Telaah ilmiah dan empiris tentang Bengawan Sore, bukti penting peradaban yang sering didongengkan.
“Dahulu Candrabhaga digali oleh raja segala raja, Guru (ayah Raja) yang bersenjata kuat setelah mencapai kota terkenal itu, untuk pergi menuju ke laut. Pada tahun kedua puluh dua pengangkatannya, pemerintahan Purnawarman – termasyhur yang bersinar dengan kemakmuran dan kebajikan, panji para pemimpin manusia – telah menggali sungai menawan dengan air murni Gomati, dengan panjang enam ribu, seratus dua puluh dua busur (dhanu), setelah memulainya di hari lunar kedelapan dari paruh gelap (bulan) Phalguna dan menyelesaikannya pada bulan ketiga belas lunar hari (bulan) Caitra. (Sungai itu) yang telah membelah tempat tinggal Leluhur dan para Brahmana Kerajaan, kini mengalir deras, setelah diberkahi oleh para Brahmana dengan memberikan (berderma) seribu ternak.”
Paragraf di atas adalah terjemahan dari epigrafi atau prasasti Tugu, Jakarta Utara. Untuk diketahui bahwa naskah dalam prasasti Yupa, era Mulawarman di Kutai, secara paleografi lebih kuno dibandingkan dengan yang digunakan dalam catatan epigrafi Jawa Barat, Purnawarman. Sehingga jika menganggap prasasti Yupa berasal dari sekitar awal abad kelima, maka perkiraan tanggal prasasti Tugu, Raja Purnawarman, ada di pertengahan abad kelima.
Belum dapat dipastikan apakah kata Gomati yang terdapat pada baris keempat prasasti Tugu, diambil sebagai nama lain sungai atau hanya sebagai kata sifat yang berarti “kaya akan ternak”. Tetapi perlu diingat bahwa nama Gomati, diterapkan pada dua sungai di India, yang satu sebagai Gomal, anak sungai Indus, dan disebutkan dalam Nadistuti atau “Pujian Sungai”, nyanyian Regweda yang terkenal itu. Dan Gomati yang lain, merupakan anak sungai Sungai Gangga, berulang kali disebutkan dalam Epos dan Purana India.
Dalam epos Ramayana dikisahkan bahwa Rama ditemani Sita dan Lakshmana, setelah meninggalkan Ayodhya dalam perjalanan menuju hutan belantara, tiba pertama kali di sungai Tamasa, tempat mereka bermalam. Pada hari kedua pengasingan itu, sebelum fajar, mereka berangkat menyeberangi sungai Wedasruti dan Gomati dan melanjutkan perjalanannya ke selatan, mereka akhirnya sampai di tepi sungai Gangga. Sungai Gomati yang disebutkan dalam epos ini sekarang dikenal sebagai sungai Gomti, sungai berukuran kecil, yang mengantarkan kota multikultural Lucknow, disisi kanan alirannya, menjadi kota Shiraz Al-Hindi atau kota Konstantinopelnya India.
Walmiki telah menulis epos Ramayana itu beratus tahun sebelum Masehi, sehingga dapat diasumsikan dengan agak pasti bahwa, bahwa ketika Rakawi prasasti Tugu berbicara tentang Candrabhaga, yang ia maksud tentang sungai ini bukanlah sungai Gangga di Panjabi, India, melainkan suatu aliran sungai terbesar setempat yang dianggap suci, mungkin sungai Ciliwung atau Citarum.
Kata-kata dalam teks prasasti Tugu sebenarnya tidak jelas, sehingga hanya dapat menduga maksud dari prasasti tersebut. Pertama-tama dapat ditunjukkan bahwa teks prasasti ini memuat dua kali kata khata yang merupakan bentuk lampau dari kata dasar khan yang berarti “menggali”. Seperti sebuah prinsip penambahan akhiran -a yang menandakan sifat feminin, yang ternyata mengacu pada sungai, dapat disimpulkan bahwa prasasti tersebut dimaksudkan untuk mencatat beberapa pekerjaan penting, yang kemungkinan besar memang dimaksudkan untuk mengatur dan memelihara aliran sungai.

Kesimpulan ini menjadi semakin logis jika kita memperhitungkan pekerjaan yang dimaksud itu dilakukan pada bulan Palguna dan Caitra, kira-kira bertepatan dengan bulan Maret, ketika melihat fakta bahwa di wilayah Jawa, curah hujan paling lebat terjadi pada bulan Januari dan Februari, atau periode banjir yang ditakuti, cukup masuk akal bahwa upaya untuk mengatur sungai diperlukan penanganan yang segera karena banjir.
Selain itu di antara prasasti-prasasti Jawa periode selanjutnya, ada beberapa prasasti yang berkaitan dengan proyek rekayasa yang dilakukan untuk drainase sungai besar. Biasanya prasasti semacam ini mencatat pembangunan tanggul yang dimaksudkan untuk memecah aliran sungai yang deras, atau untuk menyimpang arus ke saluran baru.
Pertama-tama yang dapat disebutkan adalah prasasti Sukabumi, Kediri, tanggal 11 menjelang purnama di bulan Caitra tahun 709 Saka, yang mencatat pembangunan saluran irigasi di sebelah barat laut gunung Kelud bernama Harinjing. Saluran Harinjing ini dibangun oleh Bhagawanta Bari dengan persetujuan Pameget Panggumulan dan Parttayan Kamalagyan, dan kanal ini begitu istimewa sehingga dalam satu batu prasasti itu ditulis berulang di empat sisinya, saluran ini selama berabad-abad dijaga dan dilestarikan prasastinya sampai paling tidak 842 Saka. Kemudian prasasti Wulig yang ditemukan di desa Bakalan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, bertanggal tahun 856 Saka, mencatat pembangunan satu atau lebih tanggul saluran (dawuhan) untuk mengatur aliran sungai.
Sekitar satu abad kemudian, terdapat prasasti lempengan Kelagen, Krian Sidoarjo, bertuliskan aksara Jawa kuno dua puluh tiga baris, menggambarkan bencana banjir sungai Brantas yang pernah terjadi, dan perlunya penanganan negara karena menyebabkan banyak kerusakan. Oleh karena itu, Raja Erlangga, penguasa Jawa yang masyur, memperbarui sistem irigasi di tanah Kamalagyan berupa tanggul di Waringin Sapta (atau Warining Sapta) dan ditetapkan tepat bulan purnama tahun 959 Saka.
Beberapa waktu kemudian, kira-kira tahun 982 Saka, terdapat prasasti Jawa kuno lainnya lempengan batu yang berasal dari sekitaran Surabaya. Dalam prasasti yang pasti milik salah satu penerus Erlangga ini, terbaca informasi tentang aliran air yang dibuat oleh almarhum Raja, yang dalam teks itu disebut sebagai Bhatara Guru, “mendiang Yang Mulia”, dan kemungkinan besar adalah Erlangga.
Terkait Prasasti Tugu, yang tercatat bukan pekerjaan pembangunan bendungan, melainkan penggalian kanal, dengan jarak 6.122 busur (dhanu). Jika satu dhanu sama dengan enam kaki, jarak yang disebutkan dalam prasasti akan mencapai 36.732 kaki. Sehingga 6.122 dhanu akan setara 7 mil atau 11,2 kilometer.
Bagaimanapun, kanal sepanjang itu tidak akan selesai dikerjakan dalam waktu tiga minggu, sehingga muncul asumsi bahwa saluran yang dipuja dalam prasasti Tugu merupakan saluran air dengan kedalaman dan lebar yang kecil, bahwa saluran yang digali atas perintah Purnawarman tersebut tidak dimaksudkan untuk jalur navigasi, tetapi hanya berfungsi sebagai bentuk pengurang sebagian arus sungai utama.
Bahwa dulu, di abad 5 Masehi, sungai bernama Candrabhaga itu dijaga aliran airnya melalui sebuah anak sungai (saluran kanal) baru bernama Bomati. Kanal tersebut nampak berfungsi sebagai jalan keluar menuju ke laut ketika laut sedang pasang (bulan purnama), dan mengalir di dekat keraton Tarumanegara, ujung barat pulau Jawa.
Sementara di abad 11 Masehi, bendungan Waringin Sapta – yang dapat berarti sebagai wari nin sapta atau aliran air (bulan) ketujuh – dibangun untuk keperluan penanganan banjir yang melanda sungai Brantas di bulan Palguna, sehingga perahu-perahu yang bernavigasi dari laut bisa beroperasi dengan baik, sekaligus menjaga lahan para petani dari aliran banjir yang merusaknya. Bendungan Waringin Sapta memastikan layaknya jalur navigasi yang melintas pusat istana kerajaan Hujung Galuh di ujung Timur Jawa.
Sungai atau tanggul baru yang dikerjakan di dua ujung pulau Jawa oleh Purnawarman dan Erlangga itu nampak berfungsi ganda, yang pertama sebagai pengendali banjir di musim tertentu pada lahan-lahan petani dan yang kedua sebagai jalur navigasi dari laut terlebih disaat pasang purnama. Kaidah ini setidaknya menjadi titik terang bagaimana sungai Harinjing di masa keemasan Medang (Jawa Tengah) dibangun, yang mana pembangunan itu harus atas persetujuan otoritas navigasi sungai (Pameget) Panggumulan dan otoritas lahan tani (Parttayan) Kamalagyan.
Sebagaimana telah disebutkan oleh para peziarah Cina, Ma-huan di abad 5, sampai dengan penjelajah Arab, Ibnu Batutah dan Mas’udi di abad 11, Jawa terkenal dengan banyaknya aliran air, tak ada pulau di Nusantara yang melebihi Jawa, tentang jumlah aliran sungainya. Tarumanegara mengawali pengaturan aliran air sungai di bagian barat pulau dengan terlebih dahulu memuliakan sungai Candrabhaga laksana Gangga di Epos Ramayana India.
Kahuripan menyusul enam abad kemudian, di bagian timur pulau, mengelola air sungai dengan bendungan-bendungan yang terpelihara teratur, untuk kepentingan pelabuhan internasionalnya tak jauh dari Hujung Galuh. Sementara di Jawa tengah, tepat diantara kerajaan Kahuripan yang kemudian telah terbagi dua, Lwaram, yang disebut pada prasasti Pucangan, sampai sekarang masih dijumpai jejak-jejak sebuah nadi (sungai) buatan manusia, yang dalam Babad Tanah Jawi disebut sebagai “Bengawan Sore”. Tetapi bukti lapangan ini tidak jelas lagi dan bahkan kabur karena semakin termakan usia.

Lwaram yang paling dekat dengan Bengawan Sore menjadi satu dari sedikit bukti dari literatur tentang apa yang terjadi di abad pertengahan (sezaman Erlangga) tentang Sungai terpanjang di Jawa dan berhulu sekitaran Lawu ini. Sungguh aneh bahwa rekam jejak sungai terbesar dan terpanjang – dibandingkan dengan Citarum dan Sungai Brantas – yang telah mengantarkan berdirinya Kahuripan dan kemajuan Jenggala, sangat langka ditemui prasasti dibanding dengan apa yang terjadi di Kediri.
Hal ini bahkan terjadi sebelumnya, di era Medang, kerajaan ini hanya sering dihubungkan dengan keberadaan Opak dan Praga. Literatur termuda Kartasura abad 19 mengabarkan bahwa Jipang runtuh bersamaan dengan luruhnya Bengawan Sore, yang kadangkala disebut sebagai Bengawan Caket, dan jelas hanya menunjukkan tempat keperkasaan Tombak Pleret.
Dari sedikitnya jejak itu dan mencoba mengaitkannya dengan pengelolaan sungai yang sezaman, setidaknya akan menjawab beberapa teka-teki terkait Bengawan Sore. Bahwa Bengawan Sore dibangun untuk membelah aliran Bengawan Solo, berfungsi untuk mencegah kelebihan volume air akibat banjir dari arah hulu yang bergabung dengan aliran sungapan sungai Tinggang. Bengawan Sore sangat berguna bagi pasar-pasar terapung di atas banawi, dan menjaga lahan-lahan subur pertanian sekitar Lwaram dari banjir bulan ketujuh (Palguna). Panjang nadi (kanal / sungai) ini, yang sekarang dapat diukur dari dusun Nglingga (Ngloram) hingga dusun Juga berkisar antara 1,5 Km dan lebar kira-kira 25m, dikerjakan tak jauh dari masa pembangunan Waringin Sapta.
Keberadaannya seakan membentuk pulau kecil independen yang mengapung di tengah aliran Bengawan, yang kelak bernama Jipang. Pulau ini seperti “Nusakambangan” yang dikelilingi perahu-perahu dagang yang juga terapung, tanahnya yang subur agaknya memang sedari awal diperuntukkan bagi para Brahmana – meminjam istilah dari prasasti Harinjing dan Kelagen – menjadi tanah Thani Grama Sima Kabikuan yang dikelola dan dimuliakan dalam naungan dua orang sekaligus; Pameget Panggumulan dan Parttayan Kamalagyan. Bengawan Sore mungkin ditulis oleh pujangga Babad Tanah Jawi tanpa pernah melihat keberadaannya, mungkin benar bahwa nadi ini rusak karena tidak lagi terawat setelah Jipang dikuasai Mataram, dan ini terjadi sejak akhir abad 16 Masehi.