Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) menjadi ruang lindung bagi bahasa Jawa di Bojonegoro dan sekitarnya. Tak hanya melindungi, ia juga berupaya menjaga bahasa Jawa dari kepunahan.
Jawa adalah kunci. Kata “kunci” dalam dialog sebuah film cukup terkenal tersebut, tentu bukan kunci jawaban soal cerita matematika yang membuatmu mengantuk. Tapi kunci dari sejarah, bahasa, bahkan karya sastra hingga peradaban.
Kalau kamu tahu, dari aksara Jawa saja terdapat banyak cerita. Belum lagi filosofi dari deretan aksara Jawa. Yang membentuk aksara ha na ca ra ka dan seterusnya. Demikian juga dari segi bahasa, terdapat penggolongan untuk bertutur. Kepada yang muda maupun yang lebih tua.
Kalau kamu kulik lagi, sangatlah kompleks jika mengusung ihwal tentang Jawa. Bahkan tutur kata budi pekerti serta sopan santun juga diajarkan oleh bahasa Jawa.
Ini tidak serta merta diajarkan begitu saja. Namun juga menjadi suatu nilai tersendiri dalam kehidupan.
Betewe soal Jawa, Bojonegoro merupakan gudangnya sastrawan Jawa. Ada nama Djayus Pete, JFX Hoery, Nono Warnono hingga Gampang Prawoto.
Mereka adalah sastrawan Jawa asal Bojonegoro yang karya-karyanya mudah ditemui di sejumlah media lokal maupun nasional.
Tak hanya gudangnya sastrawan Jawa. Bojonegoro memiliki ruang konservasi Bahasa Jawa. Yakni Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro atau dikenal dengan sebutan PSJB.
Dengan tagline Basa Jawa Jatidirine Bebrayan Jawa, ia menjaga sekaligus mempertahankan Bahasa Jawa di Bojonegoro dan sekitarnya.
PSJB berperan sebagai wahana pemerhati dan pencinta satra Jawa. Wabilkhusus dalam menumbuhkan dan melestarikan bahasa, sastra, serta budaya Jawa.
Kepada Jurnaba.co, Ketua sekaligus salah satu pendiri PSJB, JFX Hoery banyak bercerita tentang ihwal pendirian dan geliat kegiatan yang ada di PSJB. Pria kelahiran 1945 tersebut menceritakan, sejak awal, PSJB didirikan untuk menjaga kelestarian bahasa Jawa.
Hoery bersama kawan-kawannya, mendirikan PSJB pada 6 Juli 1982. Pendirian itu, berlandaskan kepedulian akan keberadaan bahasa serta budaya Jawa, yang semakin hari kian menguncup dan mengkhawatirkan.
Sebagai sastrawan Jawa, kegelisahan dan emosi JFX Hoery tidak hanya ditoreh dalam karya tulis. Namun juga diwujudkan dalam berbagai macam kegiatan di Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB).
“Memudarnya bahasa, sastra dan budaya Jawa. Menimbulkan generasi yang kehilangan sopan santun serta hilangnya naluri budaya adiluhung,” jelas Hoery.
Berpijak dari realita tersebut, para pengarang, pemerhati, pencinta bahasa sastra dan budaya Jawa di Bojonegoro sepakat mendirikan sanggar PSJB. Tentu sebagai wahana pelestarian, pengembangan, serta kreatifitas dalam sastra dan budaya Jawa.
“Antara tahun l982 hingga l986, nama PSJB mulai populer di Bojonegoro,” ungkap Hoery sembari mengingat.
PSJB sempat vakum pada l987 setelah ketua PSJB saat itu, Yusuf Susilo Hartono, merantau ke Jakarta. PSJB mulai aktif kembali pada 2000, waktu itu dipimpin oleh JFX Hoery. Pada tahun-tahun itu, PSJB mulai menyelenggarakan sejumlah seminar dan pelatihan bagi guru-guru di Bojonegoro.
Selama hampir 37 tahun, Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB) menjadi ruang lindung bagi bahasa Jawa di Bojonegoro. Tidak hanya melindungi, ia juga berupaya menjaga bahasa Jawa dari kepunahan.
PSJB mengemban misi mewujudkan masyarakat peduli bahasa sastra dan budaya Jawa. Sehingga membentuk karakter generasi penerus yang menjunjung tinggi sikap budi pekerti agar kelak bisa mengambil keputusan dengan bijak.