Kita akan diingat ketika kita melakukan atau menghasilkan sesuatu. Bahkan ketika kita menghasilkan kegagalan.
“Seandaianya ada satu permintaan ajaib yang bisa terwujud,” kata saya dalam hati setelah membaca pesan dari Bung sore tadi. “Saya ingin kembali memutar waktu dan memperbaiki apa saja yang pernah gagal”.
Kami berdua tengah berinteraksi secara intensif ketika matahari di bumi bagian Surabaya perlahan meredup. Terutama setelah dia mengirim esai AS Laksana berjudul Bagaimana Saya Menelan Hutan di Kvarken yang dimuat di Beritagar.id.
Kepada saya, Bung membubuhi keterangannya dengan kata-kata yang menjanjikan, “Saya, entah kenapa, suka sekali membacanya. Berulang-ulang”.
Seringkali, pada periode tertentu, Bung bersama saya berkirim tautan-tautan esai bernas. Dan selepas aktivitas itu terlaksana dengan baik, di saat yang sama, biasanya kami saling berkomentar singkat tentang tulisan itu. Dengan tujuan akhir: membuat sebuah tulisan untuk ditulis di Jurnaba.co.
Pada sore tadi, bahasan kami agak berbeda. Bung menanyakan apakah saya pernah membaca esai tersebut sebelumnya, yang samar-samar membuat ingatan saya mengkerut.
Saya teringat di zaman menjadi mahasiswa. Waktu itu, entah beberapa tahun silam, saya selalu membaca esai-esai Om Sulak tiap minggunya. Tulisan itu biasa saya akses dari sebaran Koran Jawapos yang terpampang di warkop ramai di sekitar kos. Dan aktivitas itu, sebenarnya tidak lebih dari upaya mempelajari tulisan yang bagus secara otodidak.
Pesan yang disampaikan Bung membuat saya berpikir dua kali tentang masa lalu. Pertama, ada rasa kerinduan membuncah yang membuat saya melamun: seandainya mesin waktu memang benar-benar ada, mungkin saya akan lebih sering beranjak kesana ketimbang pulang ke Bojonegoro.
Kedua, itu sekaligus membuat saya menyesal: betapa kegagalan terlalu banyak berserak di waktu-waktu lampau yang niscaya memungkinkan saya menangis.
Dalam ingatan yang masih saya kenal, saya pernah berhasrat membuat semacam koloni literasi di Kota Ledre. Saat itu saya pikir belum ada komunitas di Bojonegoro, yang konsen utamanya adalah hal-hal terkait diskusi, tulisan, dan membaca. Dan dengan adanya komunitas tersebut, anggapan saya waktu itu, mungkin bisa menjadi penawar dahaga buku ketika usai dari Surabaya.
Ternyata di kemudian hari dugaan saya keliru. Saya baru paham ada banyak sekali orang-orang yang mewakafkan dirinya pada geliat literasi dengan berbagai macam nama dan istilah yang bahkan saya tak bisa hapalkan satu persatu.
Kenyataan itu, celakanya, baru saya ketahui selepas menjajaki karir sebagai jurnalis di Bojonegoro. Tapi saya terpaksa harus bersedih lagi, ketika kemudian harus berpindah tugas di luar kota.
**
Seperti biasa pula, dalam taraf tertentu usai membaca, saya diminta Bung menulis sebuah esai. Kali ini tentang kegagalan yang pernah saya tempuh, entah di masa lalu, atau kapanpun itu.
Jika boleh jujur, sebenarnya saya agak kesulitan memenuhi permintaan itu. Saya sadar dan mengerti betul: bahwa tulisan saya masih di tingkatan untuk dikatakan jelek saja rasanya belum.
Lantas saya tak mau gegabah menjadikan para pembaca, jikapun ada yang berkenan melakukannya, tersesat dalam kebingungan kata-kata bikinan saya. Sebab, saya rasa, adalah kejahatan yang besar jika saya membuat waktu pembaca habis untuk hal-hal yang nirfaedah, yang memungkinkannya merasa menyesal pula di kemudian hari.
**
“Hidup mengajarkan pada kita tentang: kita akan diingat ketika kita melakukan atau menghasilkan sesuatu. Bahkan ketika kita menghasilkan kegagalan,” kata Bung membalas keresahan itu.
Saya tak bisa banyak berkata-kata menanggapi ‘sabda’ dari Bung itu. Kata-katanya jauh lebih masuk akal ketimbang beragam jurus alasan yang hendak saya keluarkan.
Tetapi, untuk siapa saja yang mungkin merasa menyesal, saya meminta maaf. Karena membaca kegagalan itu, yang saya pahami, rentan menjadikan orang-orang mengumpat. Seperti ada perasaan menyaksikan sampah bergunung-gunung dengan bau tidak sedap.
Dan jika saat ini kita semua tengah merasakan itu, saya pikir hal itu wajar saja. Karena sejatinya saya telah membuat kegagalan baru: membuat esai bagus dengan judul Menceritakan Kegagalan. (*)