Tempat ngopi esensi, memang sangat cocok bagi perenung dan penyendiri. Mereka yang substansial memandang hidup, dan agak menjauh dari seremoni.
Ngopi, mungkin salah satu cara bersyukur yang paling ikhlas. Sebab, tanpa mengucap “syukur” pun, sudah mensyukuri nikmat kopi. Sejenis proses bersyukur yang saat mulut berbicara, telinga tak mendengarnya.
Meski hidup tak pernah mudah, cara menikmati hidup kadang amat sederhana dan hanya butuh main sudut pandang saja. Bersantai di warung kopi alias ngopi, satu di antara metode menikmati hidup yang paling awam dan membumi.
Dan Bojonegoro, tempat di mana tulisan ini ditulis, adalah palung samudera perkopian di tanah pojokan Jawa Timur. Di tempat ini ada banyak warung kopi. Dari yang bernuansa cafe hingga tempat kopi yang nyel warung kopi.
Tempat kopi bernuansa cafe syahdu, biasanya untuk giat ngopi ekstrensik — kopi bukan bagian yang tak terpisahkan. Bukan inti. Sejenis ngopi yang tak ngopi-ngopi amat. Sedang yang nyel warung kopi, keberadaan kopi jadi bagian tak terpisah. Inti, substansi, dan esensi.
Perbedaan nuansa warung kopi, disadari atau tidak, sesungguhnya menunjukkan perbedaan niat dan tujuan para pengunjungnya. Maksudnya, tak semua pengunjung warung kopi, benar-benar berniat menikmati kopi.
Adakalanya sekadar janji ketemuan tanpa memesan kopi. Atau cari spot foto-foto kece. Atau sekadar refreshing layaknya sedang berekreasi. Yang jelas, mereka hadir tak sekadar untuk ngopi.
Untuk kategori yang semacam itu, biasanya berwujud cafe-cafe nongkrong-able. Tempat yang tak sekadar menjual rasa kopi. Tapi menawarkan kenyamanan lokasi. Ketenangan dan kesyahduan tongkrongan.
Cafe kopi dengan kategori nongkrong-able semacam itu, di Bojonegoro, jumlahnya banyak sekali. Bahkan tak bisa dihitung menggunakan jari. Mati satu tumbuh seribu, bangkrut satu hadir yang baru.
Ngopi Esensi
Selain warung kopi nongkrong-able yang menawarkan suasana kenyamanan tempat, Bojonegoro juga dipenuhi tempat kopi yang nyel untuk ngopi dan tak menawarkan apa-apa — kuliner khas atau apapun— kecuali kopi itu sendiri.
Iya, kamu tetap boleh pesan teh kok. Cuma, mayoritas pengunjung memang datang ke tempat seperti ini sekadar untuk ngopi. Atau istilahnya ngopi esensi. Ngopi yang nyel ngopi. Rasa kopi jadi satu-satunya alasan kunjungan— kadang disambi kerja dan rasan-rasan.
Tak serupa tempat kopi bernuansa syahdu, di tempat ngopi esensi, tak ada lokasi yang bisa dijadikan spot foto-foto kece. Tak ada orang pacaran — lha wong ada toilet yang ramah pengunjung saja sudah syukur-syukur.
Selain identik tempat yang tak terlalu luas, tempat ngopi esensi semacam ini identik lagu-lagu campursari kontemporer yang, uniknya, justru bisa sangat mensyahdukan suasana.
Dan yang tak terpisah dari tempat ngopi esensi macam ini, keberadaan kaleng rokok eceran yang pengunjung bisa ambil sendiri. Tempat ini seperti berpihak pada proletarian. Pada kesederhanaan.
Nabs, banyak tempat ngopi yang berjualan rokok eceran, tapi pengunjung jarang bisa ambil sendiri. Di sinilah letak kekhasan tempat ngopi esensi yang banyak berada di Bojonegoro ini.
Ia seperti memudarkan rasa sungkan ngopi berlama-lama, meski yang dipesan hanya secangkir belaka.
Hanya orang-orang yang substansial memandang hidup, biasanya yang berkunjung di tempat ngopi esensi. Mereka yang memandang hidup secara nyel dan sederhana dan, tentu saja, tak terlalu cocok dengan seremoni.
Tempat ngopi esensi, memang sangat cocok bagi perenung dan penyendiri. Mereka yang substansial dan agak menjauh dari seremoni. Sebab alasannya jelas. Mereka pergi ke tempat ngopi untuk menikmati kopi.
Tempat ngopi ekstrensik dan ngopi esensi, banyak ditemui di Bojonegoro. Keduanya punya segmen ceruk pasar masing-masing. Merenungi dua jenis tempat ngopi itu, kadang membuat saya berpikir, jenis manusia macam-macam: Ada yang esensi, ada yang seremoni. Tapi semuanya tetap bisa hidup dan berbahagia.