Menjadi manusia bukan tanpa resiko. Sebagai makhluk yang dibekali akal dan bermacam kemampuan inderawi, manusia kerap berbuat salah. Sialnya, tak semua kesalahan itu disadari.
Dengan potensi berbuat salah yang cukup besar, manusia memiliki kemampuan gengsi di atas rata-rata untuk meminta maaf. Manusia tak seperti semut atau berang-berang yang bisa hidup apa adanya. Manusia memiliki kebutuhan untuk tidak terlihat bersalah.
Memaafkan, apalagi meminta maaf, menjadi perkara yang tidak sederhana. Terlebih, saat perasaan malu dan gengsi justru lebih dominan tersimpan di dalam hati dan kepala.
Sialnya, era digital memicu proses berbuat salah kian sangat mudah. Sebaliknya, proses meminta maaf sangat sulit. Bukan karena tidak bisa, tapi karena gengsi lebih memenuhi isi kepala.
Kita, mungkin pernah suatu hari mengabaikan pesan penting dari seseorang. Hanya karena pesan personal itu disampaikan melalui aplikasi cechatingan, dengan acuh tak acuh dan semena-mena, kita mengabaikannya.
Padahal, seseorang yang mengirim pesan secara personal (dan tidak melalui grup) itu, butuh cepat terkonfirmasi. Tentu, sikap pengabaian itu berbuntut mala yang tidak sederhana. Bahkan, memicu dendam pengabaian serupa.
Lebih sial dari itu semua, kita tidak pernah menyadari jika pengabaian itu berdampak mala yang luar biasa besar bagi orang lain. Saat kita baru menyadari kesalahan itu, alih-alih meminta maaf, kita justru sungkan dan berupaya melupakan kesilapan yang sempat diperbuat.
Kita, mungkin pernah suatu hari mengetik sebuah komentar di kolom aplikasi chating. Dan komentar itu, tanpa kita sadari memicu ketidakcocokan di hati orang lain.
Orang lain yang merasa tersakiti, tidak mengomunisasikan ketidakcocokan yang terjadi dan justru menginisiasi sebuah kerumunan rasan-rasan yang pada akhirnya memicu nilai buruk bagi orang lain yang dirasani.
Hanya dari kolom komentar itu, ribuan hingga jutaan dendam berbasis kesalah-pahaman terus diproduksi. Kemudahan berbuat salah di era digital, memang sebuah niscaya zaman. Sebab, tiap zaman memiliki permasalahan yang variatif.
Tapi, bukan berarti kita tidak bisa memperbaiki kondisi itu. Keberanian dan kedewasaan hati untuk meminta maaf adalah satu di antara banyak cara memperbaikinya.
Meski kami menyadari bahwa meminta maaf tidak melulu harus dilakukan di momen lebaran; di hari dan hati yang fitri ini, izinkan kami untuk meminta maaf atas kesalahan yang, mungkin luput kami sadari.
Selamat Iedul Fitri ya, Nabs. Minal Aidin Wal Faizin, mohon maaf lahir dan batin.