Kesedihan dan kemarahan adalah sumber daya alam yang dapat diperbaharui, mengelola kesedihan kolektif diyakini mampu gerakkan turbin pembangkit listrik tenaga kesedihan (PLTK).
Kesedihan itu lintas genre. Mereka yang suka musik cadas, bisa cepat merasakan sedih ketika mendengar lagu Campursari bernada sedih. Asal, lagu tersebut mampu menyenggol dan mengenai perasaan si pendengar.
Mendengar lagu Didi Kempot dengan genre Campursarinya, terasa sama saat mendengar lagu-lagu Alan Walker yang lebih ke EDM, atau lagu lagu-lagu Dustbox yang cenderung Pop Punk. Asal, memang sudah ada saraf sedih yang tersenggol duluan.
Kalaupun ada perbedaan, Alan Walker dan Dustbox cenderung menyamarkan kesedihan dengan cara yang cukup elegan. Yakni, dengan membungkus lirik-lirik sedih dengan chord minor yang ingar bingar. Tapi, taste kesedihannya tetap terasa.
Kesedihan punya rasa yang sama. Hanya bentuknya saja yang berbeda.
Ngomong-ngomong soal sedih dan kesedihan, ia memang selalu hadir dalam hidup manusia. Selama masih ada nyawa di dalam raga, sedih serupa ornamen hiasan dinding di dalam tubuh kita.
Bagi seorang Epikurean — penganut ajaran filsuf Yunani, Epikuros (341-270 SM) — kesedihan disebabkan ketidakmampuan memperoleh sesuatu. Maka, agar tidak merasa sedih, jangan menginginkan apapun. Sebab, keinginan pemicu derita.
Keinginan, kata para Epikurean, berujung pada rasa sakit. Jika orang terus menginginkan sesuatu yang tak dimiliki, mereka tak dapat menikmati apa yang telah mereka miliki. Karena itu, tak perlu berkeinginan agar tak menerima kesedihan.
Saya, tentu tak terlalu sepaham dengan pemikiran Epikurean. Selain terlalu ekstrim, sebagai manusia biasa, tak mungkin menjalani hidup tanpa keinginan-keinginan. Keinginan tentu sangat manusiawi. Karena itu, sedih pun juga manusiawi.
Nabs, sedih memang tak bisa ditolak. Tapi, ingat, sedih juga tak boleh menolak kebaikan-kebaikan yang diberikan hidup kepada kita. Bahkan, jika bisa dikelola, rasa sedih memberi dampak pada pencapaian yang luar biasa.
William Shakespeare, mampu menciptakan karya-karya besar serupa Romeo and Juliet, Macbeth, hingga Hamlet melalui tragedi dan kesedihan. Itu membuktikan bahwa kesedihan mampu jadi bahan bakar sebuah kesuksesan. Asal, bisa mengelola dan mengendalikannya.
Sejumlah psikolog dan peneliti bahkan mampu membuktikan jika kesedihan punya peran positif dalam hidup.
Penelitian yang dimuat di Sage Journals mengungkapkan, suasana hati yang agak buruk bisa bekerja sebagai alarm pemicu cara berpikir yang spesifik dan teliti. Cara berpikir seperti itu, mampu membuat kita lebih perhatian dan fokus terhadap segala sesuatu.
Dalam kondisi hati yang bersedih, kadang membikin seseorang lebih fokus memandang berbagai masalah. Tentu, itu tak lepas dari pengalaman-pengalaman menyedihkan yang pernah dialami orang tersebut.
Tak hanya itu, penelitian pada jurnal Social Cognition membeber jika suasana hati yang buruk, bisa memperbesar perhatian seseorang terhadap norma-norma sosial. Bahkan, suasana hati yang negatif, justru meningkatkan penolakan terhadap perkara yang tidak lazim.
Dari jurnal yang disajikan di Social Cognition, setidaknya kita bisa menghubungkan jika mereka yang bersedih, tentu tak mudah termakan hoax. Apalagi punya keinginan buat menyebarkan hoax.
Maka, jangan heran jika Aristoteles pernah berkata: semua manusia yang luar biasa dalam filsafat, puisi, dan seni, — bahkan sosok seperti Socrates dan Plato pun — memiliki sisi melankolis dalam kehidupan mereka.
Aristoteles tentu tak sekadar mengisap jempolnya belaka. Didi Kempot, Alan Walker hingga Dustbox tentu bisa dijadikan bukti omongan Aristoteles. Lagu Cidro, misalnya, tak akan muncul ke muka bumi tanpa adanya seseorang yang mampu mengakrabi kesedihan.
Mengelola Kesedihan dan Kemarahan Kolektif
Jika memang setiap manusia punya potensi bersedih, itu artinya, kesedihan adalah sumberdaya alam yang bisa diperbaharui. Dengan begitu, bukankah seharusnya ada potensi kesedihan kolektif yang mampu dikelola menjadi sesuatu yang bermanfaat?
Saya percaya jika kesedihan atau kemarahan yang dikumpulkan, lalu dikelola dengan baik, bisa bermanfaat bagi banyak manusia. Kesedihan mengandung energi. Dan jika energi itu disatukan, tak menutup kemungkinan mampu menggerakkan turbin raksasa.
Mereka yang sedang bersedih — karena putus cinta, misalnya — dan mau berkontribusi untuk kemaslahatan umat, bisa berkumpul di sebuah tanah lapang yang sebelumnya sudah disediakan peralatan berbasis turbin penggerak.
Sebuah turbin penggerak raksasa yang punya ribuan tuas dan tali. Nah, mereka yang bersedih dan sedang kezel-kezelnya, masing-masing memegang dan memutar atau menarik tali atau tuas yang berhubungan dengan turbin tersebut.
Karena sekarang era industri 4.0, semua yang dilakukan secara manual tadi bisa dilakukan melalui aplikasi. Tak perlu berkumpul ke sebuah tanah lapang. Cukup pencet aplikasi yang ada di ponsel saja.
Sebuah aplikasi android yang mampu menghubungkan rasa sedih dengan tuas penggerak turbin berbasis tekanan layar ponsel. Semakin sedih dan kesel dan marah, semakin besar energi yang menggerakkan turbin.
Bukankah orang yang bersedih itu loyo? Kata siapa. Orang yang bersedih memang tampak loyo, tapi sesungguhnya tidak. Buktinya, musik-musik Emo kian garang saat bersedih. Daripada buat teriak-teriak, kan mending dibuat bergerak biar sehat.
Saya kira, baik turbin uap, air, maupun gas, bisa digerakkan oleh bersatunya kesedihan dan kemarahan semacam itu. Nah, dari gerakan turbin tersebut, fluida yang bergerak menjadikan baling-baling berputar dan menghasilkan energi untuk menggerakkan rotor.
Sampai di sini, bukankah Pembangkit Listrik Tenaga Kesedihan (PLTK) bukan lagi sekadar mimpi?
Nabs, imaji memberdayakan kesedihan bukan berarti mendorong adanya rasa sedih dan marah-marah. Tapi, sekadar berupaya membuktikan bahwa tak ada ciptaan Tuhan yang sia-sia di muka bumi.
23 Juli 2019