Jurnaba
Jurnaba
No Result
View All Result
Jurnaba
Home Cecurhatan

Menyikapi Pertanyaan Kapan Nikah Secara Elegan

Chusnul Chotimmah by Chusnul Chotimmah
May 24, 2019
in Cecurhatan
Menyikapi Pertanyaan Kapan Nikah Secara Elegan
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan Ke WA

“Lebaran sebentar lagi..” penggalan lirik lagu yang sangat familiar dengan telinga kita bukan? Lagu ciptaan Taufik Ismail yang dinyanyikan Bimbo itu seolah menandakan kita harus bersiap menyambut lebaran. Jika awal puasa disambut dengan tradisi megengan, maka lebaran disambut dengan berbagai hal yang jauh lebih banyak, dan kompleks tentu saja.

Selain perbaikan rumah, persiapan kue dan juga baju lebaran, hal lumrah yang harus disiapkan oleh muda-mudi lajang adalah sebuah jawaban (bilang aja alasan). Jawaban dari pertanyaan “perihal kapan”.

Pertanyaan “Kapan menikah?” adalah kalimat yang sangat tajam. Apalagi jika teman-teman sudah mengakhiri status lajangnya itu di malam ke 29 atau malam songo.

Parahnya, teman-temanmu yang baru saja melepas masa lajangnya itu turut menambah chaos situasi politik jiwa raga. Memperparah serangan pertanyaan para tetangga dan kerabat sanak famili yang datang ke rumah.

Teman kita itu akan dengan bangga gegap gempita memamerkan status barunya dengan mengajukan pertanyaan yang sama padamu soal “kapan”? Seperti bangganya seorang koboy sambil meniup ujung pistolnya sesaat setelah memenangkan duel adu tembak.

Sebetulnya, mudah menjawab pertanyaan semacam itu. Kamu bisa memilih jawaban seperti Agus Ringgo di dalam sebuah iklan, “May…may be yes, may be no.” Tapi jawaban seperti itu terlalu basi. Dan mungkin sebagian kamu nggak tahu iklan itu. Wkwkwk. Lawasss tenan~

Ternyata setiap kita punya strategi sendiri untuk merespon sebuah pertanyaan yang gampang-gampang-susah itu. Strategi yang lebih kontekstual, akurat, manjur, nan mujarab. Bak obat ala Tabib Badawi Al Nasar.

Hayu Wuryani misalnya. Karyawati sebuah Bank ini kerap kali menerima berondongan pertanyaan perihal menikah. Dia selalu menjawab, “bulan tujuh.” Ketika bulan tujuh sudah lewat dan orang-orang masih ribut mempertanyakan. Maka Hayu dengan santai kembali menjawab, “Monmaap sodara, tahunnya belum ditentukan. Yang penting udah nyicil bulan.”

Tentu jawaban tersebut memancing gelak tawa dan rasa gemas bagi penanya. Bisa jadi dibalas: “Sa ae.. bungkus rengginang!”

Berbeda dengan Hayu, Nur Fadilatis Saadah, seorang penyair asal Bojonegoro, punya cara lain untuk menanggapi pertanyaan “perihal kapan” ini. Perempuan yang akrab disapa Itis tersebut akan dengan senang hati meluangkan waktu untuk berdiskusi perihal pernikahan.

Baginya, pernikahan bukan hal sepele dan main-main, butuh keseriusan, kemantapan, dan juga kemapanan.
Obrolan basa-basi hanya akan menjadi obrolan permukaan, pemanis bibir yang membuat hati sejujurnya getir.

Kata dia, jawaban panjang nan serius adalah kunci untuk membuat penanya menjadi bosan dengan jawaban yang diberikan. Menurut pengalamannya, pemilik pertanyaan akan malas untuk kembali mengajukan pertanyaan yang sama. Hihi

Itis menuturkan, untuk membuat obrolan tampak serius, dia mengawali jawaban dengan kalimat, “jangan tiba-tiba nanya kapan dong, Fren. Tanya dulu apa dan mengapa? Biar mirip penelitian skripsi begitu.”

Muncul pertanyaan, apakah kebiasaan bertanya kapan nikah ini adalah tradisi buruk?

Menurut Astrid Wen, psikolog anak dan keluarga, serta theraplay practitioner dari Pion Clinician, kebiasaan orang Indonesia untuk tanya “Kapan nikah?” ada hubungannya dengan budaya kekeluargaan orang Indonesia.

“Jadi, semua orang ikut ngurusin saat ada satu orang belum menikah di usia yang cocok untuk menikah,” ujar Astrid, seperti dikutip Kompas.com.

Astrid mengatakan, di sisi lain, pertanyaan ini juga sering dilontarkan hanya untuk basa-basi. Sehingga, dia menyarankan agar kita santai saja saat menyikapi pertanyaan ini. Misalnya dijawab dengan senyuman.

Nah, lain halnya jika budaya bertanya “perihal kapan” ini tak sekadar basa-basi. Namun ungkapan superioritas sang empunya pertanyaan. Seperti tergambat dalam social comparison theory.

Teori ini menjelaskan bahwa harga diri (self-esteem) seseorang terbentuk ketika membandingkan diri dengan orang lain ini.

Harga diri rendah terbentuk ketika orang yang dibandingkan kondisinya lebih baik (upward comparison), sedangkan harga diri tinggi terbentuk saat orang yang dibandingkan dianggap lebih buruk (downward comparison).

“Orang-orang yang suka menjelekkan orang lain dengan nanya rese atau kepo, sebenarnya melakukannya agar merasa nasib mereka lebih baik (sehingga harga diri mereka meningkat),” ujar Rizqy Amelia Zein, asisten dosen Social and Personality Psychology dari Universitas Airlangga yang dimuat Kompas.com dalam artikel yang sama.

Tradisi yang sangat buruk bukan? Bertanya hanya untuk menyerang. Padahal itu momentum suci, hari yang fitri. Hari untuk saling memaafkan.

Wahai karib kerabat yang budiman, teman sejati yang tak lajang lagi, jika sesungguhnya pertanyaan diniatkan untuk membuka obrolan dan menyambung silaturahmi, tidak perlu lah Anda membuat risau para pejuang jodoh. Para lajang yang masih tetap bahagia meski sendiri. Terlebih pertanyaan tersebut hanya ditujukan untuk basa-basi semata. Aduh, jangan dong.

Bisa jadi kalian belum, atau bahkan mungkin tidak tahu pandangan orang lain tentang pernikahan, kesulitan-kesulitan yang dia hadapi dalam sebuah relasi, atau mungkin tantangan-tantangan yang dilaluinya untuk membangun relasi itu sendiri.

Di negara yang cukup menggilai bola ini, kalian bisa saja membicarakan bola untuk membangun komunikasi yang baik, atau membicarakan film Aladin yang baru saja tayang di bioskop.

Jika toh tidak bersatu dalam kedua hal tersebut, baik bola maupun film, tanyakan saja resep kue lebaran yang disajikan di meja atau beli di mana kue tersebut.

Atau, jika toh kamu sendiri masih jomblo dan berkeinginan untuk menikah, kenapa tidak tanyakan kabar orangtua si dia di rumah? Titipkan salam keselamatan dan kesehatan.

Siapa tahu, lebaran tahun depan, orang tua kalian bisa besanan. Hehe

Tags: Kapan MenikahLebaran

BERITA MENARIK LAINNYA

Problematika Petani di Era Pandemi
Cecurhatan

Problematika Petani di Era Pandemi

January 19, 2021
Menakar Logika dalam Penangkapan Warga yang Melangsungkan Hajatan di Tengah Covid-19
Cecurhatan

Menakar Logika dalam Penangkapan Warga yang Melangsungkan Hajatan di Tengah Covid-19

January 17, 2021
Sisi Lain Obrakan: Pancasila, Indonesia Raya, dan Orang Amerika
Cecurhatan

Sisi Lain Obrakan: Pancasila, Indonesia Raya, dan Orang Amerika

January 15, 2021

REKOMENDASI

Penemuan Gunung Vulkanik dan Potensi Mencairnya Ratusan Gunung Es Raksasa

Penemuan Gunung Vulkanik dan Potensi Mencairnya Ratusan Gunung Es Raksasa

January 21, 2021
Peduli Banjir Kalimantan Selatan, Asschol Kalsel Satukan Tekad Bantu Sesama

Peduli Banjir Kalimantan Selatan, Asschol Kalsel Satukan Tekad Bantu Sesama

January 20, 2021
Egoisme Psikologis dan Kisah Abraham Lincoln

Egoisme Psikologis dan Kisah Abraham Lincoln

January 20, 2021
Problematika Petani di Era Pandemi

Problematika Petani di Era Pandemi

January 19, 2021
Sainsiklopedia: Saat Pustaka Bergerak Menuju Istanbul Bienal Turki dan Fakta Menarik Tentangnya (1)

Sainsiklopedia: Saat Pustaka Bergerak Menuju Istanbul Bienal Turki dan Fakta Menarik Tentangnya (1)

January 18, 2021
Melihat Sistem Pendidikan Bojonegoro di Awal Abad ke-20

Melihat Sistem Pendidikan Bojonegoro di Awal Abad ke-20

January 18, 2021

Tentang Jurnaba - Kontak - Squad - Aturan Privasi - Kirim Konten
© Jurnaba.co All Rights Reserved

No Result
View All Result
  • HOME
  • PERISTIWA
  • KULTURA
  • DESTINASI
  • FIGUR
  • CECURHATAN
  • ALTERTAINMENT
  • FIKSI AKHIR PEKAN
  • SAINSKLOPEDIA
  • TENTANG
  • KONTAK

© Jurnaba.co All Rights Reserved