Ngopi termasuk budaya adiluhung. Asal saat melaksanakan, ada muatan ilmunya. Apalagi kalau ngopinya ngopi yang mistis-mistis.
Saat saya sedang mengikuti pembelajaran daring, saya kaget saat ada notifikasi WhatsApp dari seseorang. Saya tidak tahu siapa dia. Lha wong saya ikut jam perkuliahan melalui smartphone andorid, Je.
“Posisi.” spontan saya melirik pesan yang semliwer di layar. Kemudian saya buka. Lhadalah, Mas Rizky. Saya pun langsung membalasnya.
“Aku nek omah, Mas.” Perasaanku mulai dag dig dug, emangnya ada apa tiba-tiba Mas Rizky ngechat saya.
“Ayo ngopi, Wid. Bar ashar ya.”
“Iya siap, Mas.”
“Tenanan ki ojo siap-siap wae.”
“Lha pye to nek ogak tenan ki, Mas. Wqwqwq.”
Sembari menunggu waktu habis sholat ashar. Saya menyelesaikan jam kuliah saya dahulu. Supaya nanti tidak kedandapan. Wajar, mahasiswa baru ya begini. Tapi, juga tidak baru-baru amat sih hehe.
Waktu menunjuk pukul 15.35, berarti sudah saatnya saya berangkat menuju warung kopi. Mas Rizky pasti tidak akan pernah berganti tempat ngopi. Ini sejenis rahasia yang sangat saya ketahui.
Ya, mana lagi kalau bukan warung kopi idolanya, Giras. Kali ini, Giras yang jadi jujukannya adalah Giras Sumberrejo. Saya kira, dimanapun keberadaannya, kalau ngopi, Mas Rizky seperti selalu di Warkop Giras.
Sesampainya di Warkop Giras yang berada di sebelah lampu merah Sumberrejo, saya tolah-toleh mencari keberadaan Mas Rizky. Eh ternyata, dia ada di depan ibu penjual kopi. Tak lama juga, saya langsung menghampirinya.
Warkop Giras memang strategis untuk ngobrol santai. Kalau di Cafe yang hitz-hitz itu, kelihatan malu-malu gimanaa kalau lama. Karena ngopi juga butuh ketenangan, apalagi ngobrol tentang keilmuan, pasti juga butuh keseriusan yang tetap santuy.
Tidak begitu lama saya membuka obrolan dengan Mas Rizky. Secara tiba-tiba, butiran air hujan langsung menerjang atap Warkop Giras. Iya, biasa, ini pertanda, pertemuan kami diberkahi. Meski hujan sedikit menggangu obrolan, kami tetap menikmati.
Jutaan telinga banyak yang menguping perbincangan kami berdua. Makhluk tak kasat mata juga ikut menguping. Apalagi cicak yang sedang bercumbu, ikut melepas cumbuannya demi mendengar obrolan kami. Sebab, kami ngopi memperbincangkan ilmu.
Sehingga mereka yang kasat dan tak kasat mata pun ikut kepo dengan apa yang kami perbincangkan. Obrolan tampak sakral saat diiringi hujan. Karena, hujan yang turun adalah Rahmat Yang Maha Kuasa, sengaja diturunkan untuk manusia.
Mungkin hujan juga ingin dengar obrolan kami. Nyatanya, tiba-tiba hujan berhenti, ketika saya dan Mas Rizky mulai memperbincangkan ayat-ayat kauliyah. Apalagi satu ayat paling sakral dalam kitab kami, entah kenapa intensitas hujan melambat.
Nabs, ilmu sangatlah penting bagi kehidupan dunia maupun pasca dunia. Maka dari itu, tempat apapun jika digunakan memperbincangkan ilmu, rasanya pasti beda, toh setiap manusia punya ilmu yang berbeda-beda.
Ciri seorang yang tawadu terhadap ilmu, dia tak akan mengeluh saat kebeteng hujan. Walau lapar atau digigit nyamuk kakinya, dia tak terlalu merasakannya. Sebab, sudah takdim dan menganggap bahwa dihampiri ilmu saja sudah sebuah kehormatan.
Oh iya. Pasti kamu semua penasaran dengan ngopi mistis-mistis yang saya perbincangkan dengan Mas Rizki, iya kan?
Jadi, ngopi mistis-mistis atau ngopi mistis yang kami maksud itu bukan urusan mistis yang ada di kepalamu. Tapi, belajar ngoptimistis. Bersifat optimistis. Ya, ngoptimistis itu belajar bersifat optimististis sambil ngopi.
Jadi, keilmuan ngopi mistis yang kami perbincangkan adalah ilmu ngoptimistis terkait kepenulisan. Saya itu seringkali bertanya sama Mas Rizky begini:
“Mas, carane nulis seng penak i pye?
“Lha ngunu karek awakmu, Wid.”
“Maksute iki, cara ngetokno ide seng apik, tur cepet, Mas?” Mas Rizki hanya senyum ketika saya bertanya.
“Dicoba terus, Wid. Sing penting awakmu ngoptimistis bahwa awakmu kui iso menulis.” Jawabnya.
Perbincangan kami berdua tentang keilmuan ngopi mistis tidak bisa berlangsung lama. Waktu yang menghentikan. Bukankah saat ini, saat kita ngopi, ada semacam kekhawatiran akan grebekan polisi?
Saya meyakini bahwa semua ada ilmunya. Bahkan, saat sedang ngopi. Ngopi kalau tak tahu waktu, bisa digrebek polisi. Itu tandanya, ngopinya nggak pakai ilmu. Kalau ngopinya pakai ilmu, tahu kapan harus mengakhiri momentum ngopi.
Jadi, Nabs, ngopi mistis di tengah gerimis sesungguhnya adalah belajar ngoptimistis di tengah gerimis. Maksudnya, belajar optimistis (tentang kepenulisan) di tengah gerimis, sambil ngopi. Hehe