Tentang perempuan 23 Januari yang terdidik di lingkungan feodal dan lelaki liberal yang memaknai ulang agama, dan lonceng gereja.
Symphony nomor 9 (Beethoven) masih terdengar ketika sang Surya memampakkan sinarnya. Kopi bekas malam yang hilang, masih berdiri di atas meja yang dipenuhi buku-buku.
Antonio Tobacco atau akrab disapa Anto, masih tergeletak di kamar. Berada di bagian depan rumah, malam lalu Anto secara sadar dan sengaja melinting ganja, menyaksikan lekuk tubuh perempuan melalui gawai, onani, meneguk bir, dan kopi.
Malam hari hingga azan subuh berkumandang, digunakan Anto untuk bersenang-senang. Pasca azan, ia tertidur dan bangun ketika sang Surya menembus lubang-lubang yang ada di atas jendela.
Terdengar azan zuhur, Anto benar-benar menyesal karena telah mabuk, onani, dan tidak menunaikan kewajibannya sebagai orang yang beragama.
Lain sisi, terkembang sumringah dan fly, setelah Anto memadu kasih dengan bir, kelaminnya sendiri, dan buku-buku yang ada di kamarnya.
Namun, setelah azan zuhur berkumandang, ia kemudian tidur lagi hingga azan maghrib berkumandang.
Perutnya berdegup kencang. Kemudian ia bangkit dari kamar tidurnya. Membersihkan badan. Melakukan salat taubat dan berjanji sepenuh sanubari untuk tidak mengulangi kegiatan kontra produktif yang biasanya terjadi di malam hari.
Setelah itu, Anto keluar rumah berkeliling kota. Di sekitar simpang empat, gawainya berdering. Ada pesan masuk dan panggilan dari Maria Maulidea.
“Kak. Ayo ngopi, sudah lama tak bersua”. Tulis Maria dalam pesan.
“Baik. Kamu dimana, dik?” Jawab Anto.
“Di warung kopi biasa. Di dekat sawah”.
Lampu bangjo di simpang empat berganti. Dari merah menjadi hijau. Anto memasukkan gawainya ke saku celana. Dan meneruskan perjalanan untuk bersua Maria.
Kemudian dua hati itu bertemu. Di malam hari, hujan turun membasahi bumi. Di warung itu serasa milik Anto dan Maria. Mereka berbicara ihwal kondisi terkini archipelago tempat Anto dan Dea tinggal.
“Masih percaya dengan jargon harga mati dari negara?, yang selalu kamu dengungkan bersama kelompokmu?” Tanya Anto kepada Maria.
“Masih. Karena guruku, mengajarkan itu. Aku harus tawadhu pada guru.”
Kemudian Anto menjawab, “Kira-kira, lebih mulia mana antara ilmunnya atau gurumu, kemudian bukankah ilmu iku kelakone kanthi laku? Dan selama kamu ngangsu kaweruh di lingkungan feodal apakah pernah dikasih sudut pandang eko-pol? Dan apakah kamu yakin, dalil-dalil yang kamu pelajari sekian tahun itu mampu menjawab problem di masyarakat?”
Derasnya pertanyaan yang dilontarkan oleh Anto kepada Maria, membuat hujan berhenti. Kemudian Maria tertawa dan berujar kalau ia akan menjawab pertanyaan Anto di perjumpaan selanjutnya.
“Dik, mungkin ini pertemuan terkahir kita, karena setelah ini saya akan berkelana lagi, entah kemana, kalau kamu ingin bersua sila telepon atau kirim pesan saja”.
Dua hati itu berpisah di gapura warung kopi. Anto ke arah kiri, dan Maria ke arah kanan.
Rumah Maria dan Anto tak terlalu jauh. Namun bagi mereka, jarak tak berlaku apa-apa. Terkadang, mereka berdekatan namun rasanya jauh. Ketika mereka berjauhan namun rasanya semakin dekat.
Anto berkelana, menemui kawan-kawannya di sepanjang jalanan pantura. Ketika berkelana, tak lupa ia senantiasa mengikat fenomena alam dan sosial yang Anto lihat dengan tulisan. Dan membawa beberapa buku filsafat, sejarah, ekonomi, dan politik.
Sesampai pengembaraan di Kota Kembang. Anto menengok berita melalui gawai. Ada pemberitaan ihwal penggusuran di kampungnya Maria.
Anto cemas. Karena ia belum lama mengembara diri. Dan ia sudah berjanji dalam sanubari, kalau bertemu dengan Maria, Anto akan melahirkan sebuah buku solo perdana, bukan antologi.
Karena itu, selama pengembaraan Anto mematikan gawainya. Anto ingin belajar dari alam. Meminum esensi kehidupan, bukan eksistensi.
Padahal, banyak sekali pesan yang masuk di gawai Anto. Untuk menghilangkan kecemasan, ia mampir di lokalisasi, meneguk bir, onani, dan lain sebagainya.
Setelah itu, perlahan rasa cemas hilang. Ia meneruskan pengembaraan. Uang yang dibawa Anto cukup banyak, karena Anto berasal dari keluarga menengah atas.
Anto juga meninggalkan bangku perkuliahan, menjadi pengajar, dan tanggung jawab organisasi. Namun Anto semakin produktif berkarya, berfikir kritis tentang fenomena alam dan sosial di sekitarnya, dan bertambahnya pengalaman.
Hingga satu tahun pengembaraan, Anto tak menjawab pesan masuk dari kawan-kawannya, salah satu di antaranya Maria. Anto kembali ke kampung halaman, ia memiliki banyak karya, khususnya puisi yang ia lahirkan selama proses pengembaraan.
Ketika menengok kampung halaman, Anto benar-benar kaget. Dulu, di tempat Maria tinggal jamak ditemui sawah dan pepohonan yang rindang. Setelah Anto kembali, kampung Maria gersang dan terjadi banjir bandang yang menelan ratusan korban jiwa.
Keluarga Maria Maulidea telah tiada. Dan Anto benar-benar menyesal. Tak bisa berbuat apa-apa. Ia mengurung diri di kamar selama berbulan-bulan. Menumpahkan perasaan melalui tulisan, dan mengenang perempuan 23 Januari, Maria Maulidea dengan menggambar wajahnya.
Sesekali, Anto keluar dari kamar. Berkeliling kota di dini hari, nostalgia tempat-tempat yang pernah dilalui bersama Maria seperti warung yang ada di depan gereja yang menjadi saksi bisu pertemuan dua hati, dan tak lupa Anto menziarahi makam korban banjir bandang dimana di makam itu terbujur jasad perempuan 23 Januari yang pernah membacakan puisi untuk Anto itu.