Kami berangkat dari Bojonegoro usai jumatan. Deretan hutan jati yang membelah kota Cepu dan Blora, kami lintasi begitu saja. Tak banyak kata yang kami ucap. Kami hanya ingin segera sampai ke sebuah alamat: Jalan Sumbawa 40, Kelurahan Jetis, Blora.
Hutan jati yang lebat, teduh dan teramat panjang yang memisah Cepu dan Blora itu, terlalu mudah memantik banyak hal bersahutan di dalam kepala. Sekaligus mengajak mulut untuk sejenak tidak berbicara.
Kami sampai di sebuah rumah yang terletak di pojokan jalan. Di depannya, terdapat poskamling usang yang banyak coretan. Sepintas, rumah di dekat poskamling itu rumah yang kosong. Tak berpenghuni.
Halaman rumahnya cukup luas. Ditutup sebuah pintu kecil dari kayu yang terkait kawat berkarat. Hampir tak ada tanda-tanda jika rumah itu dihuni. Untung masih sore. Sehingga kami melihat ada tanda kehidupan di dalamnya.
Kami melihat ada gerombolan kambing yang mencari rumput di halaman rumah. Sesekali, seorang pria renta— dari kejauhan— memberi aba-aba pada kambing-kambing itu untuk mencari makan di lokasi yang sesuai.
Tanpa banyak kata-kata, kami mengurai kawat berkarat yang mengikat pintu. Kami tahu jika rumah itu adalah perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba), kami memasukinya.
Kawan saya, pria berkacamata yang tampak lelah berkendara, segera merunduk dan mengambil tanah di dekat gerbang, lalu menciuminya. Kami berdua menghampiri pria tua itu. Iya, dia lah Soesilo Toer. Adik dari Pramoedya Ananta Toer.
Sebenarnya, perjalanan kami ke Pataba bukan tanpa alasan. Beberapa Minggu sebelumnya, di sebuah tugas peliputan di Perpustakaan Daerah Blora, saya bertemu secara langsung dengan Soesilo Toer. Kalau tidak salah, itu pertengahan 2015.
Mbah Soes yang tampak sudah renta itu, memberi penjelasan tentang literasi di Perpusda Blora. Usai acara, saya mendekatinya dan mengambil fotonya. Kami pun sempat bersalaman dengan cukup erat. Bahkan kami sempat berpelukan.
Sambil memeluk, dia berbisik: “Mainlah ke Pataba, nanti kita banyak bercerita di sana,” katanya, seolah kami sudah kenal sangat dekat. Padahal itu pertemuan pertama saya. Entah kenapa, saat itu juga, hati saya tiba-tiba bergetar.
Sesungguhnya, saya cukup sering melintasi Pataba. Terlebih ketika saya bertugas di Blora. Tapi entah kenapa, saya selalu gagal berkunjung. Bagi saya, berkunjung ke Pataba adalah ritual sakral yang harus dipersiapkan secara khusus.
Pasca bertemu di Perpusda Blora itulah, saya mengajak seorang kawan dari Bojonegoro untuk bersama-sama main di Pataba. Kawan saya cukup banyak membaca buku Pramoedya; tak berlebih jika saat pertama masuk rumah Pramoedya, dia langsung mencium tanahnya.
Mbah Soes mempersilakan kami masuk ke ruang utama Pataba. Saya (mungkin kawan saya juga) membayangkan, setiap lekuk ruang Pataba seperti apa yang pernah kami baca dari buku-buku Pramoedya. Terutama buku berjudul Bukan Pasar Malam.
Seperti yang sebelumnya kami yakini bersama, dengan penuh antusias, banyak kisah yang dia sampaikan pada kami. Tentang dia, tentang Pataba, dan, tentu saja, tentang kakaknya: Pramoedya.
Dari pertemuan itu, tentu pada akhirnya kami tahu bahwa Mbah Soes adalah profesor yang pernah belajar hampir belasan tahun di Rusia. Dan mungkin karena itu pula, stigma buruk masyarakat tentangnya tetap awet. Terbukti, rumahnya yang kerap sepi dan tetangganya yang seperti tak pernah mau peduli.
Mbah Soes bercerita tentang masa mudanya, kegiatan sehari-harinya yang tidak jauh dari urusan sampah dan angon kambing. Beberapa kisah yang dia sampaikan tentang Pramoedya, merupakan kisah yang benar-benar baru kami dengar. Sesekali teramat kocak dan kerap membikin kami tertawa bersama.
Sebagai adik Pramoedya, semangat dan bara api hidup benar-benar terlihat dari mimik wajah dan tatap matanya. Menemuinya, mau tidak mau kami merasa seperti menemui sang kakak, Pramoedya. Meski, tentu saja tidak sama.
Dari Mbah Soes lah, kami banyak mendengar kisah tentang Pramoedya secara dekat. Sesekali, kisah itu dia bumbui guyonan getir yang membikin kami bingung harus tertawa atau menangis.
Dengan puluhan buku karya sastra dan ratusan cerita pendek serta esai, yang sebagian diterjemahkan ke dalam semua bahasa utama di dunia dan beberapa bahasa lain di Asia dan Eropa, Pram menjadi penulis yang paling giat memperkenalkan Indonesia kepada dunia.

Pram memang lahir pada 6 Februari 1925 dan meninggal di Jakarta pada 30 April 2006 pada umur 81 tahun. Dengan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing, Pram tentu hidup lebih lama dari usianya.
Bahkan, selama beberapa tahun sebelum dia mangkat, Pram adalah satu-satunya penulis Indonesia yang namanya kerap disebut sebagai calon penerima hadiah Nobel sastra. Beberapa universitas di Amerika, bahkan memberinya gelar doctor honoris causa.
Pram mengabdikan seluruh usia produktifnya untuk mempelajari, berpikir dan menulis tentang Indonesia. Seusai perang yang memastikan keberadaan Indonesia secara politik dan hukum, ia angkat pena untuk merajut Indonesia menjadi kenyataan sosial.
Pram lah yang memperkenalkan sosok besar RM Tirto Adhi Soerjo pada khalayak sebagai bapak pers nasional. Tanpa sebuah buku berjudul Sang Pemula, tampaknya mustahil kita tahu siapa bapak pers kita yang sesungguhnya; sebab Tirto adalah sosok besar yang disingkirkan oleh penguasa kolonial.
Lebih dari seorang penulis, Pram adalah tokoh yang pikirannya cukup banyak diikuti. Pram, bahkan menjadi orang kedua di Indonesia yang memiliki pengagum ideologis terbesar setelah Soekarnois. Yakni Pramis.
Di dunia sastra dan kepenulisan, jasa Pram mungkin sulit ditandingi penulis lain. Di Indonesia popularitasnya kurang dikenal dan hanya segmen masyarakat tertentu saja yang mengenalnya. Tapi, di luar negeri, Pram adalah penulis Indonesia yang paling sering dibicarakan.
Pram identik perlawanan. Menulis tentang Pram, tanpa menghadirkan bara api perlawanan tentu sangat sulit. Namun, bagi saya, Pram bukan hanya simbol perlawanan. Tapi juga simbol ketabahan sekaligus kecintaan membabi-buta terhadap sebuah bangsa.
Karena Pram lah, Indonesia bisa dikenal banyak orang di luar negeri. Dan karena Pram pula, pemikiran saya tentang bagaimana sejarah ditulis sedikit terbuka. Mungkin itu alasan saat mendengar kata “sastra” atau “Blora”, saya terkenang Pramoedya.
Saya bukan pembaca garis keras Pram. Hanya beberapa bukunya saja yang pernah saya baca. Tapi kehadiran Pram memberi banyak hal baik bagi saya. Terutama bagi pemahaman saya tentang betapa dinamisnya wujud sejarah.
Bahwa sejarah dan apapun yang ada di muka bumi adalah kumpulan perspektif. Kumpulan percik yang dicitrakan. Di mana, sudut pandang terhadap fenomena sangat membentuk bagaimana kebenaran itu diyakini.
Di dunia ini tidak ada yang baik-baik belaka. Selalu ada ketidakadilan dan perlawanan. Mengenang Pram memang identik mengingat ketidakadilan sekaligus perlawanan seorang anak Adam pada penguasa.
Tapi, bagi saya, mengingat Pram adalah mengenang perihal baik tentang betapa dinamisnya wujud sejarah. Dan perjalanan kami dari Bojonegoro ke Blora adalah bagian kecil dari wujud sejarah itu sendiri.