Betapa kami dibesarkan untuk lebih takut pada najis daripada dosa
Ada satu kalimat menarik yang saya dapatkan dari media sosial beberapa tahun lalu. Kalimat tersebut kira-kira berbunyi seperti ini, “jika menjadi relijius membuatmi cepat marah, maka periksalah siapa yang kamu sembah? Tuhan atau egomu?”
Kalimat ini, setidaknya menampar kita yang seringkali naik pitam mengenai hal-hal berbau agama.
Saya tidak ingin menyebutkan deretan kasus di mana orang menjadi korban dari pasal karet tentang penistaan agama.
Tentu sudah banyak korbannya, yang membuat saya kadang bertanya-tanya apa yang membuat kita sedemikian buta? Padahal Tuhan yang kami sembah sesungguhnya maha pemurah, dan agama yang kami anut ada sebagai penerang dari kegelapan. Lantas apa yang salah? Rasa insecure di dalam keimanan.
Saya tumbuh dalam lingkungan yang relijius. Waktu kecil, saban sore saya dan teman-teman mengaji di TPQ, lantas pulangnya kami menyempatkan diri melempari anjing tetang dengan kerikil. Tentu anjing tersebut menyalak dan membuat kami lari ketakutan.
Jika sudah begitu, orang-orang dewasa akan menegur kami seperti ini, “Hayo! Kalau digigit jadi najis lho.”
Belakangan ketika saya dewasa, saya baru sadar betapa kami dibesarkan untuk lebih takut pada najis daripada dosa. Najis bisa disucikan, tapi dosa menyiksa binatang tidak.
Untuk itu penyiksaan terhadap anjing, yang sering diidentikkan membawa najis, terus terjadi. Tapi, pernahkah kita bertanya pada diri kita sendiri, apa pernah anjing meminta dirinya diciptakan sebagai binatang yang di-najis-kan?
Tidak ada yang bisa memilih untuk dilahirkan sebagai apa dan dalam wujud apa. Begitu juga anjing dan babi, dan banyak hal lainnya yang dilekatkan dengan najis dan label haram. Itu semua hak prerogatif Tuhan.
Ada kisah menarik yang pernah saya dengar dari ustad saya ketika remaja. Yakni cerita tentang pelacur yang masuk surga karena memberi minum anjing yang kehausan. Ia menimba air dan menaruhnya di sepatunya.
Saya tidak tahu kebenaran dari cerita itu, tapi maksudnya bisa saya terima dengan baik. Saya harap kisah yang pernah saya dengar tersebut juga di dengar oleh teman-teman sekalian.
Setidaknya bisa memberi gambaran wajah santun islam dan laku adil bagi seluruh makhluk di muka bumi ini.
Saya tidak hafal banyak hadist atau ayat Qur’an yang bisa saya kutip di sini, tapi saya rasa itu tidak mengurangi keislaman saya.
Beragama dibuktikan dengan laku yang beradab, dengan laku yang manusiawi, yang memanusiakan manusia lainnya, dan merawat semesta dengan cinta. Semoga kita tidak salah dalam menyembah.