Seksisme tak bisa dilepaskan dari sepakbola Indonesia. Diskriminasi gender sering terjadi di iklim sepakbola tanah air. Namun, jangan salah kira. Di level sepakbola internasional sekali pun, seksisme masih saja terjadi.
Awal Desember lalu, diadakan malam penganugerahaan pesepakbola terbaik dunia atau Ballon d’Or. Untuk kategori pria, gelandang Real Madrid asal Kroasia, Luka Modric menjadi yang terbaik. Sementara di kategori wanita, ada pemain asal Norwegia Ada Hegerberg.
Bukan kemenangan Luka Modric atau Ada Hegerburg yang menjadi perbincangan. Melainkan pelecehan yang dilakukan oleh salah satu pembawa acara, Martin Solveig terhadap Ada Hegerburg.
Sesaat setelah menyerahkan trofi kepada Ada Hegerburg, Solveig yang berprofesi sebagai DJ tersebut meminta pemain timnas wanita Norwegia untuk melakukan Twerk.
Kamu tahu nggak Nabs, Twerk itu apa? Twerk itu semacam tarian asal Amerika dengan menggerakkan pantat naik turun secara cepat. Aksi yang identik dengan hal tak senonoh gitu lah, Nabs kira-kira.
Saat diminta untuk melakukan Twerk, Ada Hegerberg tentu saja langsung menolak. DJ Martin Solveig hanya bisa tertawa garing menanggapi jawaban singkat Hegerberg. Seremonial Ballon d’Or pun seketika menjadi penuh kecanggungan. Hadeeehhh~
Sangat miris dan juga menggelikan ya, Nabs. Bagaimana bisa, seorang pembawa acara di pagelaran megah yang didatangi oleh sosok-sosok ternama dunia melakukan hal tersebut?
Itu adalah contoh kecil dari seksisme yang terjadi di lingkaran sepakbola internasional. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Seperti yang sudah disebutkan di awal, seksisme tak bisa dilepaskan dari sepakbola Indonesia. Sepakbola masih dianggap sebagai olahraga yang maskulin. Sehingga, banyak yang masih merasa aneh ketika melihat seorang perempuan bermain sepakbola.
Jangankan melihat perempuan yang bermain sepakbola. Dulu, melihat perempuan yang nonton bola langsung ke stadion saja sudah menjadi hal yang sangat tabu.
Jurnalis BBC, Georgina Rannard menuliskan secara gamblang tentang diskriminasi publik sepakbola terhadap perempuan. Banyak hal yang disoroti Georgina Rannard. Terutama masalah perempuan yang dianggap tak relevan dengan sepakbola.
“Para komentator olahraga, terutama kaum perempuan selama ini cenderung direndahkan, dikritik, bahkan dilecehkan di depan kamera oleh suporter,” tulis Georgina Rannard.
Sekitar 10 sampai 15 tahun silam, perempuan yang menyaksikan pertandingan sepakbola di Indonesia adalah hal langka. Akibatnya, ketika ada yang berani datang ke stadion, perempuan itu justru menjadi objek catcalling bahkan body shaming.
Hal itu sering ditemui ketika klub divisi bawah Indonesia sedang berlaga. Di Bojonegoro misalnya, saat Persibo masih berlaga di ajang divisi bawah Liga Indonesia pada 2005 hingga 2008, banyak sekali pelecehan terhadap perempuan yang terjadi. Padahal, tak jarang perempuan yang dilecehkan tersebut masih berada di bawah umur
Sekarang, catcalling maupun body shaming terhadap perempuan yang datang ke stadion sudah jauh berkurang. Namun, tak serta merta seksisme dalam sepakbola Indonesia hilang. Hal ini bisa dilihat dari tayangan sepakbola di televisi.
Kameraman di stadion kerap menyorot perempuan-perempuan yang ada di tribun stadion. Mereka bisa berdalih jika “stadion di Indonesia sudah ramah ke semua kalangan” lewat tayangan tersebut. Namun hal itu justru memperlihatkan bahwa seksisme di sepakbola Indonesia masih terus dipelihara.
Saatnya mengakhiri budaya seksisme dalam sepakbola Indonesia. Zaman sudah berubah. Perempuan juga punya hak untuk datang ke stadion, berteriak dan bernyanyi mendukung tim kebanggaannya. Bahkan, perempuan juga layak menjadi bagian manajerial dari sebuah klub sepakbola.
Bayangkan, berapa tambahan pemasukan yang bisa didapatkan oleh klub Indonesia ketika lebih banyak perempuan yang datang ke stadion.
Tak bisa dipungkiri jika seksisme di sepakbola Indonesia, bahkan dunia masih terjadi. Kejadian yang melibatkan Ada Hegerberg di acara Ballon d’Or menjadi bukti nyata, Nabs. Bahwa masih banyak orang yang melihat perempuan sebagai objek tak relevan dengan sepakbola. Karena itu, sudah waktunya kita mengubah itu semua.
Comments 3