Ayam geprek dan kedai kopi WiFi tiba-tiba menjadi sajian yang hampir selalu ada di tiap pojokan kota. Apakah kecenderungan itu sekadar Herding Behavior?
Bermunculannya sajian ayam geprek, sesaat melempar ingatan kita pada berbagai macam fenomena latah kolektif dalam hal berbisnis dan menginvestasikan dana.
Nabs, kalau mau mengingat-ingat, kecenderungan yang sama juga sedang terjadi pada bermunculannya pehobi dan penjual burung lovebird hingga bermunculannya cafe-cafe dan kedai kopi ber-WiFi.
Jika mau menggulung ingatan ke waktu yang lebih lampau lagi, misalnya, kita akan ingat fenomena batu akik hingga bunga gelombang cinta — peristiwa kerumunan yang teramat populer di Indonesia, bukan?
Nah, bermunculannya entitas bisnis yang sama secara masif, namun tak memperhitungkan resiko secara matang dan cenderung sekadar ikut-ikutan, oleh para ahli dikatakan sebagai Herding Behavior.
Yaps, Herding Behavior. Perilaku investor yang tidak rasional. Sebab tak membuat keputusan investasi berdasar pengamatan resiko memadai. Tapi hanya berdasar ikut-ikutan investor lain dalam berinvestasi di bidang yang sama.
Fenomena semacam itu bukan barang baru. Tapi sudah pernah terjadi lama dan berulang-ulang dengan variabel berbeda. Meski tak semuanya bernada sama secara plek, tapi punya kecenderungan yang mirip.
Ekonom dari Yale University, Robert J. Shiller, menangkap momen itu melalui sebuah buku berjudul Irrational Exuberance. Buku bercerita tentang kerumunan dan latah kolektif dalam perkara bisnis secara irasional, tanpa tinjauan resiko memadai.
Buku yang diterbitkan hingga tiga edisi (2000, 2005, hingga 2015) itu, menyinggung soal bisnis-bisnis yang riuh dan ramai dilakukan banyak orang. Seperti membanting investasi pada bisnis properti hingga pembelian obligasi.
Untuk urusan bisnis, manusia memang rentan tidak rasional dalam mengambil keputusan. Terutama saat berhadapan dengan latah kolektif. Yakni, ketika banyak kerumunan melakukan perkara yang sama. Bunga gelombang cinta dan batu akik mungkin dua contohnya.
Daniel Kahneman, psikolog Amerika Serikat, pernah melakukan penelitian terkait peran persepsi dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Hasil penelitian itu, kemudian berkembang menjadi teori baru.
Yakni Teori Prospek yang menyatukan bidang ilmu psikologi dan ekonomi, yang kini dikenal dengan sebutan Financial Psychology (Behavioral Economics).
Dalam Financial Psychology, ada istilah Financial Mania yang menganggap manusia cenderung tidak rasional dalam mengambil keputusan finansial. Terlebih saat berhadapan dengan kerumunan.
Nabs, fenomena Financial Mania adalah contoh nyata dari premis dasar ilmu Financial Psychology: bahwa manusia itu sering bersikap tidak rasional terkait uang. Dan sialnya, bahaya laten irasionalitas mengendap di setiap tubuh manusia.
Fenomena batu akik atau gelombang cinta atau yang berpotensi: burung lovebird dan kedai kopi WiFi misalnya, memberi pesan bahwa betapa mudahnya manusia tergelincir dalam Herding Behavior — perilaku kerumunan yang suka latah— terkait uang.
Maraknya restoran ayam geprek, bitcoin, hingga kedai kopi ber-WiFi, punya potensi sekadar Herding Behavior jika tak berkelanjutan. Sebab, emosi dan euforia masal membikin kita mudah terjebak dalam apa yang diistilahkan Robert J. Shiller sebagai: Irrational Exuberance.
Nabs, Irrational Exuberance merupakan sikap ramai-ramai untuk latah. Atau latah secara kolektif atau menjadi bodoh dan bergembira bersama-sama terkait sesuatu yang sama.
Nah, saat kita dihadapkan pada fenomena orang yang ramai berbondong-bondong memburu sesuatu yang sama, kita mesti sadar dan peka kondisi untuk terus mempertanyakan: adakah benih irasionalitas di sana?