Ngaostik (Bojonegoro) dan MocoSik (Jogjakarta) merupakan dua fenomena melegenda di ranah literasi Indonesia. Keduanya, konon sudah bersinggungan sejak ratusan tahun silam.
April 2017, entah apa yang merasuki saya hingga tiba-tiba ingin menemui kawan baik saya, Mohamad Tohir, untuk membahas masalah serius. Pembahasan itu berujung pada keinginan kami berdua untuk mengumpulkan simpul mahasiswa asal Bojonegoro yang ada di luar kota.
Kami ingin agar para mahasiswa asal Bojonegoro yang aktif sebagai pegiat literasi di luar kota, sejenak pulang kampung dan berkontribusi membangun atmosfer literasi di rumah sendiri.
Keinginan kami bersambut baik. Tak hanya mahasiswa Bojonegoro di luar kota saja yang berkumpul, tapi juga jejaring komunitas literasi “bawah tanah” yang sebelumnya tak banyak terdeteksi, mulai ikut bergabung, menampakkan diri, hingga memaksimalkan eksistensi.
Kehadiran alumni Unair Surabaya, Unesa Surabaya, UB Malang, UM Malang, hingga UTM Madura asal Bojonegoro, menjadikan perkumpulan itu kian besar. Terlebih, kehadiran pemuda progresif macam Bhagas Dani dan Radinal Ramadhana yang memberi insight berbeda dalam atmosfer literasi yang akan kami ciptakan.
Semangat kami kian membara ketika sosok tangguh Chusnul Chotimmah, Okky Wisnu Widodo, hingga Dian Wisnu Adi Wardhana, ikut menggabungkan peran. Merekalah juru bicara dan koordinator yang kelak mengomunikasikan cita-cita kami pada alam semesta, dengan cara elegan dan amat bersahaja.
Dari merekalah, simpul-simpul komunitas literasi seperti; Atasangin, Bojaksara, Angkringan Buku Emperan (ABE), Perpus Gatda, Guneman, hingga banyak nama lainnya melebur menjadi satu, dan membangun Rumah Besar yang kelak dicatat sejarah sebagai Ngaostik.
Ngaostik bukan sekadar komunitas, tapi fenomena. Ia bukan bangunan, tapi atmosfer dan udara. Ngaostik menghelat NgaostikFest tiap tiga bulan sekali. Yang menarik, NgaostikFest bukan sekadar giat literasi, tapi giat kolaborasi seni kontemporer pertama di Jawa Timur.
Ngaostik mengkolaborasi musik dan buku. Sekaligus jadi ruang lebur antara sunyi dan syahdu: kesunyian membaca buku, kesyahduan mendengar lagu. Bahkan, mengkolaborasikan 4 unsur seni sekaligus; sastra, musik, teater, dan seni rupa, kedalam satu paket pertunjukan.
Tiap kali NgaostikFest diadakan, selalu hadir delegasi dari masing-masing unsur; sastra, musik, teater, dan seni rupa, untuk berpadu menampilkan karya dengan orientasi syiar literasi. NgaostikFest diadakan secara swadaya tanpa mengharuskan pengunjung bayar tiket.
Para pengunjung boleh datang dengan membawa buku, membawa keluarga, atau bahkan cukup membawa niat di dalam hati saja. Yang jelas, di dalam venue NgaostikFest, terdapat lapak buku yang selalu jadi properti utama untuk ditengok dan dibaca.
NgaostikFest tak hanya didominasi aktivis literasi dan seniman, tapi juga didukung para hipster, kaum indie, hingga pegiat musik klandestin yang saling berbagi semangat literasi. Tak hanya itu. Sejumlah delegasi dari komunitas literasi asal Tuban dan Lamongan juga kerap hadir untuk meramaikan acara.
Gema Ngaostik direspon dan didukung penuh sejumlah tokoh besar nasional. Sederet nama seperti Nirwan Ahmad Arsuka, Gol A Gong, Sigit Susanto, Phutut EA, hingga Mahfud Ikhwan pun memberi dukungan. Baik dukungan moril, atau dukungan dengan hadir langsung di NgaostikFest.
MocoSik Jogjakarta
Sebulan sebelum saya memutuskan membahas masalah serius dengan Mohammad Tohir, Jogjakarta riuh dengan diadakannya MocoSik Festival. Sebuah festival yang menggabungkan buku dan musik. Festival bernafas spirit mendekatkan buku dan musik. Kolaborasi antara musik dan buku menjadi satu.
Sejak diadakan pertamakali pada awal 2017, MocoSik jadi tempat para musisi “kualitas A” manggung. Dan untuk bisa menonton konser, para pengunjung harus beli buku dulu. Buku jadi bukti bahwa pengunjung telah membeli tiket masuk.
Anas Syahrul Alimi, penggagas MocoSik sekaligus founder Prambanan Jazz Festival itu mengatakan, MocoSik tak mengutamakan buku melebihi musik, atau sebaliknya. Keduanya sama rendah, sama tinggi. Baik buku maupun musik, berbagi dalam panggung yang sama.
Menurut dia, MocoSik jadi festival pertama di Indonesia yang mempertemukan buku dan musik dalam satu panggung besar. Perhelatan ini mendekatkan para penikmat konser musik kepada buku, begitu pula sebaliknya, mengakrabkan pencinta buku pada musik.
MocoSik kerap menampilkan musisi atau penulis yang tengah naik daun. Hampir semua musisi indie papan atas, pernah tampil di MocoSik. “Festival penghikmat buku dan penikmat musik diringkas menjadi satu: Kamu”. Sebuah propaganda yang ngeri-ngeri sedap tentu saja ~
Ngaostik x MocoSik
Secara tidak langsung, Mohammad Tohir dan saya sempat kena radiasi trigger dari MocoSik. Kami merasa, atmosfer Jogja harus dibawa ke Bojonegoro melalui Ngaostik. Meski, itu cita-cita pemuda labil yang tak visioner sama sekali. Sebab, masing-masing daerah harus bisa besar dengan cara sendiri.
MocoSik dikelola secara profesional, Ngaostik dikelola secara manual. MocoSik menghadirkan tokoh nasional, Ngaostik menghadirkan tokoh lokal. MocoSik menjadikan buku sebagai tiket masuk, sementara tiket masuk Ngaostik hanyalah niat yang kuat ~
Tapi, untuk tagline propaganda, Ngaostik tak pernah mau kalah dengan MocoSik. Ngaostik selalu bersaing untuk urusan kata-kata propaganjen yang menggugah. Jika MocoSik punya: Aku, Raisa, dan Sepotong Sajak Cinta; Ngaostik punya: Sunyi Buku, Syahdu Lagu, dan JKT48 Generasi 1 ~
Untuk urusan militansi, saya kira MocoSik harus belajar dari Ngaostik. Sebab, Ngaostik jadi satu-satunya acara outdoor yang saat terjadi hujan deras; baik panitia, penampil, hingga pengunjung tetap bernyanyi dan membaca puisi, sampai masuk angin hujan tak tega menurunkan dirinya lagi.
Memang Ngaostik tak bisa disandingkan dengan MocoSik secara apple to apple. Jelas, Ngaostik kalah jauh. Tapi setidaknya, Ngaostik dan MocoSik punya kemiripan falsafah. Yakni, dominasi “membaca” sebagai geliat utama syiar literasi.
MocoSik memang bisa diartikan sebagai kolaborasi moco (membaca) dan musik. Tapi, juga mengandung propaganda prioritas membaca di atas segalanya. Sebab, MocoSik punya makna bersayap: membaca dulu. Read first. Woco sik!.
Ngaostik memang bisa diartikan sebagai kolaborasi ngaos (membaca) dan akustik. Tapi, juga mengandung propaganda prioritas membaca di atas segalanya. Ngaostik punya makna bersayap: membaca adalah stik (tongkat) pegangan hidup. Ini alasan namanya Ngaostik, bukan Nulistik.
Jika MocoSik punya jargon: membaca musik, menyanyikan buku; Ngaostik punya kredo keramat: mendendang buku, membaca lagu. Sebuah kemiripan ideologis yang cukup unik. Terlepas itu semua, Ngaostik dan MocoSik membawa misi yang sama: syiar literasi dengan wasilah lagu dan musik.
Baik MocoSik atau Ngaostik, saat ini memang vakum pasca terkena Pandemi. Namun, konsep musikalisasi literasi yang dibawa MocoSik dan Ngaostik akan tetap abadi. Saya berkeyakinan bahwa musik memudahkan seseorang untuk mengunyah pesan dari buku.
Sanad Literasi Kedung Pakuncen
April 2022, tepat 5 tahun dari acara Ngaostik pertama, alias di momen ulang tahun kelima Ngaostik, penggagas MocoSik sekaligus founder Prambanan Jazz Festival, Anas Syahrul Alimi, tiba-tiba menghubungi saya lewat beberapa akun medsos sekaligus. Ini momen pertama kami berkomunikasi.
Nama besar yang tak asing di mata saya itu, bahkan meminta untuk bisa menelpon saya secara langsung. Uniknya, blio menelpon bukan karena ada gesekan antara MocoSik dan Ngaostik. Tapi karena merespon tulisan saya tentang Tlatah Aulia Kedung Pakuncen.
Mas Anas Alimi berkata bahwa ayahnya berasal dari Padangan. Sementara buyut dan leluhurnya, adalah bagian dari lingkar besar Bani Kedung Pakuncen (Kuncen Padangan). Leluhurnya disemayamkan di makbaroh tak jauh dari leluhur saya disemayamkan. Artinya, ada persinggungan keranda diantara kami.
Mas Anas Alimi adalah cicit (keturunan ke-4) dari Kiai Asnawi Kuncen. Kiai Asnawi Kuncen adalah mertua KH Hasyim Padangan, pengarang Kitab Tasrifan Padangan. Mas Anas Alimi masih ponakan Kiai Usman (muasis NU Cepu) dan Kiai Sholeh Hasyim (muasis NU Bojonegoro).
Makam Kiai Asnawi Kuncen tak jauh dari makam Kiai Munada Kuncen, kakek buyut (generasi ke-6 diatas saya). Sementara Kiai Asnawi, segenerasi dengan Kiai Musa Munada, kakek buyut (generasi ke-5 diatas saya). Kiai Musa Munada adalah adik kandung Kiai Ahmad Munada (Kiai Ahmad Rowobayan). Beliau-beliau berkoneksi di Kuncen pada periode 1800 masehi, sebagai satu lingkar Bani Besar.
Kiai Munada Kuncen dan Kiai Asnawi Kuncen identik dengan peradaban dunia literasi. Kiai Munada memiliki anak bernama Mbah Ahmad Munada (Kiai Ahmad Rowobayan) yang menulis Manuskrip Kuncen. Kiai Asnawi memiliki mantu bernama Mbah Hasyim Padangan yang menulis kitab Tasrifan Padangan. Benar kata Mas Anas Alimi, leluhur kami para pejuang literasi.
“Bani Kuncen Padangan. Gak taunya Bani Kuncen semua ya”. Kata Mas Anas Alimi kepada saya sambil tertawa.
Dalam sambungan telepon, kami tak berbincang tentang Ngaostik ataupun MocoSik. Justru, kami bertukar sanad manuskrip, sanad riwayat, hingga membahas aktivitas leluhur.
Kami percaya, apa yang MocoSik dan Ngaostik lakukan, sudah dibahas leluhur kami sejak ratusan tahun sebelumnya.
Ini alasan kenapa MocoSik dan Ngaostik memiliki kemiripan nama. Baik dari jumlah suku kata, cara mengeja, hingga makna bersayapnya. Dan sialnya, kami baru menyadari itu semua.
Saya sempat bertanya, apakah MocoSik punya potensi menggelar kolaborasi dengan Ngaostik? Apakah Ngaostik yang kecil-saja-belum-ini, bisa diajak terlibat di acara MocoSik yang sudah-sangat-besar-itu? Sialnya, pertanyaan tersebut hanya melintas di dalam hati wqwq.