Besarnya bahaya puntung rokok berbanding lurus dengan besarnya keinginan kita untuk terus merokok. Bagaimana jika kita ambil jalan tengah dengan mendaur ulang puntung rokok?
Semangat menggunakan plastik mulai berkurang berkat gencarnya kampanye bahaya plastik. Namun, di saat yang sama, kita tak sadar jika ada satu komoditas plastik lain yang justru dianggap tak berbahaya: puntung rokok.
Diakui atau tidak, puntung rokok menjadi komoditas sampah paling sering kita jumpai. Sialnya, hingga hari ini, kita masih sangat jarang mendengar ada inovasi maupun giat berbasis mendaur ulang puntung rokok.
Puntung rokok selalu berhenti sebagai sampah akhir yang takterperhatikan. Meski, sesungguhnya, selain berbahaya bagi tanah karena butuh waktu lama terurai, ia juga sangat berbahaya bagi makhluk hidup yang tak sengaja mengonsumsinya.
Sebagai perokok yang sering kurang terima ketika ada pelarangan terhadap hak individu untuk merokok, saya sadar jika pemahaman akan bahaya puntung rokok amat minim. Sejauh ini, yang dipahami banyak perokok adalah bahaya merokok.
Alasannya sederhana. Aktivis anti rokok kurang inovatif dalam mengancam para perokok. Padahal, andai mereka suka membaca, niscaya banyak senjata untuk membikin para perokok lebih berhati-hati untuk merokok.
Pemahaman itu baru saya sadari pasca membaca paparan penelitian Danielle Green, Dosen Ekologi dari Anglia Ruskin University, Cambridge, Inggris yang meneliti dan menulis betapa pengabaian pada puntung rokok sangat membahayakan lingkungan dan makhluk hidup yang bersinggungan langsung dengan puntung rokok.
Menurut Green, puntung rokok merupakan sampah paling banyak mengotori planet bumi. Setidaknya, dua pertiga dari total 5,6 triliun batang rokok atau 4,5 triliun puntung rokok yang dihisap setiap tahun, dibuang sembarangan.
Dari penelitian Green, sejak tahun 1980-an, puntung rokok menyumbang 30 persen hingga 40 persen dari semua sampah yang ditemukan di tempat pembuangan sampah perkotaan.
Dan celakanya, penelitian terbaru Danielle Green menemukan bahwa puntung rokok justru membutuhkan waktu yang lama untuk terurai sekaligus bakal merusak lingkungan hidup apabila dibuang secara sembarangan.
Puntung rokok terdiri dari ribuan serat selulosa asetat, yang meski dapat terurai secara biologis, membutuhkan waktu tahunan untuk bisa terurai. Serat selulosa asetat, kata Green, serupa mikroplastik lainnya — merupakan polutan umum yang banyak ditemukan dalam ekosistem.
Puntung rokok bekas juga mengandung ribuan bahan kimia yang dapat membunuh tanaman, serangga, jamur dan membahayakan makhluk hidup lain yang bersinggungan secara langsung dengannya.
Puntung rokok bisa beracun bagi organisme air, bakteri, krustasea, cacing hingga ikan. Bahkan, menelan puntung rokok, tentu secara tidak sengaja, dapat menyebabkan muntah hingga kejang pada manusia.
Menurut Green, habitat perkotaan memiliki risiko tinggi terpapar sampah puntung rokok. Berdasar survei yang dia lakukan di tiga taman terbesar di Cambridge, Inggris, pihaknya menemukan rata-rata 2,6 puntung rokok per meter persegi dan maksimum 126 puntung rokok per meter persegi di dekat bangku taman, meskipun tersedia asbak.
Mendaur Ulang Puntung Rokok
Besarnya bahaya puntung rokok berbanding lurus dengan besarnya keinginan kita untuk terus merokok. Karena itu, bagaimana jika kita ambil jalan tengah untuk memiliki kemauan mendaur ulang puntung rokok.
Sebab, hanya dengan itu kita masih tetap bisa merokok, tapi tetap bertanggung jawab secara moral pada aktivitas tersebut.
Memangnya, apa yang bisa kita lakukan dengan puntung rokok? Saya belum menemukan secara pasti, benda seni apa yang bisa dibikin dari sampah puntung rokok. Namun, saya teringat Museum of Innocence, novel karya Orhan Pamuk.
Dalam novel yang kini telah jadi museum beneran tersebut, tokoh bernama Kemal Basmaci mengabadikan kisah penantian cintanya dengan mengoleksi 4.213 batang puntung rokok yang pernah diisap Fusun, gadis pujaannya itu, di dalam sebuah museum.
Satu per satu puntung itu ditusuk dengan jarum. Lalu ditanam ke dalam tembok. Puntung rokok tersebut ditata berbaris sesuai tahun. Mulai 1976 hingga 1984. Ada catatan pengingat di mana dan kapan rokok itu dihisap. Bahkan, di ujung beberapa puntung, masih tertinggal bekas lipstik Fusun.
Kita, tentu tak perlu memberdayakan puntung rokok untuk dijadikan ornamen dalam sebuah museum layaknya Kemal. Karena itu, harus ada inovasi untuk mengubah puntung rokok bekas menjadi sebuah benda seni layak jual.
Sayangnya, saya belum menemukan wujud daur ulang puntung rokok itu seperti apa. Semoga di tulisan berikutnya, saya bisa menemukan sekaligus menjelaskannya.