi cangkir. Dia seperti tahu apa yang selalu saya pesan saat duduk di warung kopi. Bahkan sampai pada wadah yang dipakai. Cangkir, bukan gelas.
Sambil menunggu pesanan, dia duduk tepat di hadapan saya. Membuka-buka ponselnya. Dan terlihat menyempatkan diri membalas sejumlah pesan yang masuk di WA-nya. Beberapa menit, dia tak berkata apa-apa. Saya sempat penasaran dengan apa yang ingin dia ceritakan.
Tiba-tiba saya melihat air mata merembes turun dari kelopak matanya. Dia masih belum berkata-kata. Dia, seolah membiarkan saya melihat air matanya menetes begitu saja. Tentu ini momen yang sangat canggung bagi saya.
Saya, entah kenapa, merasa canggung pada air mata yang keluar dari mata seorang lelaki. Dalam episode hidup yang pernah saya lalui, beberapa kali saya terdampar dalam momen canggung berhadapan dengan lelaki yang sedang menangis.
Dan tiap kali berhadapan dengan lelaki yang menangis, sialnya, saya bisa langsung ikut sedih begitu saja. Dan, tentu saja, bingung mau melakukan apa. Tentu saya percaya, ini kebingungan khas seorang lelaki.
Membaca sebab tangisan, bagi saya, lebih sulit daripada membaca karakter seseorang melalui tanda tangan. Untuk pembacaan kasus kedua, saya pernah belajar grafologi cukup lama. Dan saya cukup punya pemahaman terkait itu.
Tapi, untuk pembacaan kasus pertama, saya jelas tak pernah belajar tearstologi secara memadai. Sebab, hingga saat ini, saya belum pernah mendengar istilah itu sebagai disiplin ilmu yang bisa dipelajari secara otodidak.
Dia segera mengusap air matanya. Lalu, mulai bercerita tentang apa yang sesungguhnya ingin dia ceritakan pada saya. Ini tentang kesulitan, begitu dia mengawali ceritanya.
“Saya benar-benar kesulitan mencari kodok di musim kemarau,” katanya.
Rembesan air matanya sudah berhenti ketika dia bercerita bagaimana proses pencarian kodok yang dia lakukan. Mencari kodok, katanya, tak semudah yang sempat dia bayangkan sebelumnya. Dia baru tahu jika kodok mudah dijumpai pada musim penghujan saja.
Saya mengenal Dinal seperti adik saya sendiri. Memahami karakter bahkan responnya terhadap perihal-perihal kecil. Kami berdua diberkahi insting saling memahami tanpa perlu terlibat pembicaraan yang intens.
Kodok, tentu hewan yang memiliki lompatan kuantum. Tak ada yang pernah melihat kodok berjalan lemah gemulai. Kodok selalu melompat jika mereka ingin berpindah tempat. Mengerahkan energi dan tenaga secara optimal untuk melangkah. Itu alasan kenapa ia sulit ditangkap.
Meski ditakdirkan sebagai amfibi yang bisa hidup di darat dan air, saat musim kemarau, kodok tidak banyak berbunyi. Ia diam menghayati dan merenungi kemarau panjang. Ia tidak protes. Baginya, pergantian musim sudah amat dimengerti dan dihayati. Ini alasan kenapa ia sulit dicari saat musim kemarau.
“Kau tak menyerah mencari kodok, kan?”
“Asal bukan cicak, aku tak akan menyerah.”
Kami paham jika kodok sulit dicari di musim kemarau. Tapi, bukan berarti kodok tak pernah ada. Ia justru sering menampakkan diri di tempat-tempat yang mungkin tidak kita pikirkan sebelumnya: di warung swike, misalnya.
Dinal tampak lega. Seperti sudah membuang hajat yang tertimbun selama tiga hari gara-gara kebanyakan makan daging kurban. Kami meminum kopi pesanan kami. Dan menyepakati sebuah keyakinan bahwa setiap kesulitan, pasti tidak enak dirasakan.
Tapi, kesulitan harus tetap dirasakan demi tahu bagaimana rasanya kemudahan, terlepas kapan kemudahan itu diperjumpakan dan dipertemukan. Kemudahan tak akan bisa dirasakan tanpa pernah mengalami kesulitan.