Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI berencana untuk mulai mengawasi konten media digital. Beberapa platform media digital seperti Youtube dan Netflix bakal dipantau oleh KPI. Meski baru sebatas rencana, aksi KPI ini menuai banyak kecaman dan kritikan dari masyarakat, terutama netizen.
Tubuh butuh istirahat. Otak pun sama. Meski hanya sejenak. Sedikit hiburan tentu bisa membantu. Paling mudah, hiburan melalui media. Media sosial menjadi pilihan utama. Selain mudah diakses, ada banyak pilihan. Tidak seperti televisi saat ini.
Belum selesai mencari hiburan, otak sudah dibuat stress kembali. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) malah berencana akan mengawasi konten media digital. Antara lain Youtube, Netflix, facebook dan media sejenisnya.
“Kalau generasi digital, digital native yang lahir di era baru ini mereka sudah lebih banyak mengonsumsi media baru daripada media konvensional. Ini yang perlu diawasi agar sesuai dengan filosofi atau kepribadian bangsa,” kata Ketua KPI, Agung Suprio pada Kamis (8/8/2019).
Haduh. Ujung-ujungnya sensor lagi, sensor lagi. Kebutuhan kan cuma sebatas hiburan, bukan beserta pendidikan. Kreativitas dipangkas, hiburan hanya berupa ampas.
Belum lagi pengawasan ketat terhadap pengguna gadget. Sebelumnya, muncul kabar bahwa kampus wajib mengawasi akun media sosial mahasiswanya. Tidak berhenti sampai di situ. Berlaku juga kepada masyarakat umum. Setiap akun harus terdaftar beserta nomor telepon dan nomor kependudukan pengguna.
Kejadian seperti ini mengingatkan pada masa sebelum reformasi. Ya, Orde Baru. Masa di mana tidak pernah ada apa-apa dan semua terasa tenang-tenang saja. Bukan karena cuaca politik, tapi lebih karena usia yang terbilang masih kanak-kanak.
Hidup lebih banyak main dan main. Tontonan hanya pada saat Minggu atau hari libur. Itu pun tak peduli dengan apa yang ditonton. Tak banyak pilihan.
Melihat kehidupan saat ini, ada rasa rindu terhadap masa Orde Baru (orba). Masa di saat para generasi 90-an menikmati asyiknya bermain. Gara-gara gambar Soeharto yang banyak terpampang beserta kalimat tanya khas “Piye, penak jaman ku to?”
Masa itu tak perlu meributkan sesuatu. Ini harus diawasi, itu harus dibatasi. Ini-itu tidak perlu dipersoalkan. Sejak awal memang tidak boleh dan dilarang. Jelas sudah. Tidak perlu informasi, tidak perlu berita. Cukup kabar bahagia dari pemimpin negara yang murah senyum.
Suatu hal yang dirasa boleh, perlu proses panjang untuk mendapat izin. Ribet. Mending menikmati apa yang sudah ada. Toh segalanya murah dan mudah didapat. Tinggal konsumsi, konsumsi dan konsumsi.
Berbeda dengan masa sekarang. Para generasi 90-an benar-benar dihadapkan pada kehidupan senyata-nyatanya. Untuk itu, hiburan dibutuhkan untuk jeda mengambil nafas dari rutinitas. Jika hanya untuk sekadar hiburan saja dibatasi, betapa nikmatnya bernostalgia. Masa di mana hiburan hanya didapatkan dari tontonan akhir pekan.
Jika kreativitas terbatas, maka produktivitas akan terpangkas. Sisanya hanyalah ampas. Bagaimana pola pikir generasi bisa berkembang? Baik dan buruk ditentukan oleh sikap dan perbuatan. Pendidikan yang terpenting. Bukan pembatasan.