Belakangan ini, kembali ramai berita aksi perampasan buku. Terakhir yang baru saja terjadi adalah video perampasan buku di Makassar. Dengan dalih penyebaran paham komunisme, oknum-oknum tersebut menyita sejumlah buku yang dipajang di toko buku Gramedia. Hadah hadaahhh…
Hari gini masih jaman aja nyita buku?
Nabsky, ternyata sejarah perampasan buku tidak hanya terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Indonesia, negara yang kita cintai sepenuh hati ini, memiliki sejarah kelam soal perampasan buku. Tim riset Jurnaba.co akan merangkumnya dalam satu artikel.
Dari zaman penjajahan belanda, jepang, hingga merdeka, pembatasan buku bacaan dan pelarangan cetakan sudah ada. Dalih yang digunakan dari dulu hingga saat ini pun masih bersaudara, alias beda tipis. Rush en orde, alasan keamanan dan ketertiban.
Pertentangan dengan ideologi yang dijadikan alasan oleh oknum dalam video, masih mirip-mirip dengan urusan ketentraman dan ketertiban umum. Padahal, baca buku itu bikin tentram.
Di jaman Belanda dulu, brosur yang berisi tulisan dari Soewardi Soerjaningrat, berjudul “Als ik eens Nederlander was” yang berarti seandainya saya warga Belanda, juga dilarang. Perburuan penulis-penulis kritis pun demikian, sampai akhirnya mereka diasingkan.
Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya, kondisi politik masih belum stabil. Banyak terjadi pemberontakan, bahkan salah satu yang terbesar dan terorganisir dilakukan justru oleh militer di Sumatera, Sulawesi, dan Jawa Barat.
Ini yang kemudian dijadikan alasan bagi militer untuk memperkuat posisi mereka dalam pengambilan kebijakan. Dari situlah peraturan No. PKM/001/9/1956 yang mengontrol kebebasan pers diterbitkan oleh militer Angkatan Darat.
Namun, peraturan ini, pada akhirnya juga digunakan untuk melarang peredaran buku-buku. Sedih ya, Nabs. Bacaan di Indonesia ini sudah terbatas, masih saja dilarang. Orang yang berperan besar bagi kemerdekaan Indonesia sekaliber Muhammad Hatta, juga merasakan pemberangusan buku ketika menerbitkan tulisannya berjudul Demokrasi Kita, yakni sebuah buku tentang kritiknya terhadap Soekarno.
Perampasan buku yang dilakukan oleh militer di era orde lama ternyata berlanjut di era orde baru. Bahkan, di orde baru, kekuasaan militer dikukuhkan dengan banyaknya perwira tinggi militer yang menduduki posisi Jaksa Agung Muda bidang Intelejen (JAM Intel).
Jangan kaget dulu, masih ada lagi kemesraan Kejaksaan Agung dengan militer lainnya, yakni dengan dibentuknya tim Clearing House. Clearing House ini berfungsi untuk meneliti buku-buku dan memberikan rekomendasi pada Jaksa Agung.
Sampai dengan abad 21, pelarangan buku masih dilakukan. Payung hukum yang digunakan adalah UU No.4/PNPS/1963 tentang peredaran barang-barang cetakan yang dapat mengganggu ketertiban umum. Padahal, lewat UU No. 16 tahun 2004, kewenangan Kejaksaan Agung untuk melarang buku-buku sudah ditiadakan.
Dalam sebuah buku berjudul “Pelarangan Buku di Indonesia : Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi” yang diterbitkan oleh Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) bekerja sama dengan Friedrich Ebert Stiftung (FES), Iwan Awaluddin Yusuf memberi pengantar dengan kalimat pembuka seperti ini, “tidak ada yang lebih ironis daripada sebuah paradoks. Kondisi yang dinggap benar, namun secara empiris bertentangan dengan fakta-fakta.”
Ironi memang, ketika di dalam dasar negara, yakni UUD 1945 pasal 28, dinyatakan sebagi berikut, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
Lebih-lebih, di dalam pasal 28E diperjelas dalam poin 2, “setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nurani.”
Dan dalam pasal 28F, “setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Di sini jelas, kebebasan untuk menyampaikan pemikiran/ide/tulisan/gagasan dijamin negara.
Bukankah UUD 1945 merupakan aturan tertinggi di negeri ini? Dan bukankah aturan di bawah seharusnya berpegang pada aturan tertinggi? Sehingga apa yang dilakukan oleh oknum-oknum belakangan ini dirasa sangat bertentangan dengan dasar negara.
Pemberangusan, perampasan, penyitaan terhadap buku-buku juga terjadi di Jerman saat NAZI berkuasa, di bawah peruntah diktator Adolf Hitler. Semua buku yang tidak sesuai dengan keinginan penguasa disita, dibakar, dimusnahkan. Lantas, negara seperti apa Indonesia ini? Berpaham demokrasi tapi mempraktikkan kediktatoran NAZI.
Najwa Shihab, yang konon sedikit mirip saya, namun banyak tidak miripnya, salam satu video mengatakan bahwa praktik penyitaan buku-buku adalah suatu kesia-siaan. Dalam akun Instagramnya, Mbak Nana yang sedikit mirip saya ini bahkan memberikan pendapatnya lewat kalimat-kalimat berima:
Buku tak bisa dilarang, musykil dimusnahkan, karena informasi mustahil dijebloskan ke penjara atau dimusnahkan ke tungku. Gagasan menancap dari satu kepala ke kepala yang lain dengan lebih kuat ketimbang gerogotan rayap dan menjalar dari satu tempat ke tempat lain dengan perlahan tapi pasti dengan jilatan api. Sejarah panjang telah membuktikan: pada akhirnya inquisitor dan tukang sensor yang tumbang, sedang ilmu pengetahuan niscaya berkembang.
Semoga setelah ini perampas buku mulai lebih banyak membaca daripada mensensor dan menyita ya, Nabs. Miris sekali. Di dalam kondisi minat baca yang minim dan bacaan yang terbatas ini, buku masih saja dilarang-larang.
Bukankah lebih baik mereka-mereka ini juga menuliskan gagasan ke-Indonesiaan-nya, nasionalisme dan patriotismenya, dalam sebuah buku dan menyumbangkan buku-buku itu di wilayah perbatasan? Sehingga tumbuh semangat nasionalisme di jiwa anak-anak di perbatasan.