Segala peristiwa yang berlalu, niscaya merekam namamu. Dan tulisan ini, bagian dari upaya itu, Pak Ajip.
Sebenarnya tidak ada sama sekali rencana dan niatan untuk menulis obituari ini. Sampai tadi pagi kira-kira pukul 9, membaca cuitan salah satu akun twitter yang melintas di linimasaku.
Cuitan itu membawa kabar perihal wafatnya Ajip Rosidi. Masalahnya, aku tidak tahu dan bingung mau menulis apa tentang Pak Ajip.
Tengah Mei tahun ini, saat mampir ke toko buku Toga Mas di Jalan Panglima Sudirman Bojonegoro, aku melihat buku kumpulan sajak dan puisi karya Ajip Rosidi berjudul Kata dan Makna.
Salah satu sajak yang berjudul Kata dan Makna aku foto kemudian aku jadikan header profil di akun Twitterku.
Begini kutipan utuh sajak Kata dan Makna:
kauajarkan nama-nama benda kepada manusia/
lalu mereka saling bunuh memperebutkan makna/
kauajarkan makna-makna kepada manusia/
mereka pun saling bunuh memperebutkan benda/
Sajak empat baris yang sungguh dalam tentang kedudukan dan ontologi manusia. Manusia yang dibekali ilmu, kemampuan mengenali benda-benda, dan memberi nama-nama memgonfirmasi kekhawatiran malaikat saat Tuhan hendak menciptakan manusia: berbuat kerusakan dan saling bunuh.
Sebelum membeli buku Kata dan Makna ini, sudah amat lama sekali aku tidak lagi membaca karya-karya Pak Ajip. Bahkan mengingat namanya saja tidak pernah.
Meski lebih dari sepuluh tahun lalu, aku sudah mengoleksi buku otobiografi Pak Ajip berjudul Hidup Tanpa Ijazah. Buku setebal 1300 halaman itu tentu belum khatam kubaca, dan sudah lama tak tersentuh. Maafkan.
Pak Ajip yang menjadi Guru Besar tamu di beberapa perguruan tinggi di Jepang ternyata tidak lulus sekolah menengah. Pak Ajip mengisahkan sebab ia tidak lulus sekolah menengah.
“Pendidikan formal saya rendah. Saya drop out dari Taman Madya (SMU). Ketika hendak ujian penghabisan saya memutuskan untuk tidak melakukannya karena terpengaruh oleh berita-berita tentang bahan ujian yang bocor yang saya baca dalam surat kabar,” tulis Pak Ajip.
“Menurut berita-berita itu orang mengeluarkan uang untuk menyogok pejabat yang bersangkutan agar bisa memperoleh bahan ujian sebelum waktunya, sehingga dia tidak akan menghadapi kesulitan pada waktu ujian,” pungkas Pak Ajip. Sebuah pilihan yang “ajaib”.
Sebagai kompensasi karena tidak melanjutkan sekolah formal, Pak Ajip memiliki tekad untuk membaca banyak buku. Meski tidak sekolah, Pak Ajip berkeinginan kuat untuk memiliki pengetahuan dan bacaan yang tidak kalah dari orang yang bersekolah. Suatu tekad kuat yang akhirnya terbayar.
Kedekatan Pak Ajip dengan buku dikisahkan olehnya di buku Bukuku Kakiku. Buku ini pernah kubaca hasil meminjam dari teman kosku dulu. Buku menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam hidup Pak Ajip.
Hidup dan karirnya dalam dunia tulis-menulis, sangat bergantung dengan buku. Buku menjadi mata dan kakinya dalam melihat dan melangkah selama 82 tahun hidupnya.
“Segala peristiwa yang berlalu, niscaya merekam namamu,” begitu kata salah satu bait sajakmu, Pak Ajip. Tulisan ini bagian dari upayaku mengingat namamu. Selamat jalan, Pak Ajip!