Saya sepakat bahwa memakai jilbab adalah hal yang baik, tapi ukuran keimanan tidak berhenti pada jilbab semata.
Sering sekali saya mendengar kalimat ajakan dengan baik maupun sindirin terkait persoalan jilbab. Persoalan kerudung. Saya tidak tahu bagaimana orang beragama memandang perempuan yang tidak berjilbab, tetapi dalam banyak kasus yang saya temui dan bahkan saya alami, perempuan tidak berjilbab memiliki nilai negatif di mata kebanyakan mereka.
Mereka seperti menempatkan jilbab sebagai suatu hal yang mutlak digunakan oleh perempuan muslim, sehingga konsekuensi dari itu semua, perempuan yang tidak mengenakan jilbab dianggap tidak bertakwa kepada Allah SWT atau kurang beriman.
Saya sepakat bahwa memakai jilbab adalah hal yang baik, tapi ukuran keimanan tidak berhenti pada jilbab semata. Kita semua tahu bahwa perubahan yang paling mudah adalah yang terjadi di luar, atau apa yang nampak. Sebaliknya yang paling sulit diubah adalah apa yang ada di dalam.
Pada sekitar tahun 2010, banyak kita lihat orang berbondong-bondong mengenakan jilbab. Tren jilbab juga meningkat sejak adanya desainer Dian Pelangi dan artis-artis muslim lain di masa itu.
Apakah kemudian kita dapat mengatakan bahwa tingkat keimanan masyarakat Indonesia meningkat drastis? Tidak juga.
Bahkan ketika kita kembali pada kata ‘iman’ itu sendiri, maka merujuknya adalah sesuatu yang ada di dalam, sesuatu yang sifatnya keyakinan, dan itu tidak bisa diukur secara kuantitatif.
Berpendapat bahwa mengenakan jilbab adalah hal yang baik bukan bermakna sebaliknya, jika tidak melakukannya adalah kejahatan. Hidup tidak seperti sistem biner yang hanya memiliki dua nilai, salah dan benar. Dosa dan Pahala.
Kita lupa ada banyak ranah abu-abu yang tidak bisa diputuskan hanya dengan satu variabel. Ada banyak variabel independen yang mempengaruhi variabel dependen, sehingga hubungan bukan saja satu arah. Belum lagi ada variabel pengganggu atau penguat.
Dalam Al-Qur’an, kita membaca kalimat yang amat umum, sebuah perintah untuk menahan pandangan, menjaga kemaluan, menutupkan kain kudung ke dada, serta tidak menampakkan hiasan, baik yang melekat pada dirinya (tubuh) atau yang digunakan.
Perintah itu pun memiliki dua pengecualian, ‘kecuali apa yang tampak darinya” dan kecuali kepada beberapa orang tertentu. Ayat mengenai perintah itu amatlah luas, sehingga menimbulkan tafsir yang beragam pula.
Al-Qurthubi, Sa’id bin Jubair, Atha’, dan juga al-Auza’i memang mengatakan bahwa batasan aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangannya. Al-Qurthubi mendasarkan pendapat pada hadist yang bersumber dari A’isyah ra., sebaliknya ada pula pendapat lain dari Syaikh Muhammad Ali as-Sais tentang lengan perempuan bukanlah aurat.
Pendapat itu didasarkan pada kegunaan, yaitu menutup lengan akan menyulitkan perempuan dalam beraktivitas. Ada pula yang mengatakan bahwa menutup aurat wajib untuk diusahakan dengan pengecualian yang sifatnya mendesak, dalam arti tidak menyulitkan perempuan dalam bergerak.
Kita semua tentu memiliki adat yang berbeda, memiliki aktivitas yang berbeda pula. Sehingga kita dapat lihat bentuk kerudung di berbagai negara juga berbeda. Di negara-negara arab sana, banyak perempuan mengenakan cadar dan pakaian yang longgar, dan hal ini tentu berbeda dengan kebanyakan perempuan muslim di Indonesia.
Selain karena perbedaan lingkungan tempat mereka tinggal, adapat dan kebiasaan di sana juga berbeda dengan kita di Indonesia. Tidak bisa satu adat atau kebiasaan dipaksakan pada suatu kaum, apalagi agama.
Dari penjelasan di atas, kita paham bahwa mereka yang mengerti agama lebih baik dari saya sebagai penulis dan mungkin anda yang membaca, terdapat banyak pandangan, dan itu sah.
Kita memilih cara kita masing-masing untuk menjaga aurat, untuk menjaga martabat dan harga diri, baik sebagai perempuan atau sebagai manusia beragama. Anda yang laki-laki pun juga demikian.
Beberapa waktu lalu, saya menerima pesan lewat DM yang menceritakan adanya perintah berjilbab di suatu sekolah, bahkan untuk mereka yang bukan muslim. Kadang saya tidak bisa memahami mengapa orang-orang terobsesi dengan jilbab? ini pertanyaan yang belum mampu saya jawab.
Saya bisa saja mengenakan jilbab, lalu menerima pujian, “subhanAllah. Kalau pakai jilbab begitu kan lebih cantik.” Jika hanya untuk kelihatan cantik, maka hilang makna berjilbab, karena sesungguhnya sejak awal anjuran itu bebarengan untuk tidak memperlihatkan hiasan baik yang tampak atau yang melekat.
Perihal alasan menutup aurat demi tidak memancing nafsu laki-laki juga tidak lagi berlaku saat ini. Di tahun 2017 atau 2018 ramai sekali jagat dunia maya membahas grup laki-laki (akhwat) yang berisikan foto-foto perempuan bercadar untuk digunakan sebagai bahan coli.
Secara psikologis, itu juga dapat dijelaskan, bahwa penyimpangan perilaku seksual itu berasal dari rasa penasaran terhadap apa yang tidak bisa mereka ketahui secara terang, yang membuat mereka berimajinasi dengan liar, termasuk dengan cara coli itu tadi.
Perihal alasan untuk mengenakan jilbab dan alasan untuk tidak mengenakannya adalah pertimbangan masing-masing perempuan. Cara yang berbeda itu sesungguhnya tidak mutlak salah atau tidak mutlak benar.
Hal yang pasti adalah pandangan judgmental kita terhadap perbedaan tidak membuat diri kita lebih baik dari orang lain. Inilah yang mestinya kita kendalikan, untuk sebentar saja tidak berlagak menjadi hakim atas dosa dan pahala manusia lainnya.
Juga untuk membuka pikiran kita lebih luas terhadap banyak pandangan dan perspektif, sehingga tidak berujung pada kekerasan yang memaksa pelajar non-muslim dan pekerja untuk mengikuti kemauan masyarakat muslim.