Mengakhiri masa-masa sendiri dan menyambut baik datangnya orang baru dalam hidup kita adalah hal yang membahagiakan ya, Nabs?
Setelah sekian lama memendam perasaan, mengalami serangkaian upaya pendekatan, dan akhirnya memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih tentu butuh persiapan.
Nah, apa saja yang perlu dipersiapkan untuk menjadi seorang pasangan? Ternyata kita bisa menemukan jawabannya dari filsafat.
Kok bisa, sih? Apa benar bahwa filsafat yang konon membuat orang pusing, bahkan hampir gila, ternyata juga berbicara tentang semesta cinta? Untuk menjawabnya, kita kenalan sama stoisisme.
Apa sih stoisisme itu? Stoisisme secara singkat mengajarkan kepada manusia untuk hidup selaras dengan alam universal, yakni sesuai dengan tata aturan moral.
Di dalam aliran filsafat ini, ada ajaran mengenai penerimaan-penerimaan akan takdir manusia, bahwa alam semesta memiliki kehendak yang bersifat mutlak, sehingga mau tidak mau, segala yang ditakdirkan untuk terjadi, maka akan terjadi, termasuk hal-hal yang berada di luar kendali kita.
Nah, yang bisa kita kendalikan adalah penerimaan. Sikap kita menghadapi takdir tersebut sehingga tidak menjadi hal yang begitu menyakitkan. Lalu, apa kaitannya stoisisme dengan semesta percintaanmu dengan si ‘Dia’? Tentu sangat berkaitan.
Nabs, memutuskan untuk menerima ‘Dia’ sebagai kekasih adalah menerima keseluruhan dari calon pasanganmu. Sifat baik dan buruk yang melekat di dalam dirinya.
Mengantongi informasi dan memetakan apa yang akan terjadi selanjutnya bisa jadi kunci penting dalam keawetan hubungan. Hal ini juga pernah disiratkan oleh salah seorang filsuf stoik, Epictetus, di dalam bukunya yang berjudul “The Enchiridion”.
“Ketika engkau hendak melakukan suatu perbuatan, ingatkan dirimu perbuatan macam apa itu. Jika engkau hendak pergi ke pemandian, ingat-ingat dalam benakmu apa yang mungkin terjadi di pemandian—ada orang yang bersimbur-simburan, orang yang dorong-dorongan, orang yang menghina, orang yang mencuri.
Dan engkau akan melakukan perbuatan dengan lebih aman jika sejak awal engkau mengatakan, ‘Aku ingin mandi dan menjaga pilihan-pilihanku sesuai dengan alam’; begitu pula untuk setiap perbuatan yang lain.”
Nah, begitu juga dalam urusan percintaan. Di masa PDKT, kalian sudah tentu mengantungi beberapa informasi mengenai si ‘Dia’. Jadikan itu sebagai sebuah strategi untuk memetakan apa-apa saja yang akan kalian hadapi di masa depan dan bagaimana menghadapi itu.
Jika di masa PDKT, kamu menemukan tindakan-tindakan lucu karena kecerobohan yang dilakukan oleh calon pasanganmu, itu adalah informasi yang harus kamu pegang.
Bahwa di kemudian hari, kamu akan menghadapi kecerobohan-kecerobohan yang sama, yang mungkin tidak lagi akan terkesan unyu-unyu layaknya ketika kalian masih PDKT, tapi justru menyebalkan.
Hal-hal di atas itulah yang bisa kita kendalikan. Hal-hal yang ada di dalam diri kita, Karena kita tidak bisa memaksa orang lain dan hal-hal di luar kita untuk sesuai dengan apa yang kita mau.
Memaksa kemauan kita pada orang lain justru akan menimbulkan dua efek bagi dua pihak. Pihak pertama, diri sendiri, akan merasakan kekecewaan, kekesalan, atau kesedihan ketika kemauan kita tidak terpenuhi.
Di satu sisi, pihak kedua, pasangan, akan merasa terbebani dengan apa yang kita tuntutkan, lebih-lebih jika tuntutan itu begitu berlawanan dengan keinginannya pribadi.
Disadari atau tidak, pemaksaan-pemaksaan yang kita lakukan akan membuat hubungan yang awalnya setara menjadi relasi dominant-dominated, dan mengarah pada hubungan yang beracun (toxic relationship).
Nah, nggak mau kan hubungan kalian berakhir seperti itu? Nabs, harus diingat juga bahwa rasa sebal timbul karena penilaian kita akan sesuatu, dan itu merupakan sumber penderitaan bagi manusia.
Kita bisa lihat banyak hubungan berakhir setelah beberapa tahun terlewati. Perdebatan hingga pertengkaran fisik. Apa pemicunya? Terkadang hal sepele seperti ekspektasi yang tidak terpenuhi menjadi pemicu pertengkaran dengan pasangan.
Seperti misal mengharapkan pasangan memberikan kejutan di hari ulang tahun, padahal ‘Dia’ adalah tipe orang yang sangat ‘dingin’. Hal seperti ini sudah seharunya masuk sebagai bekal pengetahuanmu akan si ‘Dia’, dan kamu tidak bisa mengharapkan apa-apa jelas tidak akan kamu dapatkan.
Langkah antisipatif yang sudah harus diambil adalah dengan tidak berharap. Selanjutnya, kamu bisa mengontrol kebahagiaanmu sendiri dengan tidak mengungkap-luapkan segalanya layaknya kobaran api yang lekas membakar kayu dan menghabiskannya sampai menjadi abu.
Kamu bisa mencoba untuk mengontrol rasa bahagiamu. Mengontrol intensitas pertemuan kalian untuk memberikan ruang agar rindu bisa tumbuh. Selamat mencoba!
Diposting pertama pada 2 Mei 2019