Penolakan Jenazah menandakan ritus beragama kita sekadar anut grubyuk alias tak dilandasi kemantapan hati. Sebab kemantapan hati selalu berdampak pada cara pandang terhadap kemanusiaan.
Jujur saya katakan bahwa saya mengalami sebuah keresahan sebelum menulis artikel ini. Saya sempat berpikir mengakhiri tulisan sebelum jadi, bahwa saya juga sadar akan adanya konsekuensi logis atas tulisan ini.
Saya jadi teringat dengan kasus Ulil Abshar Abdalla pada 2002 silam, karena hanya menulis di Kompas yang mengkritik cara pandang kita mengenai agama.
Tapi saya yakin para pembaca sudah mulai dapat menerima pikiran-pikiran kritis yang bermuara pada adanya sebuah perkembangan pola pikir dan keberagaman prespektif.
Penolakan Jenazah Pasien Corona
Belum usai permasalahan minimnya alat medis yang menunjang dalam menangani wabah corona atau penimbunan masker yang sampai sekarang belum tahu siapa dalangnya.
Sekarang muncul fenomena baru, penolakan jenazah pasien corona oleh warga, tentu hal ini menyayat hati kita sebagai seorang manusia. Ditolaknya jenazah seorang perawat di Semarang yang gugur setelah menjadi garda depan melawan corona, membuat nurani kita lebih tersentak lagi.
Padahal pengkuburan tersebut sudah memiliki SOP yang jelas bahkan dari Kementrian Kesehatan dan MUI.
Jika dilihat dari sudut pandang agama islam, terdapat sebuah nilai-nilai yang bersifat universal seperti halnya keadilaan, kemanusiaan dan kesetaraan.
Tampaknya nilai-nilai seperti ini belum sepenuhnya diimplementasikan dalam kehidupan keseharian masyarakat. Belum lagi stigma negatif yang disemat masyarakat pada keluarga jenazah pasien corona tersebut.
Seperti halnya eks anggota PKI yang dituduh memberontak pada negara dulu, pasien corona dan keluarga juga dipandang hina bahkan mengalami penolakan dari tempat tinggalnya.
Alih-alih mendapat dorongan semangat dari masyarakat agar cepat sembuh, Pasien Dengan Pengawasan (PDP) dan Orang Dengan Pengawasan (ODP) malah mengalami perundungan. Ini membuat orang yang memiliki gejala covid19 enggan melapor karena takut mendapat stigma buruk dari masyarakat.
Tentu saya menyadari bahwa masyarakat belum mengetahui bahwa virus corona akan ikut mati jika jenazah korban dikuburkan. Belum lagi banjirnya pemberitaan media perihal Covid-19 juga ditelan judulnya saja.
Maka, sosialisasi harus terus-menerus dilakukan untuk mengubah cara pandang masyarakat tersebut. Tidak berusaha menggeneralisasi, penulis yakin masih banyak orang baik yang memiliki pemikiran terbuka dan sisi kemanusiaan yang tinggi.
Mempertanyakan hasil dari ritus keagamaan kita
Seorang penceramah kondang yang tak perlu penulis sebut namanya di sini, mengatakan bahwa virus corona adalah tentara Allah. Beliau mengatakan bahwa corona ini sama seperti burung ababil yang membinasakan pasukan musuh yang akan membumihanguskan Ka’bah.
Ada pula tafsir tunggal yang mengatakan bahwa corona adalah (tentara) Allah dengan mengaitkan mengenai kondisi muslim uyghur.
Saya menilai ada kesalahan pikir secara logis. Tentu pernyataan tersebut dapat ditelaah dengan berbagai perspektif, jika itu dimaksud agar manusia tidak membuat kerusakan dan bertindak sewenang-wenang, mungkin itu dapat dibenarkan.
Namun jika pernyataan tersebut berangkat dari fanatisme buta dalam menafsirkan sebuah agama, maka tidak bisa dibenarkan.Tidak bermaksud menjelek-jelekan pribadi beliau secara individu.
Saya hanya ingin menyampaikan: pernyataan yang hanya dapat membuat gaduh, alangkah baiknya tidak disampaikan. Apalagi beliau merupakan tokoh agama yang banyak diikuti orang.
Belum lagi kasus jamaah tabligh sedunia yang hangat diperbincangkan kapan hari, yang tetap ngotot melaksanakan aktivitasnya di sela-sela penyebaran pandemi corona yang semakin massif.
Saya tidak habis pikir dengan pernyataan oknum yang diduga pemimpin mereka, yang mengatakan bahwa mereka tak seharusnya takut dengan virus corona, karena sejatinya yang harus ditakuti adalah Allah.
Ada dua hal yang saya soroti di sini terkait dengan pernyataan tersebut. Pertama, kegiatan itu diadakan dengan mendatangkan massa yang banyak dan kita tahu bahwa hal seperti itu riskan menularkan virus.
Bukankah Allah tidak menyukai orang-orang yang egois dan hanya mementingkan kepentingan pribadi dan golongannya saja?
Kedua, ketakutan pada Allah harus kita tafsirkan sebagai tindakan yang tidak menyakiti makhluk dan mengeksploitasi bumi yang diciptakan Allah. Islam agama yang menjunjung tinggi kebebasan berpikir dan bahkan menyuruh kita untuk senantiasa menimba ilmu.
Doktrin-doktrin dalam islam harus dilihat dari segi tekstual dan kontekstual, hingga kita tidak jatuh dalam pemahaman beragama secara tekstual yang dapat menyebabkan fanatisme buta.
Jamaah di Kebon Jeruk Jakarta juga begitu, mereka tetap melakukan aktivitasnya tanpa mempedulikan nasib orang lain. Setelah dicek kesehatannya, ada sejumlah orang di jamaah tersebut yang positif corona dan menularkan pada orang lainnya.
Saya berharap agar masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi tingkat menengah maka alangkah baiknya kita melakukan kegiatan di rumah, termasuk juga ibadah. Sebab, dalam Islam, hal itu dibolehkan kok.
Di zaman sahabat Nabi, orang-orang yang akan melaksanakan sholat terhalang hujan lebat dan tanah becek. Saat itu, seorang muazin mengubah redaksi Azan yang semula berbunyi Hayyaa ‘alas Salaah (Marilah Sholat) menjadi As Shalaatu fir Rihaal (Sholatlah di rumah masing-masing).
Ini diperkuat pendapat cendekiawan muslim Indonesia, Prof. Quraish Shihab yang mengatakan, anjuran shalat di rumah bukan hanya untuk keselamatan saja. Namun, untuk kesehatan dan kemudahan.
Akan lain rasanya jika kita berbicara mengenai orang-orang yang melakukan aktivitas di luar rumah karena tuntutan ekonomi. Ada atau tidaknya Corona, mereka tetap berjuang demi keluarganya, karena pemerintah tidak dapat membantu mencukupi ekonominya.
Islam, menurut saya, adalah agama yang sangat humanis, maka ritus-ritus keagamaan yang setiap hari kita lakukan harus diwujudkan dengan implementasi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, bukan egosentrisme.
Penolakan Jenazah menandakan ritus beragama kita sekadar anut grubyuk alias tak dilandasi kemantapan hati. Sebab kemantapan hati selalu berdampak pada cara pandang terhadap kemanusiaan.
Apa yang bisa kita lakukan
Pemerintah memberlakukan kebijakan pembatasan sosial dimaksudkan agar kita dapat memutus penyebaran virus corona. Namun hal ini jangan kita tafsirkan dengan berlebihan, nyatanya pembatasan sosial sekarang lebih mengarah pada tragedi-tragedi kemanusiaan yang tidak ada habisnya.
Pandemi virus ini harus dijadikan refleksi untuk senantiasa mendekatkan diri pada Allah dan saling menguatkan rasa kemanusiaan kita.
ODP, PDP maupun Jenazah yang terpapar virus corona, adalah saudara sesama manusia yang harus kita perlakukan secara layak. Kewaspadaan akan adanya penularan virus corona, jangan menjadikan kita manusia yang tidak memiliki hati nurani.
Selain itu, saya mengajak pembaca untuk berpikir jernih dan menggunakan nuraninya. Apakah mau jika saudara kita atau bahkan kita sendiri yang terkena virus namun diperlukan sebagai musuh di dalam masyarakat?
Maka, masyarakat harus menerima secara legawa, jika ada pasien corona meninggal dan hendak dikuburkan di daerahnya.
Saya jadi ingat perkataan seorang pemuda pada awal 70-an, Ahmad Wahib. Dia mengatakan: membuktikan diri baik, bukan dengan menyatakan diri sendiri baik, tapi dengan kata dan dengan kerja yang baik. Membuat orang lain bahagia bukan dengan menyuruh orang itu bahagia, tapi dengan kata dan kerja yang akan membahagiakannya.
Saya yakin, bangsa Indonesia masih memiliki nurani dan rasa kemanusiaan yang kuat, bukankah itu yang membuat sebuah bangsa menjadi beradab? Gus Dur Bapak bangsa kita juga pernah berkata: memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan penciptanya.