Gus Dur mungkin satu-satunya Presiden yang menulis dan mengabadikan nama “Bojonegoro” di dalam karya tulisnya, sebagai salah satu tempat dan wilayah yang sangat ditakdhimi.
KH Abdurrohman Wahid (Gus Dur) memiliki hubungan emosional yang cukup erat dengan Kabupaten Bojonegoro. Kedekatan khusus ini, dibuktikan dari seringnya Gus Dur bersilaturahim dan menziarahi sejumlah tempat yang berada di wilayah Kabupaten Bojonegoro.
Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang sangat hobi bersilaturahmi dan ziarah kubur. Bahkan, sebagian pihak menyebut Gus Dur sebagai Presiden Sarkub alias presiden para pehobi ziarah makam. Ini bukan tanpa alasan. Sebab, Gus Dur sendiri merupakan sosok yang hobi berziarah kubur.
Baca Juga: Gusdurism, Jimat Ideologis dari Gus Dur
Pada periode 1980 – 1990, Bojonegoro cukup sering dikunjungi Gus Dur. Tiap kali berkunjung ke Jawa Timur atau Jawa Tengah, Gus Dur kerap menyempatkan diri silaturahim ke Bojonegoro. Tak heran ia punya kedekatan khusus dengan masyarakat akar rumput di Bojonegoro.
Meski sering berkunjung, anehnya, tak ada satupun foto saat Gus Dur berada di Bojonegoro. Padahal, tahun 90-an sudah banyak orang punya kamera. Ini menurut saya agak aneh. Sebab, kisah kunjungan Gus Dur di wilayah Bojonegoro tak hanya sekali dua kali. Tapi berkali-kali.
Kehadiran Gus Dur ke Bojonegoro tentu bukan tanpa alasan. Meski sangat misterius, tapi ada tempat yang dituju. Ada yang dikunjungi. Ada yang disowani. Dan ada yang, tentu saja, ditemui. Meski, sekali lagi, tak banyak yang tahu siapa sosok dan figur yang ditemui Gus Dur kala itu.
Masyhur Gus Dur bercerita, di wilayah Bojonegoro bagian barat, pernah didiami ulama besar bernama Sayyid Jamaluddin. Sang ulama ini, membangun pemukiman di bantaran sungai. Menurut Gus Dur, tokoh ulama ini berada di wilayah Bojonegoro pada zaman Kerajaan Majapahit.
Tak ayal. Selama puluhan tahun, kisah Sayyid Jamaluddin ini menjadi legenda kolektif yang diingat dan dikisahkan masyarakat akar rumput dari mulut ke mulut. Meski, sosok bernama Sayyid Jamaluddin itu jadi misteri. Sebab, sulit mengkonfirmasi ulama yang berdakwah pada zaman Majapahit.
Saya sendiri, mendengar kunjungan Gus Dur dan legenda Sayyid Jamaluddin ini dari kawan-kawan semasa nyantri. Sementara kawan-kawan saya konon mendengar kisah itu dari orang tua mereka yang kebetulan menyaksikannya. Mungkin Gus Dur berziarah secara sirri (rahasia), sehingga tak memicu keramaian publik.
Bertahun-tahun kemudian, kisah kunjungan Gus Dur dan legenda Sayyid Jamaluddin kembali mengobrak-abrik ingatan ketika saya menemukan buku berjudul The Passing Over (1998), sebuah buku antologi yang memuat esai-esai bernas dari KH Nurcholis Madjid (Cak Nur), Dr. Quraish Syihab, dan Gus Dur.
Dalam buku terbitan Gramedia Pustaka pada masa reformasi itu, Gus Dur menulis esai berjudul “Kebebasan Beragama dan Hegemoni Negara”. Tepat di halaman 160, ia menyebut Jipang Padangan (Bojonegoro) sebagai wilayah dakwah ulama besar bernama Sayyid Jamaluddin.
Sependek pengamatan saya, Gus Dur mungkin satu-satunya Presiden Indonesia yang menulis nama “Bojonegoro” secara langsung dalam salah satu karya tulisnya. Bung Karno pernah ke Bojonegoro. Bung Karno juga menulis banyak buku. Tapi, saya belum menemukan jika beliau menulis “Bojonegoro” di dalam bukunya.
Dari keberadaan buku itu, misteri siapa sesungguhnya Sayyid Jamaluddin terjawab sudah. Gus Dur menjelaskan secara rinci bahwa Sayyid Jamaluddin yang dimaksud adalah Sayyid Jamaluddin Akbar alias Syekh Jumadil Kubro, figur ulama yang tak lain adalah leluhur Wali Songo.
Sayyid Jamaluddin atau Syekh Jumadil Kubro, menurut Gus Dur, pernah mukim dan berdakwah di Jipang Padangan (Bojonegoro). Gus Dur menulis dengan tegas bahwa kehadiran Sayyid Jamaluddin di wilayah itu, jauh sebelum Sunan Ampel lahir ke dunia. Mengingat, Sunan Ampel adalah cucu Sayyid Jamaluddin.
Menurut Gus Dur, dakwah Sayyid Jamaluddin di Bojonegoro ini, terjadi jauh sebelum Sayyid Jamaluddin berdakwah di pusat kota Majapahit. Bojonegoro jadi pintu gerbang Majapahit via jalur transportasi sungai dari Laut Gresik. Untuk memasuki Majapahit, harus melintasi gerbang sungai Bojonegoro terlebih dahulu.
Gus Dur menyebut, Sayyid Jamaluddin berdakwah di wilayah Jipang Padangan (Bojonegoro) sezaman dengan Gajah Mada menjabat patih Kerajaan Majapahit (1334 – 1364 M). Di tempat itu, Sayyid Jamaluddin membangun masigit (masjid dan pemukiman), sekaligus memberdayakan masyarakat sekitar bantaran.
Menurut Gus Dur, Sayyid Jamaluddin yang pernah berdakwah di Jipang Padangan (Bojonegoro), adalah figur yang kelak wafat dan dimakamkan di Tosora, Wajo, Sulawesi Selatan. Ini alasan Gus Dur juga berziarah ke makam Tosora Wajo tersebut, sepasca ia berziarah dari Bojonegoro.
Itu jadi bukti dan fakta penting bahwa Gus Dur mengenal seluk beluk wilayah Bojonegoro. Jika tidak, tentu ia tak akan menulis secara rinci. Dan yang menurut saya menarik, semua keterangan Gus Dur ini bukan sekadar omong kosong. Tapi terkonfirmasi data prasasti.
Dalam Prasasti Canggu (1358 M) yang ditulis Raja Hayam Wuruk (1350 – 1389 M), menyebut sungai Jipang Padangan adalah bagian dari Naditira Pradeca (pelabuhan sungai) yang jadi pintu gerbang utama Kerajaan Majapahit via jalur sungai. Prasasti Canggu bercerita tentang pelabuhan sungai Jipang Padangan.
Prasasti Canggu ditulis Raja Hayam Wuruk pada 1358 M. Nah, di era Raja Hayam Wuruk, ternyata patih Majapahit bernama Gajah Mada (1334-1364 M). Artinya, keberadaan Sayyid Jamaluddin di Jipang Padangan (Bojonegoro) sangat sesuai periodisasi. Gus Dur seperti benar-benar mengetahui konfigurasi data masa lalu.
Pemukiman Sayyid Jamaluddin itu, kini dikenal sebagai Mesigit Tebon Padangan. Sebuah bukit dan persawahan di bantaran Sungai Bengawan Solo. Sumber lokal menyebut, Mesigit Tebon juga pernah jadi lokasi tarbiyah Mbah Dorojatun (Sultan Hamengku Buwana IX) dan Bung Karno saat masih muda.
Selain disinggung dalam Prasasti Canggu yang dikeluarkan Kerajaan Majapahit (1358 M), wilayah Keramat Tebon juga disebut dalam Prasasti Maribong yang dikeluarkan Kerajaan Singhasari (1264 M), sebagai wilayah perdikan yang berperadaban.
Pada 2011 silam, gabungan arkeolog Museum 13 Bojonegoro dan arkeolog UGM Jogjakarta melakukan eskavasi penggalian di Keramat Tebon Padangan. Hasilnya, mereka menemukan banyak bukti reruntuhan peradaban. Ini fakta bahwa selain jadi lokasi dakwah Sayyid Jamaluddin, Keramat Tebon juga jadi pusat peradaban kuno.
Kedekatan Gus Dur dengan Bojonegoro
Pada 3 Agustus 2023 lalu, saat Gus Muwafiq bertandang ke Bojonegoro, ia juga mengkonfirmasi tentang kedekatan Gus Dur dengan Bojonegoro. Mubaligh terkenal yang semasa muda menjadi penderek Gus Dur itu mengatakan, ia dulu sering ikut Gus Dur saat berziarah ke Bojonegoro.
Gus Muwafiq menyebut jika Gus Dur kerap berziarah ke Bojonegoro, khususnya ke Kasepuhan Padangan (Menak Anggrung), dan sejumlah titik di Padangan. Ini untuk bertabaruk dengan sisa-sisa Kesultanan Pajang yang memang berada di Padangan. Mengingat, Gus Dur masih terhitung keturunan Kesultanan Pajang.
Lebih dari itu. Kedatangan Gus Dur ke Jipang Padangan (Bojonegoro) tentu untuk bertabaruk di petilasan Sayyid Jamaluddin. Figur yang kerap ia ceritakan dengan penuh semangat di berbagai kesempatan. Figur yang tak lain adalah leluhur dari Wali Songo dan raja-raja Kesultanan Pajang.
**
Ditulis sebagai pengantar diskusi dalam acara Haul Gus Dur ke-14, di Cafe Kendalisada, Lemcadika Bojonegoro pada 12-1-2024.
Al faqir,
A. Wahyu Rizki