Imlek di Bojonegoro dirayakan dengan berbagai cara. Ada yang berbagi rezeki dengan memberi angpao kepada yang muda. Ada yang sembahyang untuk menghormati para dewa. Ada pula yang merayakan dengan cara sederhana bersama keluarga.
Sama seperti kota lainnya di Indonesia, Bojonegoro juga memiliki kawasan Pecinan. Kawasan Pecinan di kota Bojonegoro terletak di kelurahan Banjarejo. Di mana terdapat Klenteng Hok Swie Bio sebagai pusat peribadatan Tri Dharma Bojonegoro.
Lalu, apakah ada perbedaan khusus mengenai perayaan tahun baru Imlek di Bojonegoro?
Suasana meriah selalu menyelimuti Klenteng Hok Swie Bio Bojonegoro ketika hari Imlek datang. Jumlah orang yang sembahyang di tempat tersebut meningkat drastis. Warga sekitar pun diperbolehkan masuk ke area klenteng.
Tiap perayaan Imlek, warga Bojonegoro memang berbondong-bondong datang ke Klenteng untuk melihat pertunjukan barongsai yang rutin digelar. Warga Tionghoa di Bojonegoro juga sering membagikan angpao kepada warga datang di sekitaran klenteng.
Untuk mengetahu lebih lanjut tentang tradisi perayaan Imlek di Bojonegoro, tim Jurnaba.co bertemu dengan Hendro Salim. Ia adalah satu dari sekian banyak warga keturunan Tionghoa yang tumbuh besar di Bojonegoro.
Menurut pria berusia 57 tahun tersebut, perayaan Imlek di Bojonegoro lebih guyub dan sederhana. Berkumpul bersama keluarga di rumah dan makan bersama menjadi tradisi yang tak bisa dipisahkan.
Meminta maaf kepada orang tua juga menjadi ritual tersendiri di hari Imlek bagi warga Tionghoa Bojonegoro. Konsepnya sama seperti Hari Raya Idul Fitri.
“Merayakan Imlek paling tepat dengan meminta maaf kepada orang tua. Meminta maaf terhadap dosa yang sudah diperbuat selama satu tahun lalu. Itu adalah tradisi penting dalam perayaan Imlek,” ujar Hendro Salim.
Meski di zaman orde baru aktifitas yang berhubungan dengan budaya Tionghoa dilarang, Hendro Salim tak pernah merasa ada diskriminasi dari orang Bojonegoro sendiri. Sejak kecil sampai sekarang punya anak, Ia tak pernah merasa takut dan khawatir ketika bersinggungan dengan warga Bojonegoro dari suku Jawa.
“Bojonegoro itu adalah kota yang aman dan damai. Zaman saya sekolah SD sampai sekarang, kami rukun-rukun saja dengan warga lokal asli Jawa,” tambah mantan pengusaha kayu tersebut.
Pria yang termasuk dalam jajaran pengurus Klenteng Bojonegoro tersebut juga tak lupa memberikan apresiasi kepada Presiden keempat Indonesia, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden, budaya dan tradisi Tionghoa di Indonesia diperbolehkan muncul di hadapan publik.
“Mbah Gus Dur adalah orang yang mengenal sejarah. Gus Dur itu adalah orang yang benar-benar mengenal jati diri orang Indonesia. Indonesia merdeka pun berkat persatuan dari seluruh ras dan suku yang beraneka ragam. Entah itu keturunan Tionghoa, maupun keturunan Jawa,” tambah Hendro Salim.
Berkumpul dan meminta maaf kepada orang yang lebih tua adalah salah satu cara sederhana dalam merayakan Imlek di Bojonegoro. Karena pada hakekatnya, tahun baru adalah sarana untuk membuka lembaran baru.
Perayaan Imlek di Bojonegoro tak hanya menjadi milik warga keturuan Tionghoa saja. Semua warga Bojonegoro bisa turut memeriahkan dan meramaikan perayaan ini bersama-sama. Gong XI Fa Cai, Nabs!