Dalam urusan seni mural jalanan, Bojonegoro memiliki potensi kemiripan dengan Kota Kadiköy Turki hingga Stavenger Norwegia. Seperti apa kemiripannya? Mari kita kulik bersama.
Meski identik seni jalanan, mural menjadi bagian penting penanda kemajuan sebuah kota. Sebab, mural tidak berdiri sendiri. Di dalamnya terdapat pengetahuan serta pesan berbalut keindahan.
Sejumlah spot di kawasan Bojonegoro sudah mulai terbuka terhadap seni gambar tembok (mural). Meski, secara kuantitas, hanya sedikit yang digarap secara serius dan memenuhi kriteria keindahan.
Di kawasan Kota Bojonegoro misalnya, spot yang menandakan eksistensi mural berada di pojokan Jalan Dr. Sutomo. Sejumlah coretan eksotis sarat pesan bisa dijumpai dengan mudah di kawasan tersebut.
Sedang di luar Bojonegoro, khususnya sudut barat Jalan Pahlawan Padangan hingga area jembatan penyeberangan Padangan-Kasiman, terdapat banyak gambar mural yang indah. Tak hanya indah, tapi juga sarat pesan.
Meski terkesan asal-asalan, mural merupakan jenis seni gambar dengan teknik dan keindahan cukup mumpuni. Bahkan, sudah identik dengan geliat kemajuan kota besar.
Pemerintah Kota Surabaya dan Bandung maupun Solo misalnya, menghadirkan mural di sejumlah sudut kota sebagai ornamen tata kota. Itu menunjukkan bahwa mural memang bukan coretan tanpa nilai seni.
Nabsky harus tahu bahwa mural berbeda dari vandal maupun graffiti. Mural dan graffiti memang mengandung unsur seni. Tapi vandal bukan. Vandal justru merusak keindahan mural maupun graffiti.
Mural berasal dari bahasa latin: Murus — yang berarti dinding. Artinya, mural adalah lukisan yang dilukis pada bidang permanen seperti tembok ataupun dinding. Mural dikerjakan atas izin pemilik tembok.
Mural dikerjakan layaknya mengerjakan seni lukis. Prosesnya penuh konsep dan penjiwaan, serupa menuang ide dan perasaan dalam bentuk lukisan di atas kanvas.
Sedang graffiti, berasal dari bahasa latin: Graphium — yang artinya adalah tulisan. Graffiti juga seni lukis dinding. Namun berbasis tulisan sebagai media komunikasi.
Selain itu, graffiti juga sarana propaganda untuk menyindir dan menunjukkan ketidakpuasaan. Meski, tentu saja, tetap mempertimbangkan komposisi warna dan keindahan.
Sementara vandal atau vandalisme merupakan giat corat-coret ruang publik yang tak berkaitan dengan seni maupun keindahan. Kehadiran vandal lebih identik sebagai perusak keindahan.
Vandal merupakan nama suku Jerman Kuno. Pada 455 Masehi, mereka menghancurkan banyak karya seni di Roma untuk menguasai daerah tersebut. Sejak saat itu, vandal indentik perusak dan perusuh.
Dari sana, tentu Nabsky sudah bisa membedakan apa itu mural, graffiti maupun vandal kan? Sehingga, mural dan graffiti bukan giat vandalisme. Melainkan giat bermuatan seni dan keindahan.
Kalau senggang, coba Nabsky jalan-jalan ke kawasan Jalan Dr. Sutomo Kota Bojonegoro atau Jalan Pahlawan Padangan. Kawasan itu, identik mural-mural yang sangat indah.
Tapi, Nabsky, bahkan di kawasan mural pun, masih banyak ditemui giat vandalisme. Kondisi itu, tentu sangat mengganggu dan merusak nilai seni mural yang ada.
Salah seorang seniman mural asal Padangan, Marcos (bukan nama sebenarnya) menceritakan, dalam urusan menggambar tembok publik pun, banyak giat vandalnya.
Terbukti, sejumlah mural yang sebelumnya dibuat, akan cepat rusak dan dibikin gambar atau coretan baru. Itu hal wajar di kalangan para seniman mural. Meski, tidak semua coretan berbasis mural.
“Kadang ada yang mencoreti (lagi) dan kita juga tidak saling mengenal,” katanya.
Marcos berharap agar pihak pemerintah bisa menyediakan ruang khusus untuk membikin mural. Alasannya sederhana. Saat ini, mural sudah menjadi objek seni yang menghias ornamen kota.
Di lain sisi, menggores gambar mural juga tidak boleh sembarangan. Harus tetap mempertimbangkan unsur kesantunan. Tidak mungkin kan, menggores mural di tembok kantor KUA?
Karena itu, keberadaan ruang khusus gambar mural bakal memberi dampak positif. Yakni meminimalisir giat vandal sekaligus menunjukkan pada masyarakat bahwa mural dan graffiti berbeda dari vandal.
“Kalau ada ruang khusus atau mungkin di-festivalkan kayak di luar gitu, tentu tambah bagus,” imbuhnya.
Tembok kota tanpa keberadaan seni mural ibarat kehidupan seorang jomblo. Polos, tak berwarna, dan pucat karena kurang vitamin cinta.
Bojonegoro: dari Kota Kadiköy Turki hingga Kota Stavenger Norwegia
Di jalanan Kota Kadiköy, salah satu distrik kosmopolitan yang padat penduduk di Istanbul, Turki, bahkan, mengagendakan sebuah festival bernama Mural Istanbul.
Seperti dikutip dari theculturetrip.com, festival yang berawal dari niat untuk menghias dinding kosong di kota tersebut, kini menjadi seni jalanan sangat populer. Bahkan, mengundang seniman mural dari luar Turki. Mural yang digambar pun sangat besar. Seukuran gedung.
Saat ini, Yeldeğirmeni (kawasan di mana festival digelar) telah berubah menjadi museum terbuka sejak festival dimulai pada 2012 silam. Selain menghias kota, festival ini ditujukan untuk mengembangkan bakat gambar seniman lokal.
Nabs, mural sudah menjadi bagian tak terpisahkan di kota Stavenger, Norwegia. Dalam festival seni jalanan Nuurart Stavanger misalnya, warga justru menyediakan tembok untuk digambar.
Dalam beberapa tahun terakhir, Stavanger menjadi tempat yang wajib dikunjungi untuk urusan seni jalanaan kota. Stavenger, dulu dikenal banyak orang sebagai ibukota energi dan minyak Eropa.
Hookedblog.co.uk melaporkan, sejak dimulai pada awal 2000-an, Stavanger perlahan-lahan mendapat pengakuan global untuk urusan seni dan budaya kota urban. Bahkan, kini dianggap sebagai salah satu kawasan wajib dikunjungi untuk urusan seni jalanan.
Warga Stavanger di Norwegia menyumbangkan dinding rumah mereka untuk dilukis oleh para seniman mural. Sebab, masyarakat tahu bahwa mural adalah seni dan keindahan.
Bagaimana kota Stavanger dan Kadiköy memperlakukan mural sebagai bagian tak terpisahkan dari ornamen kota, tentu bisa menginspirasi Bojonegoro untuk melakukan perihal yang sama.
Nabs, Bojonegoro dan Kota Kadiköy memiliki kesamaan. Bojonegoro (baik kawasan Kota maupun Padangan) merupakan kota padat penduduk. Dan banyak tembok kosong di tepi jalannya. Khusus Padangan, banyak bangunan rumah burung berukuran tinggi yang kosong tanpa dicat.
Bojonegoro dan Kota Stavenger juga memiliki kesamaan. Keduanya kota identik energi minyak dan gas. Stavenger dijuluki Oil Capital of Norway karena banyak perusahaan minyak dunia memiliki kantor di sini. Selain itu, Stavanger termasuk kota kecil. Pada 2011, populasinya hanya 120 ribu orang.
Bojonegoro, dalam urusan seni mural jalanan, tentu memiliki potensi seperti Kadiköy maupun Stavenger. Sebab, selain banyak spot-spot kawasan kota yang memang kosong, Bojonegoro memiliki banyak seniman mural yang memiliki karya berkualitas.
Menyamakan Bojonegoro dengan Kadiköy maupun Stavenger tentu semacam mimpi di siang bolong. Tapi, bukankah yang paling nikmat di bulan puasa adalah tidur siang hari lalu mengalami keunikan-keunikan mimpi?