Mereka berdua sarapan. Sesekali obrolan kecil mewarnai. Sebelum nasi tandas di piringnya, Aisyah bertanya: Kopi tanpa gula itu untuk apa pak?
“Di dunia ini, ada satu hal yang tak bisa diukur. Apa itu? Kebahagiaan. Secanggih apapun alat, sehebat apapun orang yang membuatnya, kebahagiaan menjadi sesuatu yang rumit sekaligus mudah. Rumit karena memang tak semua orang menyadarinya dan mudah bagi mereka yang memahaminya.
Tuhan menebarkan kebahagiaan dalam balutan kasih sayang-Nya. Semua makhluk menerimanya. Tak peduli bagaimana ia menjalani hidupnya.
Banyak orang kufur nikmat. Padahal sesungguhnya nikmat yang diterima sudah sesuai takarnya. Sehat, selamat dan sempat ialah segelintir nikmat yang seringkali tak kita sadari. Lebih banyak kita menggerutu saat ujian dan cobaan menghampiri.
Padahal, jika kita mau sedikit saja meluangkan waktu untuk merenungi segalanya, nikmat itu tak ada batasnya. Kesehatan, keselamatan, dan kesempatan bisa jadi menjadi barometer kebahagiaan. Tapi, apa ini saklek? Tentu tidak.
Bagi orang kaya mungkin saja memiliki harta berlimpah, istri yang cantik atau suami yang tampan, anak-anak yang lucu, pekerjaan tetap gaji mantap bagian kecil dari kebahagiaan. Namun, belum tentu ini berlaku bagi mereka yang ekonominya menengah ke bawah. Tinggal dalam rumah reyot berlantai tanah, harta yang tak pernah bisa disimpan dalam waktu lama, pekerjaan serabutan dan gaji awut-awutan, asalkan hari ini dia dan keluarga bisa makan, kebahagiaan sudah mereka dapatkan.
Tak ada yang bisa menjamin kebahagiaan kecuali dirinya sendiri merasa cukup atas apa yang ia butuhkan. Kebutuhan memang berbeda dengan keinginan. Kebutuhan selalu memiliki nilai, sedangkan keinginan seringkali mengaburkan nilai itu sendiri.
Apa itu bahagia? Bagaimana rumusnya? Kenali dirimu, kenali Tuhanmu. Kebahagiaan akan datang menemanimu.”
Terima kasih, sampai jumpa esok pagi dalam program Lentera Pagi.
Di ujung sana, suara teduh lelaki mengakhiri program siraman rohani. Ya, tiap pagi radio kecil yang terletak di meja selalu menemani Aisyah memasak. Pagi ini ia sendirian. Bapaknya sudah beranjak ke sawah selepas ngaji.
Aisyah termenung. Ia membayangkan betapa bahagia dirinya masih memiliki bapak. Betapa bahagianya ia masih memiliki tempat tinggal. Betapa bahagianya ia masih memiliki segalanya. Segala hal yang tak mungkin salah ia terima.
Udara gratis yang ia hirup setiap hari. Embun pagi yang masih bisa ia nikmati merupakan kebahagiaan yang tidak semua orang bisa mendapatkannya. Apalagi di desa, embun, kabut dan udara yang masih asri menyelimuti.
Suara nyaring memekik terdengar dari panci. Tanda air telah mendidih. Ia mengambil air itu dan menuangkannya dalam gelas. Dua gelas kopi telah dibuat. Satu untuk dirinya dan satu untuk bapaknya.
“Jangan lupa, sisa gula di toples dan dua gelas bawa ke sawah” begitu pesan bapaknya sebelum keluar rumah. Kopi memang dibuat Aisyah, namun kopi itu hanya terdiri dari bubuk kopi dan air mendidih. Tanpa gula sedikit pun.
“Bapak ini aneh-aneh. Buat kopi kok gak ada gulanya sama sekali” katanya sembari mengaduk kopi.
Ia sudah selesai memasak dan membuat kopi pesanan bapaknya. Aisyah siap menuju ke sawah.
Di keranjang sepeda, satu tas berisi rantang sarapan, sebotol kopi dan dua gelas kaca ia bawa. Ia kayuh sepeda menuju sawah.
Saat melewati gubuk, seseorang memanggilnya
“Aisyah!”
Aisyah menengok ke kanan. Di seberang jalan duduk lelaki muda. Ia melambaikan tangan.
“Salam ke bapakmu, ya!” teriaknya lagi.
“Inggih mas” Aisyah tersenyum dan terus mengayuh sepeda.
Sudah lima hari semenjak pertemuan dengan karang taruna desa, Aisyah tak melihat wajah ceria lelaki itu. Kata-kata yang lembut dalam setiap nasihat seperti garam yang jatuh dalam air. Mudah dicerna dan diterima.
Pada waktu tertentu, suara itu berputar ulang. Aisyah tersenyum. Ah, dia memikirkan Ali lagi.
Aisyah sudah sampai di sawah. Seperti biasa, rantang sarapan akan ditaruh di gubuk kecil pojok sawahnya. Bapak menghentikan pekerjaan. Ia mencuci tangan dan kakinya di sumur.
“Jam berapa sekarang?” tanya bapak ketika sampai di gubuk.
“Setengah tujuh, Pak” jawab Aisyah.
Rantang makanan dibuka. Nasi sambal dan tahu goreng tersedia. Memang, pagi ini Aisyah memasak tahu. Selain tempe penyet, bapaknya menyukai tahu goreng.
“Ais sudah sarapan?” tanya Bapak.
“Belum, Pak”
“Ayo sarapan sama bapak!” Ajak bapak sambil menyodorkan sepiring nasi.
Aisyah hanya membawa satu piring. Ia berniat untuk sarapan di rumah sepulang mengantar sarapan. Tapi pagi ini, bapaknya meminta ia makan di sawah, menemaninya.
Aisyah menerima sepiring nasi. Sedangkan bapaknya makan di tutup rantang beralaskan daun pisang. Sebenarnya Aisyah ingin makan di tutup rantang itu. Tapi bapaknya memaksa Aisyah untuk makan di piring.
Ia meletakkan piring. Mengambil sesendok sambal dan menaruhnya di atas nasi bapak. Dua gorengan tahu tak lupa ia taruh juga. Sedangkan satu tahu lagi untuk dirinya sendiri.
“Jangan lupa berdoa” bapaknya mengingatkan.
Aisyah hampir saja memasukkan sesuap nasi ke mulutnya tanpa didahului berdoa. Untung saja bapaknya mengingatkan. Kalau tidak, bisa jadi sesuap nasi pertama itu bukan termasuk rezekinya dan tak bernilai bagi tubuhnya.
“Hehe inggih bapak”
Mereka berdua sarapan. Sesekali obrolan kecil mewarnai. Sebelum nasi tandas di piringnya, Aisyah bertanya,
“Kopi tanpa gula itu untuk apa pak?”
“Untuk diminum, Nak” ujar bapaknya sambil menutup rantang. Bapak sudah selesai makan. Ia menuju sumur untuk mencuci tangan. Aisyah mengikutinya.
“Cuci tangan dulu. Nanti kita minum kopinya bersama”
Mereka mencuci tangan dan kembali ke gubuk. Tak lupa keduanya minum air putih yang dibawa bapaknya.
Bapak meminta Aisyah menaruh gelas dan toples gula di hadapan mereka.
“Sekarang tuang kopi tadi ke masing-masing gelas”
Aisyah menuangkannya.
“Ambillah sesendok gula di toples itu dan tuangkan ke gelas kopimu. Aduk dan minumlah Nak” Katanya sembari memberikan sendok.
Aisyah menerima sendok dari bapaknya. Ia mengambil gula, menuangnya dan mengaduk. Kemudian dia meminumnya. Matanya sedikit memejam.
“Bagaimana rasanya?” tanya Bapak.
“Pahit, pak” jawabnya sambil menaruh gelas itu. Mulutnya mengecap berkali-kali. Sungguh sesendok gula itu tak mampu membuat kopi terasa manis.
“Sekarang ambil sesendok gula dan tuangkan lagi. Aduk dan minumlah”
Aisyah melakukannya.
“Manisnya mulai terasa, pak”
“Sekarang tambah sesendok lagi. Bagaimana rasanya?”
Aisyah menambahkan sesendok gula lagi di kopinya.
Tiga gula sudah tercampur di kopi hangatnya.
“Rasanya pas. Ada pahitnya. Ada manisnya” Ia tersenyum. Mengecap berkali-kali menikmati kopinya.
“Sekarang tambah lagi satu sendok gula dan minumlah!”
Alis mata Aisyah bertaut. Bapaknya mengangguk.
“Pahitnya kerasa sedikit, tapi kopinya jadi manis pak”
“Tambah lagi dua sendok. Aduk dan minumlah!”
“Terlalu manis pak. Pahitnya hilang. Lebih enak rasanya ketika manis dan pahitnya sama-sama terasa”
Bapak tersenyum. “Kamu tahu mengapa bapak memintamu melakukan itu? Bayangkan kenikmatan dalam hidup, kopi itu orang miskin dan gula itu orang kaya”
Sejenak Aisyah terdiam. Ia mendongak ke langit-langit gubuk.
“Aisyah mengerti. Ibarat wedang kopi, kenikmatan hidup yang pas ialah saat kita bisa menyeimbangkan kopi dan gula. Membuat hidup ini sederhana dan berwarna dengan bergandeng bersama tanpa memandang miskin atau kaya” ia menganggukkan kepala berkali-kali.
“Sekarang tuangkan kopimu dan kopi bapak ke botol. Jadikan satu dan tuangkan kembali ke gelas seperti semula dan mari kita minum bersama”
Aisyah mencampurkan kedua kopi dan menuangkan kembali ke gelas.
“Bagaimana rasanya, Ais?” Bapaknya bertanya lagi.
“Sungguh sangat nikmat, Pak” jawabnya berbinar-binar. Bahkan ia minum hingga separuh gelas.
“Begitulah yang akan kita rasakan, Nak. Kalau nanti kamu jadi kaya. Berbagilah dengan mereka yang tak punya. Ada hak mereka dalam hartamu. Sucikanlah melalui zakat, infaq dan sedekah. Jikalau pun kamu bukan orang kaya, tetaplah berbagi dan kebahagiaan akan merangkulmu”
Bapaknya benar. Kebahagiaan sejatinya sederhana. Bisa berbagai dengan yang membutuhkan mendatangkan kebahagiaan. Sesedarhana itu mengulik bahagia.
“Habiskanlah, Nak. Dan kamu bisa pulang”
Keduanya selesai meminum kopi. Aisyah membereskan rantang dan kopi. Ia memasukkannya ke tas.
“Terima kasih wejangannya, Pak. Ais akan ingat terus dan lakukan. Assalamualaikum”
Aisyah mencium punggung tangan yang mengkilat terkena sinar matahari.
“Wa’alaikumussalam. Hati-hati, Nak” Ucap Bapak sambil mengelus kepala putrinya.
Aisyah memunggungi Bapak dan menuju ke sepeda. Sekali lagi, ia pulang membawa pelajaran hidup berharga dari bapaknya.
Menuju Rumah, 20 Juni 2020