Bukan kemampuan mengorganisir pemberontakan yang membuatnya istimewa. Tapi kemauan dan kekuatannya dalam membaca dan menulis buku.
Rafael Sebastian Guillen Vicente atau Delegate Zero atau lebih dikenal sebagai Subcomandante Marcos, lahir pada 19 Juni 1957. Dialah sosok di balik adagium: Kata adalah Senjata.
Subcomandante Marcos memang tak populer. Dia, justru menutupi wajah dan identik bertopeng dengan pipa cerutu di mulutnya, kayak Popeye si pelaut.
Serupa Elliot (Mr. Robot) maupun V (V for Vendetta), Marcos merupakan sosok vigilente dari dunia nyata. Dialah sosok besar di balik Ejército Zapatista de Liberación Nacional (EZLN) atau Tentara Pembebasan Nasional Zapatista.
EZLN merupakan kelompok revolusioner bersenjata yang bermarkas di Chiapas, salah satu provinsi miskin di Mexico.
Banyak kalangan menganggap gerakan Zapatista sebuah kelompok revolusioner bersenjata yang anti kekerasan dan menggunakan teknologi modern satelit dan internet sebagai suatu cara menggalang dukungan domestik dan luar negeri.
Selain melawan ketidakadilan dan penindasan kaum adat, dia, Marcos, adalah sosok yang membela para buruh dan orang-orang miskin melalui pergerakan, tulisan dan pemikirannya.
EZLN merupakan respon atas ketidakadilan dan kesewenang-wenangan pemerintah pada masyarakat adat. Di Chiapas, sejarah panjang mereka dicatat sebagai masyarakat adat dengan gerakan perjuangan yang terorganisir secara sistemik.
Meski tak pernah mau menampakkan diri, Marcos merupakan sosok paling penting sekaligus inti dari gerakan tersebut. Selain ahli strategi, Marcos seorang penulis yang sangat produktif. Ia ahli propaganda.
Namun, yang menjadikan Marcos teramat istimewa — setidaknya bagi saya — bukan kemampuan mengorganisir pemberontakan. Tapi kecintaannya pada proses membaca sekaligus menulis buku.
Nabs, bukan hanya kemampuan mengorganisir pemberontakan yang membuatnya istimewa. Tapi kemauan dan kekuatannya dalam membaca dan menulis buku.
Dilihat dari berbagai tulisannya, Marcos memang bukan orang biasa. Presiden Meksiko, Ernesto Zedillo Ponce de Leon pada 1995 mengumumkan, Subcomandante Marcos sebenarnya adalah Rafael Sebastián Guillén Vicente, lelaki kelahiran Tampico pada 1957.
Dia mantan profesor, satu dari lima mahasiswa Departemen Filsafat dan Sastra Universitas Otonomi Nasional Meksiko, yang lulus dengan nilai terbaik dan mendapatkan medali kepresidenan dari Presiden Meksiko, José López Portillo, pada 1981.
Subcomandante memang tidak pernah mengakui atau membantah identitas itu. Selain foto-fotonya mirip, latar belakang pendidikannya meninggalkan jejak teramat jelas dalam tulisan-tulisannya.
Sangat jarang ada pemberontak yang suka membaca dan menulis. Ini yang membikin saya terkagum-kagum. Bahkan, secara blak-blakan, Subcomandante Marcos berproklamir bahwa kata-kata adalah senjata.
Dalam perkara menulis, produktivitas Marcos terbukti dengan lahirnya ratusan esai dan banyak buku. Sebagian besar tulisannya fokus pada ideologi anti-kapitalis dan advokasi untuk hak-hak masyarakat adat. Hebatnya, Marcos juga menulis puisi dan novel.
Marcos telah menulis lebih dari 200 esai dan cerita. Juga telah menerbitkan 21 buku yang mendokumentasikan pandangan politik dan filosofisnya.
Esai dan cerita-ceritanya disusun dalam buku-buku. Sejumlah tulisannya berupa kisah-kisah secara tidak langsung. Namun, ada pula tulisan yang langsung menggedor kepala para pembaca.
Bersyukur ketika sejumlah tulisan Marcos serta artikel-artikel mengenai pemberontakan Zapatista telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh penerjemah spesialis Bahasa Amerika Latin, Ronny Agustinus.
Sejumlah judul seperti Bayang Tak Berwajah: Dokumen Perlawanan Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (INSIST Press, 2003), Kata Adalah Senjata: Kumpulan Tulisan Terpilih (Resist Book, 2005), Atas dan Bawah: Topeng dan Keheningan (Komunike-komunike Zapatista Melawan Neoliberalisme) (Resist Boom,2005) adalah buku-buku mengisahkan Marcos dan Zapatista.
Sastrawan Besar Mexico, Gabriel Garcia Marquez, pernah mewawancarai Subcomandante Marcos. Dalam sebuah wawancara mewakili majalah Revista Cambio dan terbit pertama kali pada 26 Maret 2001 tersebut, tampak betapa Marcos sangat mencintai baca buku.
Dalam wawancara tersebut, terlihat betapa produktivitas menulis Marcos diakibatkan riwayat membaca buku yang luar biasa hebat. Di sela-sela waktu kacau penuh peperangan, dia masih menyempatkan diri membaca banyak buku.
“Dalam tentara-tentara gerilya yang ada sebelum kami, para prajuritnya mengisi waktu luang dengan mengelap senapan dan menyetok amunisi. Di sini, senjata kami adalah kata-kata, jadi kami harus bergantung pada gudang amunisi kami setiap saat” kata Marcos.
Nabs, semangat membaca buku yang membabi-buta tersebut, berkait erat dengan masa kecilnya. Dalam keluarga Marcos, kata-kata memiliki nilai yang teramat khusus.
Dia dan keluarga mengenal dunia lewat bahasa dan kata-kata. Membaca buku menjadi sesuatu yang teramat penting bagi dia dan keluarga.
Dia sekeluarga tidak belajar membaca di sekolahan melainkan dengan membaca koran. Ibu dan ayahnya menyuruh dia bersama saudara-saudaranya membaca buku-buku. Itu yang membikin dia kian mengenal hal-hal baru.
“Entah bagaimana, kami menyerap sebuah kesadaran berbahasa yang bukan diperuntukkan sebagai cara berkomunikasi satu sama lain, tapi sebagai cara untuk membangun sesuatu,” kata Marcos.
Membaca buku, menurut Marcos, merupakan kenikmatan ketimbang kewajiban atau penugasan. Dia mengenal banyak karya sastrawan Amerika Latin macam Gabriel Garcia Marquez (sosok yang mewawancarainya), Carlos Fuentes, Carlos Monsiváis Aceves, Mario Vargas Llosa dan, tentu saja, Miguel de Cervantes.
Jika Subcomandante Marcos yang selalu disibukkan dengan pertikaian dan perlawanan saja selalu menjadikan baca buku sebagai teman setia, kenapa kita yang hidup tanpa perang justru jauh dari kesukaan membaca?