Bojonegoro tak henti menggeber sejumlah event. Dampaknya, masyarakat diharap menjadi lebih produktif. Baik dalam segi perdagangan kuliner, penyedia jasa transportasi online, penginapan, hingga tenaga ahli.
Saya sangat beruntung mendapat amanat sebagai tenaga ahli, yakni sebagai Language Officer, beberapa orang menyebutnya Liaison Officer. Apapun itu, kalau disingkat yang penting jadi LO. Hehe
LO ini memiliki tugas layaknya guide atau pendamping. Seperti jika kamu berkunjung ke Bali, lalu ada bli-bli yang memandu tur kamu itu, Nabs. Tapi, di sini berbeda. LO memandu kegiatan yang dilaksanakan para peserta dari mancanegara dalam mengikuti serangkaian acara Bojonegoro Thengul International Folkfore Festival.
Contoh saja seperti mulai pagi, LO akan mengabsen peserta yang dia pandu, dari salah satu negara. Lalu, mengingatkan jadwal untuk kegiatan kesehariannya, membantu mereka jika terdapat masalah tentang fasilitas hotel atau bahkan membutuhkan simcard lokal karena kartunya terkena roaming. Mengkoordinir apa saja yang mereka butuhkan saat tampil, dan banyak lainnya.
Pada festival kali ini, saya mendapat mandat untuk memandu peserta dari Mexico. Tak seperti dua peserta lainnya dari negara Bulgaria dan Polandia. Orang-orang Mexico jauh lebih ramai dan asyik. Mereka lebih menguasai Bahasa Inggris dibanding tiga negara lainnya.
Thailand juga tak kalah ramai dengan Mexico, tapi sisi perbedaannya sungguh kuat. Orang-orang Thailand humornya sangat tinggi meski mereka tidak memiliki keahlian Bahasa Inggris yang baik. Seperti contohnya, salah seorang peserta, yakni, director dari Thailand, Mr. Kamon bercerita pernah berlayar menuju Korea Selatan.
Mr. Kamon bertanya pada salah seorang dari Eropa yang sedang mabuk laut, “Are you drunk in the wave?”. Si orang Eropa tentu sangat kebingungan, Nabs! Hingga Mr. Kamon memperagakan body language seorang yang sedang mabuk dan menunjuk ombak di laut. Lantas, orang Eropa tersebut mengerti dan berkata, “It’s not drunk in the wave. But, it called seasick.”
Saling berbagi cerita, itulah kuncinya. Jadi kita bisa akrab dengan mereka dan menambah wawasan serta pengalaman tentang dunia luar. Tak selamanya kita berada di dalam sebuah kardus bukan?
Pengalaman menjadi LO ini tentu tak akan bisa kami lupakan. Kemarin siang (15/6/2019), rombongan Mexico baru saja tiba di penginapan. Akan tetapi, antusiasme mereka sangat tinggi. Setelah beristirahat sejenak, mereka langsung berlatih di pendopo penginapan.
Seorang translator dari Mexico, Luis yang merupakan seorang dosen Hubungan Internasional, berkata jika mereka sangat-sangat lelah setelah melakukan penerbangan dari Mexico transit di India, lalu dilanjutkan lagi menuju Jakarta, dan masih berlanjut lagi dengan transportasi darat dari Jakarta menuju Bojonegoro yang mencapai 12 jam perjalanan.
Total perjalanan mereka kurang lebih satu hari penuh lho, Nabs! meski telah melalui perjalanan yang sangat panjang, Luis berkata mereka sangat senang dan merasa beruntung bisa mengikuti festival ini.
Dia terpukau dengan penampilan Wayang Thengul kemarin malam di stadion. Sebab, sangat tradisional dan sangat memukau. Ini adalah kedua kalinya Luis menonton pertunjukan wayang.
Sebelumnya, dia pernah menonton di salah satu festival di Rusia, peserta dari Indonesia membawakan wayang. Tapi, saya berkata padanya jika Wayang Thengul original dari Bojonegoro dan hanya ada di Bojonegoro. Terlihat dia sangat menikmatinya.
Saya sedari awal telah memilih jika saya ingin menjadi guide negara Mexico. Mengapa? Ya, karena saya tertarik dengan Mexico dan bahasa Spanyolnya. Tak hanya bertukar budaya, di sini kami juga saling berlatih bahasa masing-masing lho, Nabs!
Mereka bertanya apa arti Gracias dalam Bahasa Indonesia begitu pula sebaliknya. Buenas noches, buenas diaz, dan banyak lagi kosakata baru yang saya peroleh.
Dari sekian peserta, saya tertarik dengan salah seorang wanita yang berhijab dari Mexico, ia orang Mexico tulen, tapi dia mualaf. Perjalanannya hingga menjadi seorang muslim membuat saya sangat terharu.
Ini merupakan suatu hal yang perlu diapresiasi menurut saya. Dia mengikuti festival ini bersama ibunya juga, tapi dalam seluruh keluarganya hanya dia yang muslim. Ibunya pun tidak. Meski banyak intrik memilukan, dia tetap yakin dengan pilihannya di usianya yang cukup muda itu.
Dari acara internasional semacam ini, kita dapat melatih skill Bahasa Inggris kita, bahkan tak hanya Bahasa Inggris, kita bisa mempelajari bahasa lainnya. Bisa mempelajari pola pikir tiap negara yang berbeda-beda, mengerti kebiasaan mereka yang disiplin dan tepat waktu, mengetahui jika Thailand memiliki kebudayaan yang tak jauh berbeda dengan Indonesia karena masih dalam satu rumpun Melayu. Juga mempelajari tarian dan musik tradisional mereka.
Hal ini tentu akan sangat membuka wawasan kita tentang cakrawala dunia. Gimana nih, Nabs? Yakin masih nggak mau belajar bahasa asing? Jangan sampai kalah dengan mancanegara yang giat meningkatkan skill bahasa asingnya.
Sebab, dewasa ini, saingan kita bukan hanya dari negeri Indonesia sendiri. Akan tetapi bersaing secara global. Gapailah mimpi setinggi-tingginya ya, Nabs! Paling tidak jika tidak tercapai, jatuhnya juga nggak jauh-jauh amat. Hehehe.