Banyak opsi menanam padi yang dikembangkan di Indonesia. Berbagai inovasi pertanian terus dikembangkan. Satu di antaranya adalah metode tanam sawah apung atau floating field. Beberapa manfaat bisa didapatkan melalui cara tanam sawah apung. Seperti apa konsep tanam padi apung ini?
Buat para petani padi, bercocok tanam di lahan yang penuh dengan air atau rawa-rawa adalah pekerjaan sulit. Lahan tersebut mungkin hanya bisa ditanami saat musim kemarau saja. Kala musim penghujan tiba, lahan berubah jadi rawa-rawa sehingga sulit ditanami.
Namun belakangan ini muncul inovasi pertanian dalam metode bercocok tanam padi. Namanya, teknik budidaya sawah apung atau floating field. Lewat teknik ini, lahan rawa yang penuh dengan air tetap bisa ditanami padi secara maksimal.
Inovasi pertanian sawah apung merupakan solusi untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi petani. Secara sederhana, konsep sawah apung ini merupakan suatu sistem budidaya pertanian dengan cara menanam padi diatas permukaan air.
Pada konsep sawah apung ini, media tanam ditempatkan pada rakit yang terbuat dari bambu. Media tanam terdiri dari campuran tanah, sabut kelapa dan jerami. Dibutuhkan jumlah rakit yang cukup banyak. Sesuai dengan luasnya lahan pertanian.
Baca juga: Merayakan panen padi organik di Desa Mojodeso
Di Bojonegoro, konsep sawah apung ini sudah diterapkan oleh petani di Desa Karangdayu, Kecamatan Baureno, Bojonegoro. Sebagian sawah Desa Karangdayu memang sering terkena luapan Sungai Bengawan Solo.
Menurut data dari Dinas Pertanian Bojonegoro, Desa Karangdayu merupakan salah satu desa penghasil tanaman padi yang cukup besar. Desa tersebut punya luas lahan pertanian 389 hektar yang terdiri dari luas lahan sawah 333 hektar dan lahan tegal 56 hektar.
Produksi dari lahan pertanian untuk tanaman padi di Desa Karangdayu mencapai 8 – 9 ton per hektar. Angka tersebut merupakan angka yang dihasilkan oleh lahan yang memiliki tingkat kesuburan yang tinggi. Namun sayang produksi tersebut hanya bisa dilakukan 2 kali dalam setahun.
Saat musim penghujan datang, lahan sawah biasanya tidak ditanami. Itu disebabkan karena luapan Sungai Bengawan Solo yang kerap membanjiri lahan pertanian Desa Karangdayu. Warga pun mencari solusi untuk mengatasi masalah tersebut.
Setelah melakukan sejumlah eksperimen, konsep sawah apung ternyata cocok untuk diterapkan. Alhasil, saat musim penghujan tiba, lahan pertanian Desa Karangdayu tetap bisa ditanami padi.
Menanam padi di atas permukaan air merupakan suatu metode tanam yang baru diketahui oleh Petani Desa Karangdayu. Konsep sawah apung ini diujicobakan oleh 5 Dosen Pertanian dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo.
Penelitian ini dibantu oleh Koordianator Penyuluh Pertanian Kecamatan Baureno dan Penyuluh Pertanian Desa Karangdayu. Salah satunya adalah Enny Wahyuningsih. Sarjana Teknik Pertanian tersebut mengatakan bahwa konsep sawah apung ini diharapkan mampu memberi inspirasi kepada petani di daerah lain.
“Dengan adanya percontohan tanam padi apung di Desa Karangdayu, diharapkan dapat menginpirasi Petani daerah lain. Ini solusi tanam padi pada musim penghujan,” ujar Enny Wahyuningsih.
Manfaat dari metode ini langsung dirasakan oleh petani di Desa Karangdayu. Antara lain petani bisa memanfaatkan lahan yang lebih luas, sehingga hasilnya lebih banyak. Serta menghemat biaya. Karena konsep sawah apung membuat para petani tak perlu membajak atau menyirami lahan.
Konsep sawah apung menjadi peluang bagus bagi para petani di Bojonegoro. Terutama daerah-daerah sekitar Sungai Bengawan Solo. Dengan inovasi pertanian ini, petani tak perlu bingung lagi soal lahan yang sering banjir atau kerap tergenang air di musim penghujan.