Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba
Home Kultura

Menengok Kehidupan Londo Ireng di Zaman Kolonialisme Belanda

Dimas Bagus Aditya by Dimas Bagus Aditya
January 25, 2021
in Kultura
Menengok Kehidupan Londo Ireng di Zaman Kolonialisme Belanda
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan Ke WA

Londo ireng, atau Londo hitam, bukan sekadar frasa lucu-lucuan. Londo Ireng merupakan tentara Belanda dari Afrika yang ditugaskan di daerah jajahan. Berikut kisahnya. 

Nabs, pemerintah Hindia-Belanda mendatangkan para serdadu Afrika di tanah jajahan. Dalam buku Zwarte Hollanders Afrikaanse Soldaten in Nederlands-Indie (Belanda Hitam: Prajurit Afrika di Hindia-Belanda) dijelaskan, mula-mula kedatangan serdadu bangsa Afrika adalah pada 1831. Mereka didatangkan dari Pantai Barat Afrika.

Selama 1831 dan 1872, Pemerintah Hindia-Belanda mendatangkan sebanyak 3.085 pria dari Afrika Barat untuk dijadikan serdadu militer di Hindia Belanda. Serdadu-serdadu ini akan ditempatkan pada prajurit Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL).

Alasan perekrutan serdadu “londo ireng” ini dikarenakan fisik mereka dirasa lebih cocok untuk beradaptasi di Nusantara yang memiliki hawa tropis sama seperti lingkungan tempat tinggal asalnya yakni Ghana dan Burkina Faso, di Afrika.

Ketika mendarat di Hindia-Belanda mereka langsung digembleng di asrama militer di Jawa, setelah dirasa cukup saat pelatihan militer, mereka langsung diterbangkan untuk mengikuti ekspedisi menumpas pemberontakan atau perlawanan rakyat di Sumatera, Borneo (Kalimantan), Celebes (Sulawesi), Bali, Timor, serta Perang Atjeh.

Dalam catatan Tentara Hindia Belanda (KNIL), perang Atjeh merupakan perang terlama melawan kaum Nasionalis Serambi Mekkah. Encyclopedia van Nederlandsch-Indie mencatat sampai tahun 1892, terdapat 54 serdadu KNIL yang berasal dari kulit hitam.

Pandangan Negatif Serdadu Londo Ireng

Catatan mengenai desersi yang dilakukan oleh serdadu “londo ireng” pertama terjadi pada 4 April 1838. Pada waktu itu 9 prajurit Afrika keluar asrama berbarengan. Mereka berasal dari Batalyon Infantri I Garnisun di Batavia.

Tak lama berselang, masih di tahun yang sama, 10 prajurit “londo ireng” melakukan pengingkaran tugas dari Batalyon Infantri X di Surabaya. Sebab utama melatarbelakangi hal ini terkait misskomunikasi antar kalangan prajurit “londo ireng”.

Maklum saja, mereka bukan berasal dari suku yang homogen. Sehingga perpecahan kerap mewarnai obrolan mereka. Tak ayal, pandangan yang disematkan pada mereka cenderung negatif.

Hal ini mengingat karena banyaknya serdadu Afrika yang memutuskan diri keluar dari barisan tugas yang disematkan padanya.

Beberapa pandangan negatif yang sempat disematkan kepada serdadu Afrika diantaranya seperti jorok, sakit-sakitan, malas, klemar, klemer, dan berbagai sudut pandang buruk lainnya.

Namun fakta yang ada menunjukkan hal yang berbalikkan, para serdadu ini malahan bekerja tidak mengenal lelah, dan tidak gentar menghadapi serangan musuh.

Serdadu Afrika ini mendapatkan status yang sama seperti prajurit Eropa pada umumnya. Tak mengherankan jikalau para serdadu ini kerap memakai sepatu layaknya prajurit Eropa.

Dengan bangganya mereka mengenakan sepatu itu, bahkan pada saat mereka telah resign dari militer mereka tetap menggunakan sepatu itu.

Meskipun begitu, masih ada juga para serdadu yang enggan mengenakan sepatu, mereka malah lebih enjoy bertelanjang kaki berlumuran lumpur.

Perlakuan Rasial

Tampaknya perlakuan rasial selalu ditumpahkan pada mereka para “londo ireng”. Tidak hanya pribumi saja yang mengolok-olok mereka dengan ucapan “kulitmu hitam legam seperti arang”.

Namun Pemerintah Hindia-Belanda juga mengolok-olok mereka. Pangeran Ashanti dari Ghana dan Pangeran Kwasi Bookye merupakan salah satu orang Afrika yang sempat diejek oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Bahkan, cerita Pangeran Ashanti sempat menjadi inspirasi bagi ditulisnya roman De Zwarte Met Het Witte Hart (1997) yang ditulis oleh Arthur Japin.

Meskipun pangeran itu merupakan lulusan Deift dan menyandang gelar ingeniur (insinyur) serta telah dianggap “Belanda”, namun ia masih mendapatkan perlakuan rasial atau diskriminatif dari Pemerintah Hindia-Belanda.

Perlakuan yang diterima oleh pangeran itu adalah ketika di Jerman ia bertemu dengan pelukis Raden Saleh atau Syarif Bustaman, untuk melukisnya. Raden Saleh mengutarakan ucapan, “Kulit Anda terlalu gelap untuk dilukis. Tak bagus pencahayaannya!”

Tags: Londo IrengSejarah kolonialSekolah zaman Belanda

BERITA MENARIK LAINNYA

Memaknai Anime Attack on Titan sebagai Pegangan Hidup
Kultura

Memaknai Anime Attack on Titan sebagai Pegangan Hidup

February 10, 2021
Review Film The Call: Berdamai dengan Masa Lalu
Headline

Review Film The Call: Berdamai dengan Masa Lalu

February 7, 2021
Pentingnya Vaksin Meningitis untuk Jamaah Haji dan Umroh
Kultura

Pentingnya Vaksin Meningitis untuk Jamaah Haji dan Umroh

January 30, 2021

REKOMENDASI

Sarapan penuh Kehangatan 

Sarapan penuh Kehangatan 

February 28, 2021
Menghelat Diskusi Santai Perihal Perempuan

Menghelat Diskusi Santai Perihal Perempuan

February 27, 2021
Datangnya Kilang Minyak dan Fatamorgana Masa Depan

Datangnya Kilang Minyak dan Fatamorgana Masa Depan

February 26, 2021
Saatnya Membantah Teori Sejarah The Great Man Theory

Saatnya Membantah Teori Sejarah The Great Man Theory

February 25, 2021
Maklumat Kelas Literasi Jurnaba

Maklumat Kelas Literasi Jurnaba

February 24, 2021
Propaganda Bahagia ala Sekolah Guratjaga

Propaganda Bahagia ala Sekolah Guratjaga

February 23, 2021

Tentang Jurnaba - Kontak - Squad - Aturan Privasi - Kirim Konten
© Jurnaba.co All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • HOME
  • PERISTIWA
  • KULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • ALTERTAINMENT
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK

© Jurnaba.co All Rights Reserved