Hamparan sawah terlihat kuning keemasan. Didukung sinar matahari yang memendar. Menari-nari tersibak angin. Bukti bahwa usia padi memasuki waktu terbaik untuk dipanen. Pagi ini (22/3/2019), Desa Mojodeso, Kecamatan Kapas, Bojonegoro, panen padi organik.
Seperti yang kita semua ketahui, Bojonegoro merupakan daerah dengan julukan lumbung pangan. Ini menandakan bahwa lahan pertanian Bojonegoro sangatlah produktif.
Sangat tepat jika Bojonegoro mempunyai tagline Produktif dan Energik. Satu sisi potensi alam yang produktif, sisi lain masyarakat memiliki energi untuk membangun daerah.
Meskipun begitu, hasil yang dicapai ini bukan tanpa usaha keras. Mulai musim tanam padi, petani berjihad agar hasil panen sesuai harapan. Misalnya, usaha menyiasati terbatasnya jenis pupuk tertentu.
Selain itu, petani juga berperang melawan serangan hama. Belum lagi perasaan khawatir anjloknya harga gabah dan beras saat panen.
Usaha keras tak akan pernah mengkhianati. Ya, memang begitu. Seorang petani tidak hanya menanam dan merawat padi hingga panen.
Mereka juga perlu memutar otak membangun strategi. Tentu saja demi panen dan hasil yang terbaik. Buktinya, petani Mojodeso mampu panen padi organik.
Sebagian lahan sawah Mojodeso sempat menggunakan pupuk organik. Lahan sawah diberi pupuk organik tanpa obat rumput. Bahkan, tanpa pupuk kimia dan pestisida kimia. Itu dilakukan sedari awal musim tanam.
“Saya melakukan uji coba penggunaan pupuk organik untuk padi jenis chiherang,” kata seorang perangkat Desa Mojodeso, Adib Nurdiyanto.
Adib mengaku banyak memperhatikan keluhan para petani. Mulai dari menjelang musim tanam hingga panen. Menurutnya, mungkin kendala tersebut yang menyebabkan generasi 4.0 enggan terjun ke dunia pertanian. Padahal, jika melihat Bojonegoro, pertanian merupakan potensi paling tinggi.
Mengolah potensi tidak bisa dilakukan sembarangan. Sumber daya manusia yang kreatif sangat dibutuhkan. Satu contoh kreativitas untuk menjawab tantangan di bidang pertanian adalah pupuk. Butuh terobosan baru terkait pupuk untuk pertanian padi.
Pemanfaatan limbah industri bisa menjadi solusi. Misalnya limbah industri tahu, kotoran ternak dan sisa olahan minyak dan gas bumi. Dari situ, warga Mojodeso tersebut mampu menciptakan pupuk yang bisa digunakan untuk pertanian organik.
“Dengan menggunakan pupuk ini, petani tidak lagi memerlukan obat rumput, pupuk kimia dan pestisida kimia,” kata Koordinator Produksi, Riyanto.
Menurut Pelaksana Teknis tim tersebut, Agus Suparmanto, menyatakan bahwa penggunaan pupuk tersebut mampu mempercepat masa panen. Selain itu, tanaman akan memiliki daya tahan lebih kuat. Kualitas padi akan meningkat karena terhindar dari serangan hama.
“Menggunakan pupuk ini masa panen lebih cepat dan tanaman pun memiliki daya tahan lebih kuat,” kata Agus.
Tim tersebut berharap bahwa petani harus mandiri dan memiliki manajemen yang baik. Dengan begitu, petani akan mampu meningkatkan kesejahteraan hidup.
Alasannya, harga jugal beras organik jauh lebih tinggi dibanding beras biasa. Itu belum termasuk kualitas beras sebagai makanan pokok yang dikonsumsi.
Hal tersebut akan menghilangkan kabut keraguan bagi generasi muda. Rasa ragu untuk bergelut di bidang pertanian akan menguap dan hilang entah ke mana.
Generasi muda adalah pilar ketahanan pangan nasional. Mereka lah motor penggerak pembangunan Bojonegoro sebagai Lumbung Pangan dan Lumbung Energi Indonesia.