Tidak ada manusia yang bisa memilih dilahirkan di mana dan oleh siapa. Seperti halnya kita yang lahir di Bojonegoro. Terpapar oleh kultur Jonegoro. Dan membentuk identitas sebagai wong Jonegoro.
Nabs, sejauh kamu pergi, boleh ke Jakarta, boleh ke benua lain. Membaur dan bergaul dengan kultur baru. Namun, berpindah tempat tinggal tidak serta merta membuatmu melebur dengan kultur baru itu.
Ada nilai yang tertanam, dan memang selaiknya dipertahankan sebagai distingsi identitas.
Bisa dikatakan, keterikatan manusia dengan geografis atau kultur tertentu adalah given, atau pemberian. Begitu pula dengan interaksi kita pada suatu kultur tertentu.
Kita dilahirkan dalam klasifikasi suku, bangsa dan kultur tertentu. Karena itu, keberagaman merupakan suatu hal yang alami dan harus terjadi.
Saat lahir, kita telah diletakkan pada kultur masyarakat tertentu. Melalui keluarga, kita diberikan insight tentang nilai dan kebiasaan yang juga dipengaruhi oleh kultur.
Tak bisa dipungkiri, keluarga memiliki peran yang besar dalam pengenalan dan internalisasi nilai pada generasi penerus. Meski, pada perkembangannya, kita bisa memilih untuk terikat pada lokasi geografis dan kultur yang lain.
Untuk mengenal wajah, tanah, dan kultur yang lain, manusia melakukan perjalanan. Berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Manusia dari satu zaman ke zaman lainnya telah melakukan ekspansi dan eksplorasi geografis. Hal ini pun telah meningkatkan kesadaran dan pengetahuan akan adanya kebudayaan lain.
Karena ada perbedaan kultur inilah, kemudian muncul pentingnya kesadaran akan kosmopolitanisme. Secara harfiah, kosmopolitanisme berasal dari kata “kosmos” yang berarti space atau ruang. Dan “polites” yang berarti citizen atau warga.
Dari makna harfiah itu, kosmopolitanisme menawarkan gagasan citizen of the world atau warga negara dunia. Kosmopolitanisme muncul dari kisah Diogenes De Sinope. Yakni seorang filsuf yang juga menyebarkan filsafat Sinik atau cynicism.
Diogenes hidup di zaman Yunani Kuno. Ia bersikap apatis terhadap sistem pemerintah dan negara. Sebab ia berpandangan bahwa peraturan negara-kota ditentukan oleh kaum elit yang berpikiran sempit, egois, dan korup.
Diogenes kemudian memilih untuk tinggal di dalam sebuah tong. Ia pun tidak mau terikat pada hukum apapun. Kegiatan sehari-harinya adalah menyusuri jalan pada siang hari, membawa sebuah lentera bernyala.
Perjalanannya bukan untuk iseng semata. Ia mencari orang-orang jujur yang kemudian ia jadikan muridnya. Selain itu, ia juga meminta makan pada orang yang ia temui.
“Aku makan untuk hidup. Bukan hidup untuk makan,” ujarnya setiap kali meminta makanan. Ia menjalani kehidupan yang penuh kesederhanaan, dan sinis terhadap perkembangan peradaban.
Alkisah, Diogenes bertemu dengan Alexander the Great, penguasa Athena kala itu. Alexander the Great menawarkan harta dan kuasa. Namun, yang Diogenes minta hanyalah Alexander the Great menyingkir dan tidak menghalangi cahaya matahari. Agar ia bisa kembali berjemur di dekat tong tempat tinggalnya.
Dari sepenggal kisah Diogenes ini, kita bisa menggarisbawahi dua bahasan. Yakni identitas dan gaya hidup. Dibandingkan dengan era Yunani Kuno yang masih memiliki ruang interaksi yang relatif lebih sempit. Era kita, era globalisasi memiliki konteks interaksi yang lebih kompleks.
Menurut penstudi kosmopolitanisme di era modern, Adam Gannaway. Diogenes tidak hidup tanpa identitas. Ialah yang mencetuskan konsep citizen of the world atau warga negara dunia. Diogenes lebih mengakui adanya sebuah identitas global. Bukan identitas yang dikotak-kotakkan berdasarkan suatu negara-kota tertentu.
Diogenes memiliki pemikiran yang berbeda dengan Aristoteles. Utamanya pada asumsi bahwa manusia adalah hewan yang berpolitik (zoon politicon). Menurut Diogenes, manusia adalah spesies multikultural.
Oleh sebab itu, tidak ada satu budaya atau tata krama yang paling benar. Budaya yang melekat karena silsilah keluarga dan tempat tinggal bukanlah satu-satunya budaya yang dapat dianut oleh manusia.
Inilah yang kemudian ditawarkan oleh filosofi kosmopolitanisme. Yakni mengajak kita untuk memahami keberagaman kultur.
Sebab identitas kita sebagai bagian dari suatu kelompok kultur, juga dibarengi dengan kesamaan identitas dalam satu kosmos. Yaitu kosmos dunia secara global.
Kita bisa berinteraksi dengan nilai budaya lain. Namun di saat yang sama ia masih dapat memelihara nilai-nilai kultur kita. Kosmopolitanisme mengajak kita untuk menjadi masyarakat salad bowl.
Dalam semangkuk salad, setiap budaya dapat mempertahankan karakteristik khas dan tradisinya masing-masing. Dalam semangkuk salad, kita bisa berdamai dalam rasa yang menyatu. Kita juga bebas menjadi diri sendiri, dan terikat oleh toleransi.
Filosofi kosmopolitanisme lekat hubungannya dengan globalisasi dan multikulturalisme. Menurut penstudi kosmopolitanisme, Tom Palmer, globalisasi sendiri diartikan sebagai interaksi yang memunculkan konsep kosmopolis atau peradaban universal.
Peradaban universal ini memiliki nilai multikulturalisme yang bisa dipahami dalam berbagai bangsa dan bahasa. Kosmopolitanisme mengajak kita menuju masyarakat yang merayakan perbedaan sebagai suatu kekayaan.
Tidak ada lagi konflik mengenai warna kulit, keyakinan atau budaya. Dengan filosofi ini, setiap orang merasa ada di rumah, di belahan dunia manapun ia berada.
Sama halnya dengan identitasmu sebagai wong Jonegoro. Sejauh apapun kamu berada, jadilah sayuran dalam semangkuk salad. Membaur dengan mayonaise dan saus sambal. Namun, tidak menghilangkan cita rasa dan kesegaranmu, Nabs.