Kundika Lounge Aston Hotel Bojonegoro disesaki asap rokok dan vapor. Dari arah panggung, sejumlah puisi didendangkan dan senar gitar dipetik secara ritmis beraturan. Tadi malam (5/1/2019), Ngaostik ke-8 dihelat di sana.
Muda-mudi tampak bercengkerama. Nama-nama penulis buku dan penerbitan pun diobrolkan di sana-sini. Di sudut-sudut ruang yang biasanya sepi, terganti riuh yang penuh tawa dan guyonan.
“Ini festival Ngaostik yang ke-8, ya gini, sederhana gini,” ucap pentolan Ngaostik, Chusnul Chotimmah.
Ngaostik merupakan festival mini tiga bulanan yang mempertemukan pehobi baca dan khalayak buku. Tidak hanya itu, Ngaostik juga menggabungkan beberapa unsur seni sekaligus; literasi, musik dan sesekali teater dan senirupa.
Di Ngaostik, beberapa unsur itu tampak seimbang beriringan.
Menurut Chusnul, Ngaostik berangkat dari kata ngaos yang berarti mengkaji dan stik yang berarti tongkat. Anak-anak Ngaostik, kata dia, meyakini bahwa membaca dan mengkaji adalah pegangan hidup. “Membaca apa saja. Bahkan membaca tanda-tanda dan gejala.” Kata dia.
Nabs, lahirnya Ngaostik sebagai gerakan literasi di Bojonegoro tidak mak’bedunduk dan ujug-ujug begitu saja. Ngaostik berasal dari reproduksi ide-ide yang dikawinkan secara menyilang melalui beberapa lingkar komunitas literasi.
Sejumlah komunitas itu antara lain Atas Angin, Bojaksara, Guneman, Angkringan Buku Emperan, Perpus Jalanan, Perpus Gatda dan Sanggar Sayap Jendela. Itu alasan Ngaostik kerap disebut sebagai Rumah Besar.
Ngaostik mengkampanyekan membaca dan menulis secara tidak biasa. Tidak hanya melalui lapak buku untuk dibaca saja, melainkan ada metode lain yang cukup berbeda. Misalnya; pembacaan puisi, musikalisasi puisi, membaca cerpen hingga teater dan monolog.
Ngaostik diselenggarakan pertama kali pada Sabtu 15 April 2017. Setiap 3 bulan sekali, event Ngaostik rutin digelar. Bahkan, Ngaostik sudah melewati ulang tahun yang pertama, yakni pada April 2018 lalu. Setiap kali penyelenggaraan, selalu dikemas dalam satu tema yang berbeda.
Event Ngaostik digelar di beberapa tempat seputaran Bojonegoro. Misalnya di warung kopi, kafe atau kedai. Dapat dipastikan pula kegiatan ini terbuka bagi seluruh masyarakat dan gratis.
Penggunaan tempat sebagai acara menggunakan sistem simbiosis mutualisme. Ini ditujukan membantu para penyedia tempat untuk menarik pengunjung.
Pada Sabtu malam, 5 Januari 2019, Ngaostik sudah melaksanakan event yang kedelapan kalinya. Ngaostik ke-8 diselenggarakan di Kundika Lounge Hotel Aston Bojonegoro. Penonton dan pesertanya pun cukup ramai.
Tidak hanya dari lingkaran pemuda literasi yang tergabung di Ngaostik saja. Sejumlah mahasiswa dan muda-mudi dari berbagai kota juga ikut berdatangan.
“Cukup menarik. Ada hiburan di kafe untuk menikmati malam mingguan. Kan enak kalau ada musik akustiknya.” kata Nadia, salah satu pengunjung kafe malam itu.
Menurut Nadia, jika hanya menghabiskan waktu di cafe pada malam Minggu, sudah mainstream. Tapi karena ada pembacaan puisi, akustik, hingga musikalisasi puisi, membawa kesan sedikit berbeda pada malam Minggu yang dia lewati.
Hal senada diungkapkan Ahmad Farid. Jauh-jauh dari Surabaya, ilustrator dan editor yang sedang menekuni dunia jurnalistik itu datang ke acara Ngaostik karena penasaran. Dia mengaku, sudah sering mendengar nama Ngaostik disebut-sebut. Karena itu, dia kembali datang di acara tiga bulanan ini.
“Dulu waktu Ngaostik 2,5 saya juga datang, ini kan saya pas pulang ke Bojonegoro, jadi sekalian datang lagi,” kata Farid.
Nabs, Ngaostik menjadi wadah bagi para pemuda progresif di Bojonegoro untuk menumbuhkan sekaligus meningkatkan budaya literasi. Lewat kemasan yang syahdu, Ngaostik menjadi ajang untuk meleburkan unsur senirupa, drama, musik dan tentu saja literasi.